Oleh : Baginda Ali Zubeir Hasibuan
https://www.facebook.com/pages/Warung-Merdeka-Art/777919545554428?fref=ts
https://www.facebook.com/pages/Warung-Merdeka-Art/777919545554428?fref=ts
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya hukum berfungsi untuk
melindungi kepentingan manusia baik bersifat individu maupun kolektif.
Banyaknya jumlah manusia dan beragamnya kepentingan mereka tidak mustahil
menimbulkan pergeseran antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya
perlulah dilakukan perlindungan terhadap kepentingan tersebut untuk kehidupan
yang lebih baik. Perlindungan itu bisa dilakukan dengan membentuk suatu
peraturan atau kaidah dengan disertai sanksi yang bersifat mengikat dan
memaksa.
Kaidah hukum tersebut harus diyakini
dengan sungguh-sungguh untuk melindungi kepentingan manusia yang akan berlaku
di dalam masyarakat sebagai pedoman tentang bagaimana seharusnya manusia
bertindak baik sebagai individu maupun kelompok. Masyarakat harus menyadari
bahwa hal ini patut dilakukan . Kesadaran dari masyarakat akan patut atau tidak
patutnya dilakukan di dalam masyarakat inilah memberi wibawa kepada kaidah
hukum sehingga hukum itu ditaati. Tanpa wibawa tersebut hukum tidak akan
ditaati.
Sehubungan dengan itu, perlulah
kiranya membangun atau melakukan pembaharuan terhadap hukum khususnya
pembaharuan hukum pidana dengan Pemikiran tentang pidana dan pemidanaan
mempunyai wibawa. Pada kajian mengenai membangun atau memperbaharui hukum bukan
hanya memperbaharui pasal-pasal yang kurang tepat diterapkan dengan keadaan
sekarang, melainkan juga harus dikaji secara komperhensif ide dasar dari
pembentukan hukum yang baru sehingga ketika diterapkan hukum tersebut tidak
seperti tambal sulam.
Dalam sejarah panjang pembentukan
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KHUP) sudah
semenjak lama hal ini dibahas. Hingga kini, RUU KUHP tersebut belum juga
diundangkan menjadi undang-undang. Lamanya pembahasan dimungkinkan mengarahkan
RUU KUHP menjadi lebih sempurna atau masih terus-menerus disempurnakan seiring
dengan banyaknya kejahatan baru yang timbul. Sehingga ketika diberlakukan KUHP
baru, ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan undang-undang khusus diluar KUHP
atau sebagai aturan umum jika tidak ada undang-undang khusus yang mengaturnya
dan juga dimungkin-kan sesuai dengan perkembangan hukum dan ilmu hukum
yang terjadi.
Ide dasar mengenai pokok pikiran
tentang konsep RUU KUHP dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional
untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/penggantian KUHP lama (Wetbook
van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
KUHP WvS sekarang ini dirasakan sudah kurang cocok untuk menjawab permasalahan
hukum yang ada. Serta perlunya pembenahan mengenai sistem pemidanaan di
Indonesia. Sehingga hukum itu dapat ditegakan berdasarkan keadilan. Untuk
menjamin tetap tegaknya keadilan, maka materi hukum nasional nantinya harus
disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa
dan bernegara bangsa Indonesia.
Upaya pembaharuan hukum pidana
termasuk dibidang penal policy merupakan bagian dan terkait erat dengan law
enforcement policy, criminal policy dan social policy. Ini berarti
pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan untuk memperbaharui
substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum, untuk
memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, untuk
mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional, serta upaya peninjauan kembali pokok-pokok
pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan
sosio-kultur yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum
pidana selama ini.
Bukanlah pembaharuan hukum pidana
apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan
orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajahan (KUHP WvS). Dengan
demikian, pembaharuan hukum pidana harus jauh lebih baik pengaturannya
dibandingkan KUHP WvS dan juga harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi nilai.
Selama ini diketahui bahwa tindak
pidana dalam KUHP WvS hanya berada dalam tataran teori saja bukan dalam suatu
aturan umum, sehingga dalam penerapannya orang-orang akan merujuk pada
teori-teori yang ada. Makah al ini pulalah yang melatar belakangi penulis,
menulis Makalah yang berjudul “Pemikiran Tentang Pidana dan pemenidaan”, untuk
diajukan sebagai tugas kelompok mata kulia Slekta Hukum, sebagai persyaratan
mendapatkan nilai semester VII difakultas Hukum Universitas Pamulang.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam penulisan makalah ini,
penulis hanya membatasi pada penyelesaian masalah yang telah dirumuskan berikut
ini :
1. Bagaiman
perkembangan Pemeikiran Tentang Pidana dan Pemidanaan dalam setiap masa sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
C.
Tujuan
1. Tujuan
Praktis
Dalam
penulisan makalah ini penulis bertujuan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan
nilai matakuliah selekta hokum di smester VII Fakultas Hukum Universitas
Pamulang.
2. Tujuan
akademis
Dalam
penulisan makalah ini, penulis bertujuan menambahkan wawasan dan referinsi
penulis tentang Pekiriran Pidana dan pemidanaan.
BAB
II
Pengetian
Pidana dan Pemidanaan, Landasan Filosofis dan Aliran-aliran Hukum Pidana
A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
A.1. Pengertian Pidana
Pidana
berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan
sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikena-kan/dijatuhkan
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.[1]
Menurut
Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana,
yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah
istilah umum yang diper-gunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum
perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana
diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum
pidana.
Hukum
pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan.
Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja.
Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting
antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.[2]
Menurut
Satochid Kartanegara,[3]
bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh
undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu
norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau
penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang
dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus
diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang
terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan
pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang
hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai
berikut:
1. Jiwa manusia (leven);
2. Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3. Kehormatan seseorang (eer);
4. Kesusilaan (zede);
5. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke
vryheid);
6. Harta benda/kekayaan (vermogen).
A. 2. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan
adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang
yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict) maupun
pelanggaran (wetsdelict).
A. 2.1 Kejahatan (rechtsdelict)
Orang
baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karean perbuatan tersebut
tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik
undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569.
Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan
(pasal 285 KUHP)
A. 2.2 Pelanggaran (wetsdelict
Meskipun
perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana
tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut
dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum).
Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk
ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh
pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).[4]
B.
Landasan
Filosofis Pidana dan pemidanaan
Mengkaji
masalah hakikat Pemikiran pidana dan pemidanaan, maka pembicaraan tertuju
kepada masalah tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana. Dalam KUHP sendiri
sesungguhnya tidak menyatakan secara tegas apa tujuan dari penjatuhan pidana
tersebut. Tujuan pidana hanya dapat kita temukan dari teori-teori yang
dikemukakan para ahli. Oleh karena itu maka teori-teori tujuan pidana erat
sekali hubungannya dengan perkembangan dari hukum pidana itu sendiri.
Dalam
hukum pidana dikenal adanya dua aliran/mazhab, yaitu Aliran Kalasik dan Alairan
Positif atau Modern. Aliran Kalsik pada awalnya muncul pada abad ke 18,
merupakan reaksi terhadap masa ancien regime yang berkembang di Prancis
dan Inggris dimana telah menimbulkan rasa ketidak pastian hukum dan
ketidak adilan.
Alian
klasik terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan
menitik beratkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak
pidana. Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini pada awalnya sangat
membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis dan ukuran pemidanaannya (definite
sentence). Pada hakikatnya Aliran Klasik menghendaki adanya suatu kepastian
hukum, sehingga segala sesuatunya harus dirumuskan dengan jelas dan pasti dalam
suatu UU. Pada prinsipnya aliran ini didasari oleh pemikiran bahwa manusia
mempunyai kebebasan kehendak ( free will ).
Aliran
Positif/Modern,
muncul pada abad ke 19 yang lebih memusatkan perhatiannya kepada si
pembuat/pelaku tindak pidana.
Aliran ini
dikatakan modern karena pendekatan yang dipakai dalam mencari causa kejahatan didasarkan
kepada metode ilmiah, dengan maksud untuk mendekati dan mempengaruhi pelaku
secara positif sejauh dapat diperbaiki. Aliran ini beranggapan bahwa
seseorang melakukan tindak pidana bukan didasarkan kepada kehendak bebas yang
dimiliki setiap orang, namun secara kongkrit dipengaruhi oleh watak pribadi,
faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya.
Atas dasar
hal tersebut, maka orang yang melakukan tindak pidana tidak patut untuk
dipersalahkan dan dipidana apalagi dilakukan pembalasan. Melainkan harus
dilakukan suatu tindakan perlindungan masyarakat. Apabila masih tetap digunakan
istilah pidana, maka pidana harus tetap berorientasi kepada sifat-sifat si
pembuat (Individualisasi pidana).
Khususnya
mengenai hakikat pidana dan pemidanaan, maka arah pembicaraan terfokus kepada
dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisionil teori-teori
pemidanaan pada umumnya dapat dibagi kedalam dua kelompok teori, yaitu:
1. Teori Absolut atau teori pembalasan
(Retributive/vergeldings theorieen);
2. Teori Relatif atau teori Tujuan (Utilitarian/doeltheorieen).
Menurut teori absolut, pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan. Pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakaukan kejahatan. Dengan demikian dasar pembenar dari pidana terletak
pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johanes Andrenaes, tujuan
utama (primer) dari pidana menurut teori pembalasan adalah untuk memuaskan
tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh yang menguntungkan lebih bersifat
sekunder[5].
Dalam perkembangan selanjutnya teori
pembalasan klasik sudah tidak dianut lagi, dan bergeser kearah yang lebih
modern. Dimana pembalasan bukan lagi sebagai tujuan tersendiri, melainkan
sebagai pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan
pidana.
Menurut teori Relatif, memidana
bukkanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana lebih
ditujukan kepada perlindungan masyarakat serta mengurangi frekwensi kejahatan. Dasar
pembenar penjatuhan pidana menurut teori ini terletak kepada tujuannya, yaitu
supaya orang tidak melakukan kejahatan/ mencegah kejahatan. Tujuan pidana untuk
mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara istilan prevensi spesial dan
prevensi general atau special deterence dan general deterence.
Selain dua teori klasik tersebut,
dikenal juga suatu teori yang dsebut teori gabungan (vereningings theorieen).
Sebagaimana nama teorinya yaitu gabungan, maka menurut teori ini pidana
ditujukan bukan saja sebagai pembalasan yang beratnya tidak boleh melampaui
balasan yang adil, namun pidana juga harus mempunyai pengaruh sebagai perbaikan
sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan sebagai prevensi general.
Dari teori-teori tersebut nampak
bahwa tujuan dari dijatuhkannya pidana mengalami suatu kemajuan kearah yang
lebih rational dan manusiawi. Bahkan saat ini tujuan pidana yang banyak dianut
merupakan pengembangan dari tujuan pidana yang ditujukan kepada perlindungan
masyarakat (social defence) sebagaimana yang dianut dalam teori relatif.
Secara umum tujuam pidana yang
banyak dianut adalah berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan. Bentuk-bentunya antara lain dapat berupa:
a. perlindungan masyarakat
terhadap tindakan anti sosial, maka tujuan pidana adalah penanggulangan
kejahatan.
b. Perlindungan masyarakat terhadap
sifat bahayanya si pelaku, maka tujuan pidana adalah upaya untuk memperbaiki si
pelaku.
c. Perlindungan masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan dalam mengunakan sanksi pidana, maka tujuan pidana
adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa maupun warga
masyarakat pada umumnya.
d. Perlindungan dalam hal perlunya
mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai
yang terganggu oleh adanya kejahatan. Tujuam pidana adalah untuk
memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat[6].
Dalam perkembangan hukum pidana di
Indonesia, keempat konsep tujuan pidana dan pemidanaan tersebut dijadikan
sebagai landasan. Hal tersebut nampak dalam rumusan-rumusan yang tertuang dalam
Rancangan Konsep KUHP (RKUHP). Menurut Pasal 51 RKUHP Pemidanaan dimaksudkan
untuk:
Ayat (1) a. mencegah dilakukannya
tindak pidana dengan menegakan norma hukum demim pengayoman masyarakat;
b. menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat;
c. memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan
d. membebaskan rasa bersalah
pada terpidana.
Ayat (2) Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia[7].
Selain mengatur masalah tujuan
pemidanaan, konsepun mengatur pula masalah pedoman pemidanaan dilandasi oleh
pemikiran individualisasi, yaitu pedoman bagi hakim sebelum menjatuhkan putusan[8].
Dilihat dari jenis pidanananya itu
sendiri, perkembangan ke arah yang lebih rational dan manusiawi nampak pula
dalam RKUHP, dimana pidana meliputi:
Pidana Pokok yang terdiri atas :
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
Pidana tambahan terdiri
atas:
a. pencabutan hak-hak tertentu;
b. perampassan barang-barang tertentu
dan atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat[9].
Walaupun ketentuan-ketentuan
tersebut baru berupa konsep, namun nampaknya masalah pidana dan pemidanaan
dalam hukum pidana kita menunjukan adanya suatu kemajuan yang cukup berarti.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana ide dan konsep-konsep tersebut dapat
dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu menegakan hukum demi
tercapainya rasa keadilan.
C. Aliran-aliran dalam Hukum Pidana.
Salah
satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan
untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus
dikaitkan dengan aliran-aliran dalam
hukum pidana. Aliran-aliran tersebut adalah aliran klasik, aliran modern (aliran positif) dan aliran neo klasik. Perbedaaan
aliran klasik, modern dan neo klasik
atas karakteristik masing-masing erat sekali hubungannya dengan keadaan pada zaman pertumbuhan aliran-aliran
tersebut.[10]
Aliran
klasik yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn regime di Perancis dan Inggris yang banyak
menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme
mengenai kebebasan kehendak (free
will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana
perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi
tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran
ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana
dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus
dirumuskan dengan jelas dan tidak
memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat undang-undang
yang hanya menentukan salah atau tidaknya
seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur.[11]
Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.
Definisi hukum dari kejahatan;
b.
Pidana haru sesuai dengan
kejahatannya.
c.
