Headlines News :

Terpopuler

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

: 23 Juli 1999

 
Oleh Pilo Poly
Ahmad Daryanto ke luar dari rumahnya. Setelan baju tentara yang ia pakai terlihat gagah. Beda dengan puluhan tahun yang lalu sebelum menjadi tentara. Wak Minah dan Apalah harus menjual beberapa petak sawah untuk keperluan administrasi anak mereka. Bahkan orangtuanya terpaksa menambahkan nama anak mereka dengan Daryanto. Karena dulu siapa yang mau jadi tentara harus berbekal nama Anto, Yanto ataupun Susanto. Walau sebenarnya Ahmad Daryanto telah memiliki nama lahir sebagai Ahmad Subhan, namun karena keinginannya yang besar untuk jadi tentara, terpaksalah orang tuanya membuat kenduri untuk pergantian nama tersebut. Apa lagi dimasa-masa pahit itu nama dan latar belakang keluarga menjadi prioritas.
“Usahlah jadi tentara. Jadi yang lain saja tak bisa?” suatu kali Wak Minah mempertanyakan keinginan anak lelakinya itu. Mungkin karena takut terjadi apa-apa terhadap anak sematawayangnya.
“Mak, jadi tentara itu hebat. Kita bisa membela Negara!” Ahmad Daryanto bersemangat menjawab pertanyaan Wak Minah.
“Biarlah dia menjadi dirinya, Mak. Tidak usah kau larang anakmu.” Apalah, ayah Ahmad Daryanto mendukung niat baik anaknya sambil menepuk pundak Ahmad Daryanto.
Waktu terus bergulir. Jaman pun telah berubah. Kini Ahmad Daryanto sudah berpangkat Pelda. Keraguan Wak Minah terbayar dengan kegigihan Ahmad Daryanto. Sebab, kini ia sudah bisa menaikkan haji Wak Minah dan Apalah, walau dengan gaji tak seberapa itu.
“Bangga aku sama kau, Nak.” Giliran Wak Minah menepuk pundak Ahmad Daryanto.
Ia tersenyum bangga karena sudah bisa menyakinkan orangtuanya terhadap tugas mulianya itu. Tak disangka, ada hal yang selama ini Ahmad Daryanto sembunyikan. Jauh di lubuk terdalam hatinya, perih dan luka menyatu padu. Pikirannya menerawang pada satu tempat yang terletak di antara dua gunung. Di lembah yang berdarah itu. Ia mematung. 

***
Suara air sungai yang mengalir ke barat sayup-sayup terdengar. Tak kalah dengan suara langkah beberapa orang tentara. Mungkin juga lebih. Suara yang timbul tenggelam itu beriringan dengan suara azan subuh yang merdu.
“Kalian bergerak ke arah barat, timur dan selatan. Selebihnya ikut denganku!” Salah satu ketua regu memberikan aba-aba pada anak buahnya sambil menutup peta yang sedari tadi dibolak-balik untuk mencari titik operasi.
“Jangan gegabah!” desak lelaki tegap yang wajahnya di kamuflase itu.
“Dan ingat sandi..!” desaknya lagi.
Perlahan, beberapa orang tentara mulai bergerak teratur sesuai dengan arahan. Suara-suara sepatu yang sedang menyeberangi jembatan, melangkah di bukit-bukit dan bebatuan sungai, membuat Ummi memasang kuping di belakang rumah setelah menyelesaikan sholat subuhnya.
“Usman …. Coba kemari sebentar, Nak.” Ummi tergopoh-gopoh berlari ke arah masjid kecil di samping rumahnya.
“Ada apa, Mi?” Usman keheranan melihat Ummi setengah bernafas.
“Sepertinya, di belakang rumah kita ada sesuatu. Ada suara-suara.” Ummi menceritakan perihal suara aneh di belakang rumah mereka. Tanpa menunggu lama, Usman masuk ke dalam rumah dan mengambil senter. Lalu mulai mencari-cari suara itu. Tapi, lama ia berdiri di sana, tak ia dapatkan keanehan seperti yang dijelaskan Ummi, emaknya.
Malam masih menyisakan dingin saat itu. Abu Banta keluar dari masjid setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Biasanya Abu Banta dan Usman tidak keluar dulu, karena setiap subuh sampai menjelang fajar, Abu Banta masih memimpin dzikir sampai pagi terang.
“Ada apa, Mi?” Abu bertanya santun.
Saat itu, Usman dan Ummi saling bertatapan dengan wajah yang penuh tanda tanya. Raut wajah Abu Banta juga terlihat beda. Seperti mengisyaratkan sebuah pesan.
“Hati Ummi nggak enak, Abu,” kata Ummi. Usman masih terdiam. Hatinya bergetar hebat. Ia juga merasakan sesuatu.
“Oh … Ya sudah!” Abu Banta membalikkan badan, lalu masuk ke dalam masjid.
Sambil masuk ke dalam mesjid, Abu Banta mendengarkan bisikan batin, bahwa ada beberapa tamu yang sedang menuju ke rumah mereka. Di bukit-bukit, jembatan dan batu sungai.

***
Pagi telah sempurna. Tapi angin tidak ada. Pun kicauan burung belum terdengar suaranya. Juga gemercik air sungai, menghilang dalam kegelisahan. Dalam deretan sepatu PDL dan gagang senjata, di depan rumah Abu Banta. Beberapa tentara lelah lagi menunggu jawaban.
“Ayo, di mana kalian sembunyikan ganja dan senjata itu?” tanya salah satu tentara berwajah tirus, dan berjambang pada Usman. Di lehernya terdapat salah satu anak kalung dari kuping manusia.
Abu Banta keluar dari masjid diikuti beberapa jamaah lain yang tak lain tak bukan adalah muridnya. Suara gaduh di luar terdengar jelas ke dalam mesjid.
“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” Ujung mata Abu Banta masih mencari-cari sandal jepitnya. Ketika melihat ke arah suara, Abu Banta mendapati beberapa tentara yang sedang menodongkan moncong senjata ke arah anaknya.
“Kalian! Kemari semua! Baris, baris!” Salah satu tentara berkepala botak dan berwajah beringas yang lain menarik tangan Abu Banta dengan kasar dan menyuruhnya untuk berbaris ke arah timur masjid.
“Kami dengar di sini ada pengacau keamanan. Di mana mereka kalian sembunyikan? Di mana?” tanya tentara botak itu. Suara kokangan senjata membuat suasana makin mencekam. Akan tetapi, Abu Banta dengan senyum yang mengembang tak sedikit pun memperlihatkan ketakutan dan kemarahan.
“Ini pesantren, Pak. Jadi tidak ada ganja atau pun senjata seperti yang bapak bilang itu.” Abu Banta menjawab. Sebagaian santri terdiam. Kepala mereka menunduk ke tanah.
“Kau. Ya, kau yang pakai peci putih itu!” tunjuk tentara lain lagi. Seperti ingin menelan mentah-mentah orang yang baru ia tunjuk.
“Iya, Pak!” jawab orang tersebut. Mimik wajahnya pucat ketakutan.
Tentara itu melangkah maju ke arah lelaki yang terakhir diketahui bernama Malem. Lalu tentara itu menunjuk-nunjuk ke arah atap masjid yang terdapat salah satu antena radio biasa.
“Itu, kamu lihat? Antena apa?” Popor senjata menyambar wajah Malem sebelum ia menjawab. Keadaan makin gaduh. Orang-orang desa yang kebetulan lewat disunguhkan tontonan yang tidak manusiawi. Beberapa santri terlihat sangat gelisah. Takut apa yang diceritakan Abu Banta tadi malam akan benar-benar terjadi pagi ini.
Melihat Malem dihajar popor senjata, Usman bangkit dan maju, tidak perduli dengan puluhan tentara lain di depannya. Ia berteriak lantang.
“Apa yang kau lakukan?” tanyanya. Sebelum berhasil memukul salah satu tentara yang memukul Malem, peluru-peluru berterbangan menyapu orang-orang yang ada di depan mereka. Darah mulai berhamburan. Empat puluh dua orang meninggal di tempat dengan tangan saling berangkulan. Masyarakat yang ada di depan pesantren semuanya tiarap.

***
“Besok, tidak boleh ada yang pulang. Kita ada tamu istimewa,” ucap Abu Banta dengan wajah kharismatiknya.
“Memang ada apa, Tengku?” tanya salah satu santri yang penasaran.
“Kita ada tamu dari Jakarta!” jawabnya sambil tersenyum.
Dan beberapa santri lain agak heran dengan apa yang baru saja mereka dengar. Tamu istimewa dari Jakarta pula. Setahu santri-satri itu, tidak ada kenalan Abu Banta yang berasal dari Jakarta. Kecuali beberapa orang yang selalu menjahatinya. Seperti menuduhnya seorang pengacau keamanan. Sehingga beliau pun sempat dijobloskan ke dalam penjara.
“Tapi mau apa mereka kemari, Tengku?” salah satu santri, yang mempelajari ilmu beladiri itu bertanya heran. Di pesantren ini, memang Abu Banta menerima semua golongan orang yang mau belajar ilmu agama. Mau itu penjudi, pencuri, perampok, pemerkosa dan lain-lain. Hal itu dilakukannya karena orang-orang tersebut tidak layak diterima oleh masyarakat. Maka dari itu banyak orang-orang seperti mereka yang menjadi santri di pesantrennya. Awal-awalnya mereka memang ingin memiliki ilmu supaya lebih hebat. Bisa mengalahkan siapapun lawan mereka. Namun sejalan kemudian, orang-orang ini tersadar bahwa yang dilakukan mereka itu patut untuk diubah karena makin dalamnya ilmu agama yang mereka pelajari, dan tulusnya seorang Abu Banta mengajarkan ilmu agama pada mereka.
Atas nasihat Abu Banta yang punya kharisma tinggi itu, mereka pun perlahan mulai berubah. Menjadi santri seutuhnya tanpa embel-embel lain. Dan merekalah yang bahu-membahu membangun pesantren jauh lebih bagus dari sebelumnya.
“Mereka ingin memastikan sesuatu.”
“Mungkin juga akan ada korban. Jika ada yang mau pulang, sekarang saatnya.” Akhirnya, Abu Banta menjawab pertanyaan santrinya tadi.
***
“Kenapa kau murung?” sela Wak Minah sesaat sebelum meninggalkannya dan masuk ke dalam rumah. Tapi Ahmad Daryanto bergeming, ia hanya memperlihatkan senyuman tanda tidak terjadi apa-apa terhadapnya.
Dalam hati ia berjanji, nanti sepulang dari tugas negara, ia akan mengunjungi makam Abu Banta, ia ingin terlepas dari beban psikologi batinnya yang selama ini selalu diliputi rasa bersalah atas kesalahan anggotanya.*
 
 

histat

Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. Komando Strategi Mahasiswa Merdeka (KOSTUM MERDEKA) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger