A. Latar
Belakang
Pembuktian merupakan cara
untuk menunjukkan kejelasan perkara kepada Hakim supaya dapat dinilai apakah
masalah yang dialami penggugat atau korban dapat ditindak secara hukum. Oleh
karenanya, pembuktian merupakan prosedur yang harus dijalani karena merupakan
hal penting dalam menerapkan hukum materil.[1]
Dimuka
persidangngan pihak-pihak yang berperkara perdata
tentu akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan dasar
untuk menguatkan hak perdatanya, namun tidak cukup hanya dikemukakan begitu
saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi harus disertai
bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan
kebenarannya. Artinya, peristiwa-peristiwa tersebut harus disertai
pembuktian secara yuridis. Yang dimaksut dengan pembuktian adalah
penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa
suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.[2]
Dalam Hukum Pidana
Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan.[3]
Dalam menyelesaikan sebuah
perkara perdata maupun pidana, pihak yang bertugas menyelesaikan sengketa
haruslah melakukan pembuktian untuk menerangi dan menjelaskan secara gamblang
apa yang dialami. Pembuktian ini baru ada apabila terjadi bentrokan kepentingan
yang diselesaikan melalui peradilan. Sekali lagi hanya diselesaikan melalui
peradilan dan melalui hakim yang bersidang di depan persidangan. Lalu bentrokan
kepentingan siapa? Kepentingan dari para pihak, penggugat dan tergugat.
Bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui persidangan itulah yang
kemudian disebut perkara. Perkara yang diajukan ke pengadilan[4]
Ketentuan
yang mengetur tentang Hukum pembuktian, terdapat pada Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata. Dimana hukum acara
dikelompok kedalam Hukum formil yang melaksanakan hukum Materil dalam
pelaksanaan hukum di indonesia.
Didalam hukum acara pidana secara garis
besar dibagi dalam 5 tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan,
mengadili, melaksanakan putusan hakim dan pengawasan serta pengamatan putusan
pengadilan. Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang kait mengait
antara tahap satu dengan tahap selanjutnya yang akhirnya bermuara pda tahap
pemeriksaan terdakwa dalam persidangan pengadilan (tahap mengadili), yang
kemudian pada gilirannya adalah tahap mengawasi dan mengamati putusan
pengadilan ketika terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan.[5]
Menurut
Pilto sebagaimana dikutif oleh Sudikno Merto Kusumo Pembuktian ilmu
hukum dan ilmu pasti sangat berbeda :
v dalam ilmu pasti
kita kenal pembuktian logis dan seksama, memperoleh pembuktian yang sempurna
tidak mungkin dibantah. Misalnya dua buah garis yang sejajar tidak akan pernah
bertemu;
v pembuktian dalam
hukum selalu ada ketidakpastian sekalipun bukti sempurna; Hakim yang satu
mengganggap pembuktian sudah cukup, sedang yang lain menganggap belum, tiap
hakim memutus dengan kepastian sendiri;
v Selain itu ada
perbedaan antara bukti ilmu pasti dan ilmu hukum. Dalam ilmu pasti menetapkan kebenaran
terhadap setiap orang, sedang dalam perkara hanya ditetapkan terhadap pihak
berperkara. Bukti dalam hukum tidak pernah akan mencapai kebenaran mutlak, akan
tetapi hanya mencapai kebenaran relatif;[6]
Ada perbedaan Pembuktian Pidana
dan Pembuktian perdata didalam huku pembuktian yang melatar belakangin saya
menulis makalah yang berjudul “ Hukum Pembuktian” guna memenuhi tugas makalah
untuk mendapatkan nilai mata kuliah hukum pembuktian disemester V fakultas
hukum Universitas Pamulang
B. Rumusan Masalah
1. Apakah fungsi dan tujuan
hukum pembuktian..?
2. Bagaimana perbedaan
Pembuktian Pidana dan Pembuktian perdata dalam hukum pembuktian..?
C. Tujuan dan manfaat
1. Tujuan
Tujuan praktis : untuk mendapatakan Nilai
mata kuliah hukum pembuktian
Tujuan akdemis : dapat memahami hukum
pembuktian secara mendalam.
2. Manfaat
Makalah singkat ini dapat memberikan pemhaman
kepada pembaca tentang manfaat dan tujuan pembuktian pidana dan pembuktian
perdata.
BAB II
Pembahasan
D.
Pengertian hukum pembuktian
Pengertian Pembuktian -
KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya
memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai
pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang
arti dari pembuktian. Pengertian Pembuktian Hukum Acara Pidana.[7]
Kebenaran yang diperoleh dari
pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal
atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim,
diantaranya :
“Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau
tidak mungkin diketahui oleh hakim. Hakim secara ex officio dianggap mengenall
peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Pengetahuan tentang
pengalaman”[8]
Sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum
Acara Perdata, tidak menganut Sistem Stelsel Negatif menurut Undang-undanga
(negative Wettelijk Stelsel) seperti proses pemeriksaan Pidana yang menuntut
pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses
Pengadilan pidana, selain berdasarkan bukti yang syah dan mencapai batas minum
pembuktian, juga kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsif inilah yang
disebut Beyond reasonable doub kebenaran yang diwujudkan sesuia dengan
bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap sebagai
kebenaran hakiki.[9]
Seperti yang dijelaskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur
dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang
mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan
haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya
hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”[10]
Martiman Prodjohamidjojo (1984: 11) mengemukakan
membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu
peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.[11]
Yang dimaksud dengan pembuktian, adalah
pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya (Darwan
Prinst, 1998: 133).[12]
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya
Harahap, 2006: 273).[13]
Pengertian
Hukum pembuktian adalah
merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti
yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan
tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 10).[14]
E. Asas – asas Hukum pembuktian
a. Sistem Pembuktian
Sistem hukum acara perdata di
Indonesia yang merujuk kepada HIR/RBg mendasarkan sistem pembuktiannya kepada “
kebenaran formil”, artinya hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata
terikat pada cara-cara tertentu menurut yang telah diatur di dalam
undang-undang saja.
Dalam praktek
peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari kebenaran materil terhadap
perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk
meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengualifisir
dan mengkonstituir, serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian
tersebut. Oleh karena itu sistem ini sudah banyak ditinggalkan orang, karena
perkembangan hukum dan keperluan praktek penyelenggaraan peradilan. Akhirnya
dipakai hukum acara perdata yang bukan hanya ditunjuk dalam HIR/RBg, tetapi
juga didapat dalam Rsv (Reglement op de Rechtvordering), dari
kebiasaan-kebiasaan praktek peradilan, termasuk dari surat-surat
edaran/petunjuk Mahkamah Agung, diantaranya mengatakan bahwa walaupun dalam
perkara perdata kebenaran yang hendak dicari adalah kebenaran formil, akan
tetapi pada dasarnya bagi perkara perdata tidak dilarang untuk mencari dan
menemukan kebenaran materil. (Putusan MA-RI No.3136 K/Pdt/1983).
Dengan demikian sistem pembuktian, tidak
lagi berdasarkan kepada kebenaran formil saja tetapi juga pada kebenaran
materil, artinya walaupun alat bukti telah mencukupi menurut formal dengan alat
bukti yang ditentukan dalam undang-undang, namun hakim tidak boleh memutus
perkara kalau ia tidak yakin bahwa hal itu telah terbukti secara materil.
Dalam
terminologi Islam para ulama fiqh tidak membedakan hukum-hukum bayyinat (pembuktian)
dalam perkara mu’amalat (kasus-kasus perdata) dengan hukum-hukum
bayyinat dalam perkara ‘uqubat (kasus-kasus pidana). Lebih dari itu,
pada kasus-kasus tertentu, Allah SWT dan RasulNya telah lansung menetapkan
hukum acara tertentu pada kasus tertentu dalam hal pembuktian. seperti
pembuktian pada kasus zina serta tata cara li’an, dan sebagainya.
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang
disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu harus dinilai
atau dalam istilah hukum Islam dikenal juga dengan tarjihul bayyinah.10 Dalam hal ini
undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak
bebas menilainya, sebaliknya undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan
kepada hakim dalam menilai pembuktian. Misalnya, dalam hukum acara perdata
umum, terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terikat dalam penilaiannya,
sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa
hakim bebas menilai kesaksian.11
Pada umumnya
sepanjang undang-undang tidak mengatur, hakim bebas untuk menilai pembuktian.
Apabila alat bukti cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang disengketakan
untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh penggugat, kecuali ada bukti
lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau sempurna. Jadi bukti itu
dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim berpendapat, bahwa berdasarkan
bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu harus dianggap
sudah pasti atau benar.
Pada umumnya
sepanjang undang-undang tidak mengatur, hakim bebas untuk menilai pembuktian.
Apabila alat bukti cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang disengketakan
untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh penggugat, kecuali ada bukti
lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau sempurna. Jadi bukti itu
dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim berpendapat, bahwa berdasarkan
bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu harus dianggap
sudah pasti atau benar.
F. Tujuan dan fungsi Hukum pembuktian
Tujuan dan guna pembuktian bagi para
pihak yang terlibat dalam
proses
pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :
a) Bagi penuntut umum, pembuktian
adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang
ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan
dakwaan.
b) Bagi terdakwa atau penasehat
hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni
berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau
dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa
atau
penasehat hukum jika mungkin
harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya.
c) Bagi hakim atas dasar
pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat alat bukti yang ada dalam
persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa
dibuat dasar membuat putusan.9
G. Teori - Teori Hukum Pembuktian
Dalam pembuktian perkara pidana
pada umumnya dan khususnya delik korupsi, diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam
pemeriksaan delik korupsi selain diterapkan KUHAP, diterapkan juga sekelumit
hukum acara pidana, yaitu pada Bab IV terdiri atas pasal 25 sampai dengan pasal
40 dari UU No. 31 Tahun 1999.
Ada beberapa teori atau sistem
pembuktian, yakni:
a. Teori Tradisionil
B.Bosch-Kemper (Martiman
Prodjohamidjojo 2001:100-101) menyebutkan ada beberapa teori tentang pembuktian
yang tradisionil, yakni:
1. Teori Negatif
Teori ini mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan
pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa
telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Teori ini dianut oleh HIR, sebagai ternyata dalam
pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah: Keharusan adanya keyakinan hakim, dan
keyakinan itu didasarkan kepada Alat-alat bukti yang sah.
2. Teori Positif
Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh
menentukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh
undang-undang. Dan jika bukti minimum itu kedapatan, bahkan hakim diwajibkan
menyatakan bahwa kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran ini ialah
positivitas. Tidak ada bukti, tidak dihukum ada bukti, meskipun sedikit harus
dihukum.
Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana ternyata
dalam ketentuan pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
3.Teori Bebas
Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum.
Yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa, yang
didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh
pengalaman. Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP.
b. Teori
Modern
1)
Teori pembuktian dengan keyakinan Hakim belaka (Conviction
intime)
Teori ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang
pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim dan
terkesan hakim sangat bersifat subjektif. Menurut teori ini sudah dianggap cukup
bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan
tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini, hakim dapat menurut
perasaan belaka dalam menentukan apakah keadaan harus dianggap telah terbukti.
Dasar pertimbangannya menggunakan pikiran secara
logika dengan memakai silogisme, yakni premise mayor, premise minor dan
konklusio, sebagai hasil penarikan pikiran dan logika. Sistem penjatuhan pidana
tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut perundang-undangan.
Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu
banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan
sehingga sulit pengawasan.
2)
Teori pembuktian menurut undang-undang secara
positif (positief wettelijke bewijstheorie)
Dalam teori ini,
undang-undang menetapkan alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim, dan
cara bagaimana hakim mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian
dari alat-alat itu sedemikian rupa.
3)
Jika
alat-alat bukti ini sudah dipakai secara yang sudah ditetapkan oleh
undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti., walaupun
hakim mungkin berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar.
Sebaliknya, jika tidak dipenuhi cara-cara mempergunakan alat-alat bukti,
meskipun mungkin hakim berkeyakinan bahwa keadaan itu benar-benar terjadi, maka
dikesampingkanlah sama sekali keyakinan hakim tentang terbukti atau tidaknya
sesuatu hal.
Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan
kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan
dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus didasarkan atas
kebenaran.
c. Teori pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (negatief wettelijk)
Teori
ini juga dianut oleh (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP dan (Herzienne
Inlands Reglement) HIR, dalam teori ini dinyatakan bahwa pembuktian harus
didasarkan pada undang-undang, yaitu alat bukti yang sah menurut undang-undang
disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
d. Teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim atas alasan yang logis (Iaconviction raisonnee)
Menurut
teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya,
keyakinan yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan
pembuktian tertentu. Dalam teori ini juga disebutkan pembuktian bebas karena
hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).
e. Teori pembuktian terbalik
Teori
pembuktian terbalik merupakan suatu teori yang membebankan pembuktian kepada
terdakwa atau dengan kata lain terdakwa wajib membuktikan bahwa dia tidak
melakukan kesalahan, pelanggaran atau kejahatan seperti apa yang disangkakan
oleh Penuntut Umum.
J.. Jenis-jenis alat bukti
Untuk membuktikan
peristiwa-peristiwa di muka persidangan dilakukan dengan menggunakan alat-alat
bukti. Dengan alat-alat bukti yang dimajukan itu memberikan dasar kepada hakim
akan kebenaran peristiwa yang didalilkan.
Dalam
Hukum Acara Perdata telah diatur alat-alat bukti yang dipergunakan
dipersidangan. Dengan demikian hakim sangat terikat oleh alat-alat bukti,
sehingga dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib memberikan pertimbangan
berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Ada
juga alat bukti lainnya yang tidak disebutkan dalam undang-undang yaitu foto,
film, rekaman vidio/tape/CD serta mikrofilm dan mikrofische.[15] Menurut surat
Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor 37/TU/88/102/Pid
tanggal 14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische dapat dijadikan alat bukti
surat dengan catatan bila bisa dijamin keotentikannya yang dapat ditelusuri
dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku terhadap
perkara-perkara pidana maupun perdata. dalam KUHAP dijelaskan bahwa macam-macam
alat bukti sesuai pasal 184 yaitu alat bukti yang sah dan alat bukti yang
secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Alat bukti yang
sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa.
1.
Alat bukti tertulis
Menurut pasal 1866 KUHPerdata atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS)
alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas:
1. bukti tulisan,
2. bukti dengan saksi-saksi,
3. persangkaan,
4. pengakuan, dan
5. sumpah[16]
Dalam halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB
hanya diakui sebagai alat-alat bukti yang sah:
1)
kesaksian,
2)
surat-surat,
3)
pengakuan,
4)
petunjuk-petunjuk
2.
Pembuktian dengan
Saksi
Jika bukti tulisan tidak
ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang
dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan dimuka sidang
hakim.
Saksi-saksi itu ada yang
secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan
dimuka hakim tadi, ada pula yang memang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan
suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan jual beli
tanah yang sedang dilakukan, dsb.
Pembuktian dengan saksi itu diperkenankan dalam segala hal dimana
itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Semua orang yang cakap untuk menjadi
saksi diwajibkan memberikan kesaksian. Bahwa memberikan kesaksian itu merupakan
suatu kewajiban, dapat kita lihat dari diadakannya sanksi-sanksi terhadap
seorang yang tidak memenuhi panggilan untuk dijadikan saksi. Menurut
undang-undang orang itu dapat:
a. Dihukum untuk
membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi.
b. Secara paksa dibawah
ke muka pengadilan
c. Dimasukkan dalam
penyanderaan (gijzeling) (pasal 140, 141 dan 148 RIB)
Saksi-saksi tersebut diatas tidak berlaku, jika seorang dipanggil
sebagai saksi dimuka pengadilan yang terletak diluar keresidenan dimana ia
bertempat tinggal. Namun ada beberapa orang, yang karena terlalu dekat
hubungannya dengan salah satu piuhak atau karena kedudukannya, pekerjaanya atau
jabatannya, dapat dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian. Mereka ini
adalah:
1.
Siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis samping dalam derajat
kedua atau semenda dengan salah satu pihak.
2.
Siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak
terbatas dan dalam garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau isteri
salah satu pihak.
Dalam perkembangan hukum sekarang ini,
meskipun kebenaran formil masih dijadikan pedoman dalam penyelesaian perkara
perdata, akan tetapi secara teoritis sudah ada pandangan bahwa dalam menerapkan
kebenaran formil tidak perlu bersifat terlalu kaku. Bahkan ada pendapat yang
menghendaki dalam hukum acara perdata tidak saja untuk mencari kebenaran formil
tetapi juga mencari kebenaran materil, sebagaimana yang dijelaskan oleh
H.R.Purwata20bahwa
mengutamakan kebenaran formil tidaklah berarti Hukum Acara Perdata sekarang ini
mengenyampingkan kebenaran materil, sebab menurut pendapat para ahli hukum dan
yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara 3136 K/Pdt/1983 tertanggal 6 Maret
1985, kini sudah tidak pada tempatnya lagi untuk berpendapat demikian. Hukum
Acara Perdata kini sudah harus mencari kebenaran materil seperti prinsip Hukum
Acara Pidana.
1)
Kedudukan
dan kekuatan alat bukti akan memberikan pengaruh kepada hakim untuk sampai
kepada keyakinannya dalam memutus perkara, karena alat bukti berfungsi untuk
meyakinkan hakim.
2)
Keyakinan
hakim sangat diperlukan dalam memutus perkara perdata, sekalipun alat-alat
bukti telah lengkap diajukan oleh para pihak yang berperkara, dan walaupun
kebenaran yang dicari adalah kebenaran formil, tetapi kebenaran formil itu
dimaknai sebagai kebenaran yang sebenar-benarnya atau kebenaran sejati.
3)
Peran
keyakinan hakim sangat penting dalam hukum acara perdata dan hukum Islam
disamping adanya alat-alat bukti lain sebagai bahan pertimbangan hakim dalam
memutus perkara
4)
Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya
menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah
semata-mata mengenai hal–hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai
demikian. (pasal 1909 KUHPerdata atau pasal 146 RIB, 174 RDS).
Yang dimaksudkan dengan orang-orang yang disebutkan dalam sub 1
dan 2 adalah: saudara-saudara dan ipar dari salah satu pihak yang berperkara
dan juga orang tua anak dan saudara dan ipar ini.
Orang yang tersebut 3, adalah masing-masing; dokter dan pendeta.
Orang-orang yang tersebut diatas ini boleh didengar sebagai saksi, boleh
mengajukan diri sebagai saksi, tetapi mereka diberikan hak untuk meminta
pembebasan dari kewajiban, memberikan kesaksian.
Disamping golongan orang yang tersebut diatas, terdapat segolongan
orang yang tidak boleh memberikan kesaksian, karena hubungannya yang terlalu
sangat dekat dengan salah satu pihak. Mereka itu adalah para anggota keluarga
dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak; dan suami – isteri
sekalipun setelahnya suatu perceraian.
Namun orang-orang ini boleh menjadi saksi dalam saksi beberapa
macam perkara khusus yaitu:
1)
Perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak.
2)
Perkara mengenai nafkah, termasuk pembiayaan, pemeliharaan dan
pendidikan seorang anak belum dewasa.
3)
Perkara mengenai pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang
tua wali.
4)
Perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan.
3.
Persangkaan
Sebagaimana sudah kita
ketahui, yang dinamakan “persangkaan” ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah telah “terkenal” atau dianggap terbukti kearah suatu
peristiwa yang “tidak terkenal”, artinya belum terbukti. Maka dari itu kalau
persangkaan ini dinamakan alat bukti, itu adalah kurang tepat.
Adapun yang menarik kesimpulan yang tersebut tadi, adalah hakim
atau undang-undang. Bila yang menarik kesimpulan itu hakim, maka persangkaan
itu dinamakan “persangkaan Hakim sedangkan apabila yang menarik kesimpulan itu
undang-undang maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan undang-undang”.
Apabila sukar didapatnya saksi-saksi yang melihat atau mengalami
sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian
dengan persangkaan-persangkaan ini. Untuk membuktikan suatu peristiwa C,
dibuktikan dahulu peristiwa A dan B. Bila peristiwa-peristiwa terakhir ini
dapat dibuktikan, dapatlah disimpulkan bahwa peristiwa C memang benar telah
terjadi juga. Biasanya dalam suatu perkara gugatan perceraian yang didasarkan
kepada perzinahan, adalah sukar sekali, kalau tidak dapat dikatakan sendiri
perbuatan zinah itu. Boleh dikatakan adalah suatu yurisprudensi yang sudah
tegas dalam perkara-perkara perceraian itu, bahwa kalau dapat dibuktikan dua
orang laki-laki dan perempuan yang dituduh melakukan perzinahan itu telah
bersama-sama menginap dalam kamar dimana hanya ada satu tempat tidur, maka
dipersangkakan bahwa mereka itu benar melakukan perzinahan.
Kalau dengan bukti tulisan
atau kesaksian lazimnya dilakukan pembuktian secara langsung, artinya tidak
dengan perantaraan alat-alat bukti lain, maka dengan persangkaan-persangkaan
ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara tak langsung, artinya dengan melalui
atau dengan perantaraan pembuktian peristiwa-peristiwa lain.
Apa yang dalam perkara
perdata dinamakan “persangkaan” adalah menyerupai yang dinamakan “petunjuk”
dalam suatu perkara pidana. Dalam perkara pembunuhan misalnya, banyak dipakai
petunjuk-petunjuk itu sebagai bukti, seorang saksi melihat terdakwa membeli
pisau, seorang saksi lain lagi telah melihat beberapa hari sebelumnya terdakwa
bercekcok mulut dengan si korban, dan lain sebagainya. Peristiwa tersebut
merupakan petunjuk-petunjuk yang dapat memberikan bukti bagi kesalahan
terdakwa.
4. Pengakuan
Seperti yang sudah kita
ketahui bahwa tidak tepat untuk menamakan pengakuan itu suatu alat bukti,
karena justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan pihak lawan, maka pihak yang
mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya dalil-dalil
tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian.
Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dikemukakan itu
diakui, dapat dikatakan tidak ada suatu perselisihan. Dan dalam perkara perdata
itu, tidak menyangkal diartikan sebagai mengakaui atau membenarkan dalilnya
pihak lawan.
Sebagaimana juga sudah kita
lihat, putusan pengadilan perdata itu selalu dimulai dengan menyimpulkan dahulu
dalil-dalil manakah yang diakui atau tidak disangkal, sehingga dalil-dalil itu
dapat ditetapkan sebagai hal-hal yang berada “diluar perselisihan” dan dengan
demikian dapat ditetapkan sebagai benar. Dalil-dalil yang sebaliknya yaitu yang
dibantah atau disangkal, itulah yang harus dibuktikan.
Kita juga sudah melihat
pengakuan itu sebagai suatu pembatasan luasnya perselisihan. Dalam
perkara-perkara yang dimuka hakim, dapat kita lihat bahwa dalil yang di anggap
tidak begitu penting atau tidak dapat merugikan, diakui untuk menyingkatkan
pemeriksaan. Misalnya dalam perkara-perkara warisan seringkali kita lihat,
bahwa hal ke-ahliwarisan-nya (dalil bahwa penggugat adalah ahliwarisnya) harta
peninggalan (budel) dari si meninggal. Dijawabnya bahwa barang-barang sengketa
itu adalah milik tergugat sendiri.
Pengakuan yang dilakukan
dimuka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah
melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus
dikuasakan untuk itu (pasal 1925 KUHPerdata, 176 RIB, 311 RDS). Artinya ialah,
bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar
dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada
dalil-dalil tersebut.
Baiklah ditegaskan disini
bahwa pengakuan yang merupakan bukti yang mengikat dan sempurna tadi adalah
pengakuan yang dilakukan dimuka sidang hakim. Pengakuan itu harus diucapkan
dimuka hakim oleh tergugat sendiri atau oleh seorang yang khusus dikuasakan
untuk itu.
Pengakuan yang dilakukan
dimuka hakim itu tidak boleh ditarik kembali kecuali apabila dapat dibuktikan
bahwa ia telah dilakukan sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal
yang terjadi. Tak bolehlah pengakuan ditarik kembali dengan dalil bahwa orang
yang melakukannya khilaf tentang suatu soal hukum.
5. Sumpah
Sebagaimana telah kita
lihat, dalam perkara perdata dipakai juga sebagai alat pembuktian sumpah yang
diangkat oleh salah satu pihak. Dalam perkara pidana tentu saja tidak ada
sumpah yang dibebankan kepada seorang terdakwa. Jika terdakwa dibolehkan
bersumpah, ia akan dapat terlalu mudah melupakan diri dari penghukuman.
Dalam perkara perdata sumpah
yang diangkat oleh salah satu pihak dimuka hakim itu, ada dua macam:
a. Sumpah
yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan
putusan perkara padanya, sumpah ini dinamakan sumpah pemutus atau decissoir.
b. Sumpah
yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak (pasal
1929 KUHPerdata).
Sumpah pemutus (decissoir) dapat diperintahkan tentang
segala persengketaan yang berupa apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang
para pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal dimana
pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.
Sebagaimana sudah
dikemukakan sewaktu kita membicarakan hal pembuktian pada umumnya, dengan
memerintahkan sumpah pemutus itu pihak yang memerintahkan sumpah dianggap
sebagai orang yang melepaskan suatu hak. Seolah-olah orang itu mengatakan
kepada pihak lawannya “baiklah, kalau kamu berani sumpah, saya rela
dikalahkan”.
Melepaskan suatu hak
tentunya hanya dapat dilakukan terhadap suatu hak yang berada dalam
kekuasaannya untuk melepaskannya, jadi pada asasnya hanya mengenai
piutang-piutang hak milik dan warisan. Tak dapat misalnya, dalam suatu perkara
perceraian dimana perselisihan itu mengenai perzinahan, satu pihak
memerintahkan sumpah pemutus tentang betul atau tidaknya pihak lawan telah
melakukan perzinahan. Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setial tingkatan
perkaranya, bahkan juga apabila tiada upaya lain yang manapun untuk membuktikan
tuntutan atau tangkisan yang diperintahkan penyumpahannya itu (pasal 1930
KUHPerdata). Bahwa sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan
perkara berarti bahwa sumpah pemutus itu dapat diperintahkan pada detik atau
saat manapun juga sepanjang pemeriksaan; pada permulaan perkara diperiksa oleh
hakim, pada waktu diajukan jawaban, pada waktu diadakan replik, duplik, pada
saat perkara sudah akan diputus, bahkan juga kemudian dalam tingkatan banding
dimuka Pengadilan Tinggi. Dan lagi sumpah pemutus itu dapat diperintahkan,
meskipun tiada pembuktian sama sekali.
Justeru sumpah pemutus ini
merupakan senjata pamungkas artinya senjata terakhir bagi suatu pihak yang
tidak megajukan suatu pembuktian. Ia merupakan suatu senjata yang mudah
dipakai, tetapi juga berbahaya bagi yang menggunakannya. Kalau pihak lawan
berani sumpah, orang yang memerintahkan sumpah itu akan kalah.
Sumpah yang diperintahkan
oleh hakim dinamakan sumpah suppletoir atau sumpah tambahan karena itu
dipergunakan oleh hakim untuk menambah pembuktian yang dianggapnya kurang
meyakinkan. Hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan itu apabila:
a) Tuntutan
maupun tangkisan tidak terbukti dengan sempurna.
b) Tuntutan
maupun tangkisan itu juga tidak sama sekali tak terbukti. (pasal 1941
KUHPerdata, pasal 155 (1) RIB, pasal 182 (1) RDS).
Jadi untuk dapat
memerintahkan sumpah tambahan itu ditetapkan bahwa harus terpenuhi
syarat-syarat tersebut diatas, yaitu bahwa hak sudah ada sementara pembuktian.
Taraf pembuktian yang disyaratkan ini lazim dikenal dengan istilah “permulaan
pembuktian”. Adapun permulaan pembuktian bentuknya macam-macam. Ada pembuktian
yang berupa suatu pengakuan diluar sidang, dan lain sebagainya pendeknya suatu
pembuktian bebas yang oleh hakim dianggap belum cukup meyakinkan, itulah
“permulaan pembuktian”.
Apakah dalam suatu perkara
sudah terdapat suatu permulaan pembuktian, adalah suatu hal yang sama sekali
berada dalam wewenang Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi untuk
mempertimbangkannya. Begitu kepada siapa atau pihak manakah diperintahkan
melakukan sumpah tambahan, adalah termasuk kebijaksanaan hakim yang memeriksa
tentang duduknya perkara yang tidak tunduk pada kasasi.
Sering juga terjadi bahwa
dalam tingkat pemeriksaan kasasi penggugat untuk kasasi mengajukan sebagai
keberatan, mengapa musuhnya dan buka dia yang dibebani sumpah tambahan.
Teranglah bahwa keberatan semacam itu harus ditolak, karena persoalan kepada
siapa yang akan diperintahkan melakukan sumpah tambahan adalah termasuk
kebijaksanaan hakim pertama, yang memeriksa tentang duduknya perkara.
Menurut Yurisprudensi
Mahkamah Agung, sumpah tambahan ini tidak terikat pada syarat bahwa sumpah itu
harus mengenai perbuatan pribadi dari si bersumpah. (Majalah Hukum tahun 1957
No. 1-2).
Tetapi meskipun demikian,
sudah barang tentu bahwa orang hanya dapat bersumpah tentang hal-hal yang
diketahuinya, misalnya saja tidak dapatlah seorang bersumpah bahwa sawah
sengketa diperoleh nenek moyang tergugat dengan membuka hutan seratus tahun
yang lalu.
Dengan demikian dapat kita
lihat, bahwa sumpah tambahan ini, mengenai syarat-syarat untuk memerintahkannya
adalah lebih sempit dari sumpat pemutus, karena harus ada permulaan pembuktian,
tetapi mengenai isinya sumpah itu lebih luas karena tidak perlu mengenai
perbuatan pribadi dari si yang bersumpah.
Hakim dapat memerintahkan
sumpah juga untuk menetapkan jumlah yang akan dikabulkannya, misalnya mengenai
kerugian yang dituntut atau untuk menetapkan harga barang yang menjadi
perselisihan. Sumpah terakhir ini tidak dapat diperintahkan oleh hakim kepada
si penggugat apabila tidak ada jalan
lain lagi untuk menetapkan harga itu. Bahkan dalam hal yang demikian itu hakim
harus menetapkan hingga jumlah mana si penggugat akan dipercaya akan sumpahnya.
Sumpah ini lazim dikenal dengan nama “sumpah penaksiran”
Sumpah yang oleh hakim diperintahkan
kepada salah satu pihak yang berperkara tak dapat oleh pihak ini dikembalikan
kepada pihak lawannya. Sumpah harus diangkat dihadapan hakim yang memeriksa
perkaranya.
Jika ada suatu halangan yang
sah, yang menyebabkan penyumpahan itu tidak dapat dilaksanakan dimuka sidang
pengadilan, maka pengadilan dapat memerintahkan seorang hakim untuk mengambil
sumpahnya, hakim mana akan ke rumah orang yang harus mengangkat sumpah itu.
Jika dalam hal yang tersebut
diatas tadi, rumah atau tempat kediaman itu terlalu jauh letaknya ataupun
terletak diluar wilayah pengadilan, maka pengadilan dapat memerintahkan
pengambilan sumpah kepada hakim atau kepala pemerintahan daerah dari rumah atau
tempat kediaman orang yang diwajibkan bersumpah.
Sumpah harus diangkat sendiri
pribadi. Karena alasan-alasan penting, hakim diperbolehkan mengizinkan kepada
suatu pihak yang berperkara untuk suruhan mengangkat sumpahnya oleh orang lain
yang untuk itu khusus dikuasakan dengan suatu akta otentik. Dalam hal ini surat
kuasa harus menyebutkan secara lengkap dan teliti sumpah yang harus diucapkan
itu.
[1] http://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/perang-salib-dan-invasi-mongol-oleh-rahmat-yudistiawan/
tanggal 26-12-2013 jam 8 : 56
[3]
Yahaya Harahap ; Hukum Acara pidana.
[4] Dr. Wahju
Muljono, S.H., Kn., Toeri dan Prakatik
Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia), h. 105.
[6]
Prof. Sudikno Merto Kusumo ; Hukum Acara Perdata
Indonesia, tahun1977.
[8] Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 132- 133
[11] Martiman Prodjohamidjojo ; sistem pembuktian dan alat-alat
bukti, tahun 1984 hal. 11
[12] Darwan Prinst; hukum acara pidana dalam praktik, tahun 1998,
hal. 133.
[13] Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan Dan Penuntutan,
M. Yahya Harahap (2006) hal. 273
[14] Hari
Sasangka dan Lily Rosita ; Hukum pembuktian dalam Perkara Pidana, tahun 2003.
Hal. 10.
[15] Hari Sasangka, Hukum
Pembuktian dalamPerkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi
Posting Komentar