Doktrin kebebasan berkehendak;
d.
Pidana mati untuk beberapa tindak pidana;
e.
Tidak ada riset empiris; dan
f.
Pidana yang ditentukan secara
pasti.
Aliran Modern
atau aliran positif muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran
determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine
of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan
berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak
dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak
pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini
menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan
resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak
pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian
hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu
sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana,
aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis
yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern
menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial
yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang. [12]Ciri-ciri
aliran modern adalah sebagai berikut :
a.
Menolak definisi hukum dari kejahatan;
b.
Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak
pidana;
c.
Doktrin determinisme;
d.
Penghapusan pidana mati;
e.
Riset empiris; dan
f.
Pidana yang tidak ditentukan secara
pasti.
BAB III
Kesimpulan dan Penutup
A.
Kesimpulan
1. Menurut teori absolut, pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan. Pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakaukan kejahatan. Dengan demikian dasar pembenar dari pidana terletak
pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
2. Menurut teori Relatif, memidana
bukkanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana lebih
ditujukan kepada perlindungan masyarakat serta mengurangi frekwensi kejahatan.
Dasar pembenar penjatuhan pidana menurut teori ini terletak kepada tujuannya,
yaitu supaya orang tidak melakukan kejahatan/ mencegah kejahatan. Tujuan pidana
untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara istilan prevensi spesial
dan prevensi general atau special deterence dan general deterence.
3. teori gabungan (vereningings
theorieen). Sebagaimana nama teorinya yaitu gabungan, maka menurut teori
ini pidana ditujukan bukan saja sebagai pembalasan yang beratnya tidak
boleh melampaui balasan yang adil, namun pidana juga harus mempunyai pengaruh
sebagai perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan sebagai prevensi
general.
4. Dalam perkembangan hukum pidana di
Indonesia, keempat konsep tujuan pidana dan pemidanaan tersebut dijadikan
sebagai landasan. Hal tersebut nampak dalam rumusan-rumusan yang tertuang dalam
Rancangan Konsep KUHP (RKUHP).
A.
PENUTUP
Demikianlah isi makalah kami, dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Atas kekurangan penulis besar
karapan kami teman-teman dapat memberikan masukan berupa saran dan keritik,
sebagai acuan penulis dalam meningkatkan kualitas tulisan dan pembelajaran.
Atas saran dan kritik pembaca kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif
Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang,
1994
2.
Edi Setiadi, SH., MH, Makalah pada Puskaji, Rabu, 8 Maret 2000.
3.
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1
Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.
4.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 1.
5.
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana. Alumni, 1984
6.
Muladi,
Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 29-32.
7.
Satochid Kartanegara, Kumpulan
Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V,
Tahun 1954-1955, hal. 275-276.
8.
Departemen Kehakiman RI. Konsep
Rancangan KUHP, 1997/1998
9.
RUU KUHP
10. http://zamrul.wordpress.com/2009/02/24/perbedaan-kejahatan-dengan-pelanggaran/#more-239
[1] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan
Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 1.
[2] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material
bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.
[3] Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum
Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal.
275-276.
[4]
http://zamrul.wordpress.com/2009/02/24/perbedaan-kejahatan-dengan-pelanggaran/#more-239
[5] Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni, 1984.
[6] Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif Dalam
Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang, 1994.
[7] Departemen Kehakiman RI. Konsep Rancangan KUHP,
1997/1998.
[8] Lihat makalah Edi Setiadi, SH., MH, pada Puskaji, Rabu, 8
Maret 2000.
[9] Pasal. 65 dan 76 RKUHP.
[10]
Zainal Abidi “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam RUU KUHP” Elsam,2005. Hal.
8
[11]
Tokoh dalam
aliran klasik ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremi Bentham. Beccaria meyakini
konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya
secukupnya kepada negara dan oleh karenanya hukum harusnya hanya ada untuk
melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap
persamaan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang
digunakan sebagai pedoman adalah kebahagiaan yang terbesar untuk orang
sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy Bentham melihat suatu prinsip baru yaitu utilitarian
yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang
irrasional yang absolut, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur.
Bentham menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi
untuk mencegah kejahatan. Lihat : Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat,
Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 29-32.
[12]
Marc Ancel
mempelopori gerakan perlindungan masyarakat baru (new social defence)
yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat
ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor
aliran modern adalah Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo.
Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh
pengadilan (the indeterminate sentence), pidana mati merupakan seleksi
terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap
mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus
diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi
tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep
kejahatan natural (natural crime) yang merupakan pengertian paling jelas
untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui
sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana. Ferri menyatakan
bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan tetapi bilama ia
mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup terus tanpa melanggar pidana
ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat
darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat undang-undang harus
selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik
di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi dengan
mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat. Ibid., hlm. 33-40.
Posting Komentar