MAKALAH HUKUM ISLAM
PERKAWINAN DIBAWAH
TANGAN DALAM HUKUM ISLAM
DITINJAU
DARI UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkawinan
merupakan kebutuhan manusia yang telah dewasa dalam rangka meneruskan
keturunan. Setiap agama yang ada di Indonesia memiliki aturan yang berbeda-beda
tentang perkawinan. Didalam ajaran islam perkawinan merupakan perbuatan sunnah
dan amal ibadah bagi yang melaksanakan perkawinan. Disamping melaksanakan
perkawinan secara ketentuan yang diatur oleh agama. Maka perkawinan juga perlu
menaati undang-undang perkawinan yang diatus oleh negara dan berlaku secara
nasional.
Sedangkan Tujuan
perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai
dan teratur.[1]Hal
ini senada dengan firman Allah: Q.s. ar-Rum. [XXX]: 21 yang artinya:
"Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
berfikir"
Dari penjelsan firman Allah
diatas bahwa didalam perkawinan bertujuan untuk menciptakan ketentraman dan
kedamaian pada jiwa masyarakat penganut agama islam, karena dengan jiwa yang
tentramlah kita bisa bertawakkal dan beramal soleh secara khusuk kepada allah.
Sedang Tujuan pada
umumnya yang hendak dicapai adalah memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan
lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun
tujuan pernikahan yang terjadi ditengah
masayarkat yang dapat dijelaskan secara rinci sebagaimana dikemukakan berikut:
(1) melaksanakan libido seksual; (2) memperoleh keturunan;(3) memperoleh
keturunan yang saleh; (4) memperoleh kebahagiaan dan ketentraman; (5) mengikuti
sunnah Nabi; (6) menjalankan perintah Allah; dan (7) untuk berdakwah.[2]
Disambing itu didalam islam perkawinan juga
merupakan bagian dari menjaga kehormatan diri dan kewibawaan seorang yang
beragama muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits rosululloh SAW sebagai
berikut :
"Dari
Abdullah bin Masud, Rasullulah SAW. Berkata: Hai sekalian pemuda, barangsiapa
di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka
sesungguhnya kawin itu menghalangi pandang (terhadap yang dilarang oleh agama)
dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa.
Karena puasa itu adalah perisai baginya". (H.R. Bukhari
dan Muslim).
Sehubungan
dengan hadist diatas Imam Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah 1). Untuk mendapatkan
dan melangsungkan keturunan, 2). Untuk menyalurkan sahwatnya dan menumpahkan
kasih sayang, 3). Untuk memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, 4).
Menimbulkan kesungguhan untuk bertanggungjawab dalam memenuhi hak dan kewajiban
serta memperoleh kekayaan yang halal, 5). Untuk membangun rumah
tangga/masyarakat atas dasar cinta dan kasih sayang.
Melihat
perkawinan merupakan perbuatan yang sangat sakral dan merupakan ibadah dalam
ajaran Islam. Dimana ketentuan pelaksanaannya juga diatur secara terperinci dan
telah berlaku bagi masyrakat islam jauh sebelum Indonesia mengnal Undang-undang
perkawianan.
Namun
pada hakikat negara menyerahkan seluruh mekanisme pelaksanaan perkawinan kepada
aturan dan ketentuan agam masing-masing sebgaiman disebutkan didalam undang-undang
nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “ Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”
Dengan adanya perbedaan
antara ketentuan perkawinan secara agama dan ketentuan perkawinan secara
undang-undang inilah yang melatar belakangi penuli menulis Makalah yang
berjudul “PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN DALAM HUKUM
ISLAM DITINJAU DARI UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN” diajukan
sebagai persyaratan mendapatkan Nilai hukum islam.
B. PERUMUSAN
MASALAH
Dalam
penulisan makalah ini, penulis merumuskan masalah yang menjadi fokus pembahasan
pada makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana
kedudukan perkawinan yang dilakukan dibawah tangan yang memenuhi syarat dan
rukun hukum islam didalam hukum positif Indonesia.?
2. Bagaimana
pencatatan nikah yang dilakukan dibawah tangan secara islam.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Beberapa Pengertian
Perkawinan
sering juga disebut dengan Nikah berasal dari bahasa arab yang artinya ikatan
atau berkumpul. Bila ditinjau pasal 1 dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Pengertian Perkawianan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Menurut Ahmad Azhar
Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, perkawinan yang disebut “nikah”
berarti :
Melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman
dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.[3]
Pengertian perkawinan
menurut KUH Perdata Pasal 26, yang mengatakan bahwa perkawinan ialah Pertalian
yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Pada KUH Perdata memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja, yang
berarti bahwa asalnya suatu perkawinan hanya ditentukan oleh pemenuhan
syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, sementara
syarat-syarat serta pengaturan agama dikesampingkan.[4]
Perkawinan dianggap suatu lembaga yang terikat pada suatu pengakuan oleh negara
dan hanya sah bila dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang (penguasa).[5]
Dari beberapa defenisi
diatas memberikan penjelasan kepada kita tentang beberapa pengertian
perkawinan. Sedangkan perkawinan dibawah tangan merupakan sebutan yang biasa
digunakan ditengah masyarakat Indonesia. Perkawinan dibawah tangan ini
dimaksudkan menyebutkan perkawinan yang belum tercatatat di Departemen Agama
dan atau pernikahan yang dilakukan secara syah dengan syarat dan Rukun nikah
dalam islam, namun belum dilakukan pelaporan kekantor departemen agama untuk
mendapatkan akte nikah. Kebanyakan masyarakat yang melakukan pernikhan atau
perkawinan dibawah tangan disebabkan oleh faktor ekonomi.
Sebagaimana disebutkan
didalam pasal 2 ayat (2) UU NO. 1 Tahun 1974 yang bebunyi “ Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ini
tentu memberikan gambaran bagi kita tiap-tiap pernikahan dibawah tangan
memiliki kewajiban bagi kedua mempelai untuk mencatatkan perkawinannya didepartemen
agama tempat mereka melangsungkan pernikahan. Dan dengan tidak dilakukannya
pencatatan bukan berarti penikahan yang dilakukan tidak syah secara Islam.
Kemudian hal ini diperjelas dengan ketentuan pasal 5 ayat 2 Peraturan menteri agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 yang berbunyi :
“Pemberitahuan kehendak
nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan
dilengkapi persyaratan sebagai berikut:
a.
Surat keterangan untuk nikah dari kepala
desa/lurah atau nama lainnya;
b.
Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir,
atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama
lainnya;
c.
Persetujuan kedua calon mempelai;
d.
Surat keterangan tentang orang tua (ibu
dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
e.
Izin tertulis orang tua atau wali bagi
calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;
f.
Izin dari pengadilan, dalam hal kedua
orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;
g.
Dispensasi dari pengadilan bagi calon
suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum
mencapai umur 16 tahun;
h.
Surat izin dari atasannya/kesatuannya
jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
i.
Putusan pengadilan berupa izin bagi
suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
j.
kutipan buku pendaftaran talak/buku
pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
k.
Akta kematian atau surat keterangan
kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi
janda/duda;
l.
Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor
perwakilan negara bagi warga negara asing.
B. Landasan
Dasar Perkawianan Secara Hukum Islam.
1.
Dalil
Al-Qur’an
Yang menjadi Landasan dasar dalam Pernikahan yang merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dalam ajaran Islam. Sebagaimana dsebutkan dalam firman
Allah, (QS Qr-Ruum:21):
1.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda
kekuasaany-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenis kamu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadiakn-Nya
diantaramu rasa kasih dan saying. Sesuangguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Qr-Ruum:21)
Kemudian Fiman allah diatas dipertegas dengan Hadits rosululloh
SAW antara laian :
2.
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن
فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah oran-prang yang sendirian
di antara kamu dan mereka yang berpekerti baik, termasuk hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS An-Nuur:32)
Dari firman tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perkawinan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah, dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan dalam Al-qur’an dan Hadits. Maka pernikahan dinyatakan syah dalam ajaran islam hal ini tentu berbeda dengan ketentuan yang dinyatakan syah dalam Hukum Positif Indonesia.
Dari firman tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perkawinan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah, dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan dalam Al-qur’an dan Hadits. Maka pernikahan dinyatakan syah dalam ajaran islam hal ini tentu berbeda dengan ketentuan yang dinyatakan syah dalam Hukum Positif Indonesia.
2. landasan Yuridis
Ada pun yang menjadi landasan Yuridis
perkawinan dindonesia telah ditentaukan,
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan
hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara. Selanjutnya dalam pelaksanaannya ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah, KUHPerdata dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawianan.
C.
Syarat-Syarat Perkawianan secara Islam dan Undang-Undang.
1. Syarat-syarat
dan Rukun syah perkawian secara Islam
Setiap ibadah didalam
ajaran islam mempunyai rukun dan syarat, agar ibadah tersebut sah dan sesuai
dengan ajaran islam. Dalam hal konteksnya dengan perkawinan, rukun dari sebuah
pernikahan dalam isalam antara lain sebagai berikut:
a.
Adanya calon mempelai pria dan wanita
b.
Adanya wali dari calon mempelai wanita
c.
Dua orang saksi dari kedua belah pihak
d.
Adanya ijab; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita
oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
e.
Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai
pria (jawaban dari ijab)
Rukun
merupakan ketentuan yang mutlak atau
wajib di penuhi oleh ummat islam dalam
menjalankan suatu ibadah dalam ajaran. Memang ketentuan yang diwajibkan dalam
ajaran islam sangat berbeda dengan ketentuan yang diwajibkan didalam
undang-undang.
Ada
pun syarat-syarat perkawinan yang ditentukan dalam ajaran islam untuk memenuhi
ketetuan rukun atau kewajiban mutlak dalam pernikahan. Setiap rukun
yang ada harus memiliki syarat-syarat tertentu. Hal ini demi sahnya sebuah
pernikahan. Adapun syarat-syarat pernikahan tersebut dalam islam ditentukan
secara individu yang menjadi subyek pernikahan itu sendiri. Adapun
syarat-syarat perkawinan dalam islam antara lain :
a.
Mempelai pria: Beragama Islam, Tidak
ada paksaan, Tidak beristri empat orang, Bukan mahram mempelai wanita, Tidak
memiliki istri yang haram dimadu dengan calon mempelai wanita, Calon istri
tidak haram dinikahi, Tidak sedang ihram haji atau umrah, Cakap melakukan hokum
rumah tangga dan Tidak ada halangan pernikahan
b.
Mempelai wanita : Wanita (bukan banci),
Beragama islam, Member ijin kepada wali untuk dinikahkan, Tidak bersuami atau
dalam masa iddah, Bukan mahram mempelai pria, Belum pernah di li’an oleh
calon suami, Jelas orangnya, Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah dan Tidak
ada halangan pernikahan.
c.
Seseorang dinyatakan tidak terhalang
pernikahannya karena: Hubungan darah terdekat (nasab), Hubungan
persusuan (radla’ah), Hubungan persemendaan (mushaharah), Talak ba’in
kubra, Permaduan, Beristri 4 orang, Li’an,
Masih bersuami atau dalam masa iddah, Mempelai pria yang non-muslim dan Ihram
haji atau umrah.
d.
Wali mempelai wanita : Pria, Beragama
islam, Mempunyai hak atas perwalian, dan Tidak ada halangan untuk menjadi wali
e.
Saksi : Dua orang pria, Beragama islam,
Baligh, Hadir dalam acara akad nikah dan Mengerti arti dan maksud pernikahan.
Ada
pun syarat-syarat syah yang mesti dilakukan dalam pelaksanaan Nikah
dalam islam anatara lain :
a.
Adanya ijab dari eali mempelai wanita
b.
Adanya qabul oleh mempelai pria
c.
Ijab menggunakan kata-kata nikah atau yang searti
dengannya
d.
Ijab dan qabul harus jelas dan saling berkaitan
e.
Ijab dan qabul dalam satu majlis
f.
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
Selain rukun dan syarat penikahan, ada
juga hal yang harus diperhatikan dalam sebuah pernikahan. Pernikahan dianggap
batal apabila ada larangan dalam pernikahan. Larangan dalam pernikahan yang
dimaksud adalah:
a. Adanya hubungan mahram antara kedua
mempelai
b. Tidak terpenuhinya rukun pernikahan
c. Terjadi pemurtadan
Semoga tulisan yang tidak seberapa ini
dapat berguna bagi kita semua, terutama saudara-saudara seiman yang ingin
melangsungkan pernikahan.
C. Syarat Syah Perkawinan secara yuridis.
Di
sampi syarat dan rukun yang tentukan dalam ajaran islam negara juga mengatur
syarat-syarat syah yang diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawianan. Ada pun
syarat-syarat perkawian antara lain :
1) Syarat perkawinan menurut KUHPer /
BW
2) Syarat perkawinan menurut Undang
Undang Nomor 1 tahun 1974
Menurut KUHPer / BW Syarat Materil, ada
pun Syarat Materil berlaku secara Umum, yang berlaku untuk seluruh perkawinan
yang terdiri, antara lain :
a. Kata Sepakat (Pasal 28 KUHPer)
b. Asas yang dianut Monogami mutlak
(Pasal 27 KUHPer)
c. Batas usia (Pasal 29 KUHPer)
d. Tenggang waktu tunggu, 300 hari
(Pasal 34 KUHPer)
Disamping syarat materil umum ada
juga Syarat Materil Khusus, berlaku hanya untuk perkawinan tertentu, ada pun
syarat Materil Khusus antara lain :
a. Larangan Perkawinan (Pasal 30, 31,
32, 33 KUHPer)
b. Izin Kawin (Pasal 33, 35 – 38, 40,
42 KUHPer)
Syarat Formil Mengenai Tata Cara
Perkawinan, baik sebelum maupun setelah perkawinan, Sebelum Perkawinan :
i.
Pemberitahuan
/ aangifte adalah Tentang kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu
pegawai yg nantinya akan melangsungkan pernikahan
ii.
Pengumuman
Ada pun syarat-syarat perkawiana menurut
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 antara lain :
a. Tidak
sedang terikat dengan perkawinan sebelumnya.
b. Memepelai
tidak mempunya hubungan darah lurus keatas dan kesamping dalam saudara.
c. Tidak
sedang masa iddah
a.
Kedua mempelai
tidak sedang dilarang menikah oleh agamnya.
b.
Perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
c.
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
d.
Dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud poin cukup diperoleh dari
orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
e.
Dalam hal kedua
orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
f.
Minimal berusia
19 tahun untuk pria dan 16 tahun bagi wanita.
D.
Kedudukan Perkawinan Dibawah Tangan dalam Hukum Positif.
Bila berbicara
kedudukan perkawinan dibawah, kita harus kembali kepada asas dan tujuan hukum
ditegakkan. Tujuan hukum adalah melindungi hak masyarakat, kepastian hukum,
ketertiban dan memenuhi rasa keadilan. Coba kita kaitkan tujuan hukum dengan
perkawinan, sebagaimana dijelaskan diatas tujuan perkawinan dalam hukum islam
adalah menciptakan ketentraman, demikian juga dengan hukum perkawinan Indonesia
yang bertujuan melindungi hak masyarakat Indonesia. Ada saling berkaitan sangat
erat antara dua sistem hukum yang berbeda, Namun pada hakikatnya tujuannya
sama. Karena perkawianan ata pernikahan menimbulkan akibat hukum maka negara
perlu melindunginya. Untuk itu setiap pernikahan yang telah dilaksanakan secara
syah menurut ketentuan agama yang kedua mempelai maka wajib didaftarkan
kedepartemen agama. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) UU. No. 1
tahun 1974 yang berbunyi “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku” .
yang bertujuan melindungi akibat hukum yang ditimbulkan oleh pernikahan
tersebut, baik menyangku, harta benda, waris, anak dan lain. Dalam hal
perkawinan yang dilaksanakan secara syah menurut ketentuan syarat dan rukun
agama kedua mempelai, namun tidak didaftarkan didepartemen agama dianggap tidak
pernah menikah secara hukum perkawinan, yang akan menimbulkan kerugian kepada
kedua belah pihak baik dari istri, suami, maupun anak yang lahir dari
pernikahan tersebut.
E. Pencatatan Nikah Yang Dilakukan Dibawah
tangan secara islam.
Pencatatan Nikah
dibawah tangan yang dilakukan secara Islam dilaporkan kepada pejabat pencatat
Perkawianan. Dalam hal ini departemen agama yang ada samapi ketingkat
kecamatan. Dan mekanisme pencatatan perkawinan diatur dalam ketentuan pasal 5
ayat 2 Peraturan menteri agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 yang berbunyi :
“Pemberitahuan kehendak
nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan
dilengkapi persyaratan sebagai berikut:
a.
Surat keterangan untuk nikah dari kepala
desa/lurah atau nama lainnya;
b.
Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir,
atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama
lainnya;
c.
Persetujuan kedua calon mempelai;
d.
Surat keterangan tentang orang tua (ibu
dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
e.
Izin tertulis orang tua atau wali bagi
calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;
f.
Izin dari pengadilan, dalam hal kedua
orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;
g.
Dispensasi dari pengadilan bagi calon
suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum
mencapai umur 16 tahun;
h.
Surat izin dari atasannya/kesatuannya
jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
i.
Putusan pengadilan berupa izin bagi
suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
j.
kutipan buku pendaftaran talak/buku
pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
k.
Akta kematian atau surat keterangan
kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi
janda/duda;
l.
Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor
perwakilan negara bagi warga negara asing.
Setelah pernikahan yang
dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun agama, kemudian dicatatat
didaftarkan didepartemen agama. Maka segala akibat hukum yang ditimbulkan akan
dilindungi oleh hukum, baik dari segi hart benda, warisan dan anak. Dalam hal
pernikahan yang telah terdaftakan didepartemen agama suami dan istri memiliki
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai perjanjian kawin. Kemudian akan
terikat hak dan kewajiban terhadap anak yang lahir dari perkawianan tersebut.
BAB III
Kesimpulan dan Penutup
A.
Kesimpulan.
Dari beberapa uraian tentang pernikahan
pada Bab II maka dapat ditarik kesimpulan antara lain :
1)
Bahwa pernikahan merupakan amal ibadah
bagi ummat isalam yang diatus dengan syarat dan rukun secara konkrit yang wajib
dipenuhi oleh wali, saksi, mempelai Pria dan memplei wanita yang akan
melaksanakan pernihan.
2)
Bahwa pernikahan yang dilaksanakan
dibawah tangan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan dalam islam syah dan
diakui oleh undang-undang , kemudia untuk melindungi seluruh akibat hukum yang
timbulkan oleh pernikahan maka wajib dilakukan pencatatan didepartemen agam.
3)
Bahwa bagi yang belum mencatatkan
pernikahan yang dilaksanakan dibawah tangan dengan memenuhi syarat dan rukun
islam di Departemen agama dapat merugikan pihak-pihak yang mengikatkan diri
pada pernikahan tersebut dan akan berdampak
pada status anak dan harta benda yang dihasilkan selam pernikahan.
B.
saran
v Bagi
yang telah melakukan pernikahan secara agama dan belum didaftarkan kedepartemen
agama, harus disegerakan demi kepentingan anak dan harta benda anda sendiri.
C.
Kritik
v Sudah
semestinya pemerintah mempermudah dan memperingan pencatatan Perkawinan dakam
menjamin ketertiban hukum, kepastian hukum dan memenuhi rasa keadila.
D.
Penutup
Demikianlah isi makalah saya ini,
penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kejanggalan dalam
penulisan makalah ini. Untuk penulis sangat mengharapkan saran dan kritik
teman-teman dalam upaya meningkatkan dan memperbaiki kemapuan menulis makalah
dalam tugas-tugas makalah selanjutnya.
Atas kejanggalan dan kekurangan dalam
penulisan makalah ini, penulis mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya
kepada dosen Hukum islam dan teman-teman. Mudang-mudahan penulis dapat
meperbaikinya pada tugas-tugas makalh selanjutnya. Atas bingbingan, perhatian
dan dukungan dosen hukum Islam penulis mengucapkan terimakasi.
Daftar Pustaka
1)
Lihat buku Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih
Munakahat 1, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), halaman. 12-18.
2)
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan
Islam, Yogyakarta, 1977, hal 10
3)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Jakarta, 1985, hal 23
4)
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme
Dalam Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia, Surabaya Airlangga
University Press, Surabaya, 1988, hal 36
Posting Komentar