Headlines News :
Home » » Pemikiran Tentang Pidana dan Pemidanaan

Pemikiran Tentang Pidana dan Pemidanaan

Written By Unknown on Jumat, 02 Januari 2015 | 00.52


Oleh : Baginda Ali Zubeir Hasibuan

https://www.facebook.com/pages/Warung-Merdeka-Art/777919545554428?fref=ts 


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia baik bersifat individu maupun kolektif. Banyaknya jumlah manusia dan beragamnya kepentingan mereka tidak mustahil menimbulkan pergeseran antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya perlulah dilakukan perlindungan terhadap kepentingan tersebut untuk kehidupan yang lebih baik. Perlindungan itu bisa dilakukan dengan membentuk suatu peraturan atau kaidah dengan disertai sanksi yang bersifat mengikat dan memaksa.
Kaidah hukum tersebut harus diyakini dengan sungguh-sungguh untuk melindungi kepentingan manusia yang akan berlaku di dalam masyarakat sebagai pedoman tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak baik sebagai individu maupun kelompok. Masyarakat harus menyadari bahwa hal ini patut dilakukan . Kesadaran dari masyarakat akan patut atau tidak patutnya dilakukan di dalam masyarakat inilah memberi wibawa kepada kaidah hukum sehingga hukum itu ditaati. Tanpa wibawa tersebut hukum tidak akan ditaati.
Sehubungan dengan itu, perlulah kiranya membangun atau melakukan pembaharuan terhadap hukum khususnya pembaharuan hukum pidana dengan Pemikiran tentang pidana dan pemidanaan mempunyai wibawa. Pada kajian mengenai membangun atau memperbaharui hukum bukan hanya memperbaharui pasal-pasal yang kurang tepat diterapkan dengan keadaan sekarang, melainkan juga harus dikaji secara komperhensif ide dasar dari pembentukan hukum yang baru sehingga ketika diterapkan hukum tersebut tidak seperti tambal sulam.
Dalam sejarah panjang pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KHUP) sudah semenjak lama hal ini dibahas. Hingga kini, RUU KUHP tersebut belum juga diundangkan menjadi undang-undang. Lamanya pembahasan dimungkinkan mengarahkan RUU KUHP menjadi lebih sempurna atau masih terus-menerus disempurnakan seiring dengan banyaknya kejahatan baru yang timbul. Sehingga ketika diberlakukan KUHP baru, ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan undang-undang khusus diluar KUHP atau sebagai aturan umum jika tidak ada undang-undang khusus yang mengaturnya dan juga dimungkin-kan  sesuai dengan perkembangan hukum dan ilmu hukum yang terjadi.
Ide dasar mengenai pokok pikiran tentang konsep RUU KUHP dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/penggantian KUHP lama (Wetbook van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. KUHP WvS sekarang ini dirasakan sudah kurang cocok untuk menjawab permasalahan hukum yang ada. Serta perlunya pembenahan mengenai sistem pemidanaan di Indonesia. Sehingga hukum itu dapat ditegakan berdasarkan keadilan. Untuk menjamin tetap tegaknya keadilan, maka materi hukum nasional nantinya harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.
Upaya pembaharuan hukum pidana termasuk dibidang penal policy merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy dan social policy. Ini berarti pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum, untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional, serta upaya peninjauan kembali pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultur yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini.
Bukanlah pembaharuan hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajahan (KUHP WvS). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana harus jauh lebih baik pengaturannya dibandingkan KUHP WvS dan juga harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi nilai.
Selama ini diketahui bahwa tindak pidana dalam KUHP WvS hanya berada dalam tataran teori saja bukan dalam suatu aturan umum, sehingga dalam penerapannya orang-orang akan merujuk pada teori-teori yang ada. Makah al ini pulalah yang melatar belakangi penulis, menulis Makalah yang berjudul “Pemikiran Tentang Pidana dan pemenidaan”, untuk diajukan sebagai tugas kelompok mata kulia Slekta Hukum, sebagai persyaratan mendapatkan nilai semester VII difakultas Hukum Universitas Pamulang.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis hanya membatasi pada penyelesaian masalah yang telah dirumuskan berikut ini :
1.      Bagaiman perkembangan Pemeikiran Tentang Pidana dan Pemidanaan dalam setiap masa sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
C.    Tujuan
1.      Tujuan Praktis
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan nilai matakuliah selekta hokum di smester VII Fakultas Hukum Universitas Pamulang.
2.      Tujuan akademis
Dalam penulisan makalah ini, penulis bertujuan menambahkan wawasan dan referinsi penulis tentang Pekiriran Pidana dan pemidanaan.



BAB II
Pengetian Pidana dan Pemidanaan, Landasan Filosofis dan Aliran-aliran Hukum Pidana
A.    Pengertian Pidana dan Pemidanaan
A.1. Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikena-kan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.[1]
Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang diper-gunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.[2]
Menurut Satochid Kartanegara,[3] bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1.      Jiwa manusia (leven);
2.       Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3.       Kehormatan seseorang (eer);
4.       Kesusilaan (zede);
5.      Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6.      Harta benda/kekayaan (vermogen).
A.    2. Pengertian Pemidanaan 
Pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict)  maupun pelanggaran (wetsdelict).
A.    2.1   Kejahatan (rechtsdelict)
Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karean perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP)

A.    2.2 Pelanggaran (wetsdelict
Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).[4]
B.     Landasan Filosofis Pidana dan pemidanaan
Mengkaji masalah hakikat Pemikiran pidana dan pemidanaan, maka pembicaraan tertuju kepada masalah tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana. Dalam KUHP sendiri sesungguhnya tidak menyatakan secara tegas apa tujuan dari penjatuhan pidana tersebut. Tujuan pidana hanya dapat kita temukan dari teori-teori yang dikemukakan para ahli. Oleh karena itu maka teori-teori tujuan pidana erat sekali hubungannya dengan perkembangan dari hukum pidana itu sendiri.
Dalam hukum pidana dikenal adanya dua aliran/mazhab, yaitu Aliran Kalasik dan Alairan Positif atau Modern. Aliran Kalsik pada awalnya muncul pada abad ke 18, merupakan reaksi terhadap masa ancien regime yang berkembang di Prancis dan Inggris dimana telah menimbulkan rasa ketidak pastian hukum dan  ketidak adilan.
Alian klasik terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitik beratkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis dan ukuran pemidanaannya (definite sentence). Pada hakikatnya Aliran Klasik menghendaki adanya suatu kepastian hukum, sehingga segala sesuatunya harus dirumuskan dengan jelas dan pasti dalam suatu UU. Pada prinsipnya aliran ini didasari oleh pemikiran bahwa manusia mempunyai kebebasan kehendak ( free will ).
Aliran Positif/Modern, muncul pada abad ke 19 yang lebih memusatkan perhatiannya kepada si pembuat/pelaku tindak pidana.
Aliran ini dikatakan modern karena pendekatan yang dipakai dalam mencari causa kejahatan didasarkan kepada metode ilmiah, dengan maksud untuk mendekati dan mempengaruhi pelaku secara positif sejauh dapat diperbaiki.  Aliran ini beranggapan bahwa seseorang melakukan tindak pidana bukan didasarkan kepada kehendak bebas yang dimiliki setiap orang, namun secara kongkrit dipengaruhi oleh watak pribadi, faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya.
Atas dasar hal tersebut, maka orang yang melakukan tindak pidana tidak patut untuk dipersalahkan dan dipidana apalagi dilakukan pembalasan. Melainkan harus dilakukan suatu tindakan perlindungan masyarakat. Apabila masih tetap digunakan istilah pidana, maka pidana harus tetap berorientasi kepada sifat-sifat si pembuat (Individualisasi pidana).
Khususnya mengenai hakikat pidana dan pemidanaan, maka arah pembicaraan terfokus kepada dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisionil teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi kedalam dua kelompok teori, yaitu:
1.      Teori Absolut atau teori pembalasan (Retributive/vergeldings theorieen);
2.      Teori Relatif atau teori Tujuan (Utilitarian/doeltheorieen).
Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakaukan kejahatan. Dengan demikian dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johanes Andrenaes, tujuan utama (primer) dari pidana menurut teori pembalasan adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh yang menguntungkan lebih bersifat sekunder[5].
Dalam perkembangan selanjutnya teori pembalasan klasik sudah tidak dianut lagi, dan bergeser kearah yang lebih modern. Dimana pembalasan bukan lagi sebagai tujuan tersendiri, melainkan sebagai pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana.
Menurut teori Relatif, memidana bukkanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana lebih ditujukan kepada perlindungan masyarakat serta mengurangi frekwensi kejahatan. Dasar pembenar penjatuhan pidana menurut teori ini terletak kepada tujuannya, yaitu supaya orang tidak melakukan kejahatan/ mencegah kejahatan. Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara istilan prevensi spesial dan prevensi general atau special deterence dan general deterence.
Selain dua teori klasik tersebut, dikenal juga suatu teori yang dsebut teori gabungan (vereningings theorieen). Sebagaimana nama teorinya yaitu gabungan, maka menurut teori ini  pidana ditujukan bukan saja sebagai pembalasan yang beratnya tidak boleh melampaui balasan yang adil, namun pidana juga harus mempunyai pengaruh sebagai perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan sebagai prevensi general.
Dari teori-teori tersebut nampak bahwa tujuan dari dijatuhkannya pidana mengalami suatu kemajuan kearah yang lebih rational dan manusiawi. Bahkan saat ini tujuan pidana yang banyak dianut merupakan pengembangan dari tujuan pidana yang ditujukan kepada perlindungan masyarakat (social defence) sebagaimana yang dianut dalam teori relatif.
Secara umum tujuam pidana yang  banyak dianut adalah berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Bentuk-bentunya antara lain dapat berupa:
a.       perlindungan  masyarakat terhadap tindakan anti sosial, maka tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan. 
b.      Perlindungan masyarakat terhadap sifat bahayanya si pelaku, maka tujuan pidana adalah upaya untuk memperbaiki si pelaku.
c.       Perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam mengunakan sanksi pidana, maka tujuan pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya.
d.      Perlindungan dalam hal perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Tujuam pidana  adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat[6].
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, keempat konsep tujuan pidana dan pemidanaan tersebut dijadikan sebagai landasan. Hal tersebut nampak dalam rumusan-rumusan yang tertuang dalam Rancangan Konsep KUHP (RKUHP). Menurut Pasal 51 RKUHP Pemidanaan dimaksudkan untuk:
Ayat (1) a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demim pengayoman masyarakat;
b.  menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
c. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan
d.  membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Ayat (2)   Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia[7].
Selain mengatur masalah tujuan pemidanaan, konsepun mengatur pula masalah pedoman pemidanaan dilandasi oleh pemikiran individualisasi, yaitu pedoman bagi hakim sebelum menjatuhkan putusan[8].
Dilihat dari jenis pidanananya itu sendiri, perkembangan ke arah yang lebih rational dan manusiawi nampak pula dalam RKUHP, dimana pidana meliputi:
Pidana Pokok yang terdiri atas :
a.       pidana penjara;
b.      pidana tutupan;
c.       pidana pengawasan;
d.      pidana denda; dan
e.       pidana kerja sosial.
Pidana tambahan terdiri atas:     
a.       pencabutan hak-hak tertentu;
b.      perampassan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
c.       pengumuman putusan hakim;
d.      pembayaran ganti kerugian; dan
e.       pemenuhan kewajiban adat[9].

Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut baru berupa konsep, namun nampaknya masalah pidana dan pemidanaan dalam hukum pidana kita menunjukan adanya suatu kemajuan yang cukup berarti. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana ide dan konsep-konsep tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu menegakan hukum demi tercapainya rasa keadilan.

C.     Aliran-aliran dalam Hukum Pidana.
Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut adalah aliran klasik, aliran modern (aliran positif) dan aliran neo klasik. Perbedaaan aliran klasik, modern dan neo klasik atas karakteristik masing-masing erat sekali hubungannya dengan keadaan pada zaman pertumbuhan aliran-aliran tersebut.[10]
Aliran klasik yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn regime di Perancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur.[11] Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.      Definisi hukum dari kejahatan;
b.      Pidana haru sesuai dengan kejahatannya.
c.       Doktrin kebebasan berkehendak;
d.       Pidana mati untuk beberapa tindak pidana;
e.       Tidak ada riset empiris; dan
f.       Pidana yang ditentukan secara pasti.
Aliran Modern atau aliran positif muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang. [12]Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut :
a.       Menolak definisi hukum dari kejahatan;
b.      Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana;
c.       Doktrin determinisme;
d.       Penghapusan pidana mati;
e.       Riset empiris; dan
f.       Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.











BAB III
Kesimpulan dan Penutup
A.    Kesimpulan
1.      Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakaukan kejahatan. Dengan demikian dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
2.      Menurut teori Relatif, memidana bukkanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana lebih ditujukan kepada perlindungan masyarakat serta mengurangi frekwensi kejahatan. Dasar pembenar penjatuhan pidana menurut teori ini terletak kepada tujuannya, yaitu supaya orang tidak melakukan kejahatan/ mencegah kejahatan. Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara istilan prevensi spesial dan prevensi general atau special deterence dan general deterence.
3.      teori gabungan (vereningings theorieen). Sebagaimana nama teorinya yaitu gabungan, maka menurut teori ini  pidana ditujukan bukan saja sebagai pembalasan yang beratnya tidak boleh melampaui balasan yang adil, namun pidana juga harus mempunyai pengaruh sebagai perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan sebagai prevensi general.
4.      Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, keempat konsep tujuan pidana dan pemidanaan tersebut dijadikan sebagai landasan. Hal tersebut nampak dalam rumusan-rumusan yang tertuang dalam Rancangan Konsep KUHP (RKUHP).
A.    PENUTUP
Demikianlah isi makalah kami, dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Atas kekurangan penulis besar karapan kami teman-teman dapat memberikan masukan berupa saran dan keritik, sebagai acuan penulis dalam meningkatkan kualitas tulisan dan pembelajaran. Atas saran dan kritik pembaca kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.












DAFTAR PUSTAKA
1.      Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang, 1994
2.      Edi Setiadi, SH., MH,  Makalah pada Puskaji, Rabu, 8 Maret 2000.
3.      J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.
4.      Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 1.
5.      Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984
6.      Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 29-32.
7.      Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal. 275-276.
8.      Departemen Kehakiman RI. Konsep Rancangan KUHP, 1997/1998
9.      RUU KUHP
10.  http://zamrul.wordpress.com/2009/02/24/perbedaan-kejahatan-dengan-pelanggaran/#more-239



[1] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 1.
[2] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.
[3] Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal. 275-276.

[4] http://zamrul.wordpress.com/2009/02/24/perbedaan-kejahatan-dengan-pelanggaran/#more-239

[5] Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984.
[6] Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang, 1994.
[7] Departemen Kehakiman RI. Konsep Rancangan KUHP, 1997/1998.
[8] Lihat makalah Edi Setiadi, SH., MH, pada Puskaji, Rabu, 8 Maret 2000.
[9] Pasal. 65 dan 76 RKUHP.
[10] Zainal Abidi “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP” Elsam,2005. Hal. 8
[11] Tokoh dalam aliran klasik ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremi Bentham. Beccaria meyakini konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya secukupnya kepada negara dan oleh karenanya hukum harusnya hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap persamaan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah kebahagiaan yang terbesar untuk orang sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy Bentham melihat suatu prinsip baru yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang irrasional yang absolut, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan. Lihat : Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 29-32.
[12] Marc Ancel mempelopori gerakan perlindungan masyarakat baru (new social defence) yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor aliran modern adalah Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence), pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep kejahatan natural (natural crime) yang merupakan pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana. Ferri menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan tetapi bilama ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup terus tanpa melanggar pidana ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat undang-undang harus selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat. Ibid., hlm. 33-40.
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. Komando Strategi Mahasiswa Merdeka (KOSTUM MERDEKA) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger