Headlines News :
Home » » Sumber Dan Subyek Hukum Ketenaga Kerjaan

Sumber Dan Subyek Hukum Ketenaga Kerjaan

Written By Unknown on Jumat, 07 Juni 2013 | 00.19


BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Adanya hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lain, yang membutuhkan peraturan dalam kehidupan ditengah bermasyarakat. Dimana bertujuan untuk melindungi kepentingan, menciptakan ketertiban dan memenuhi rasa keadilan setiap individu dan atu kelompok masyarakat itu sendiri. Kemudian peraturan yang dibutuhkan dan dipatuhi seluruh masyarakat disebut dengan Norma hukum.
Demikian juga dengan hukum ketenaga kerjaan, merupakan Peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemberi kerja dengan perkerja. Dimana dalam bahasa belanda disebut dengan “Ar-Beidsrecht (Hukum Perburuhan)” menurut Molenaar sorang sarjana Belanda yang dikutip oleh DR. AGUSMIDAH, SH.M.HUM dalam makalahnya  mengatakan bahwa "ar-beidsrecht" (Hukum Perburuhan) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa[1].
Sedangkan M.G. Levenbach; merumuskan hukum arbeidsrecht sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan keadaan penghidupan yang langsung ada sangkut-pautnya dengan hubungan-kerja, dimaksudkannya peraturan-peraturan mengenai persiapan bagi hubungan -kerja (yaitu penempatan dalam arti kata yang luas, latihan dan magang), mengenai jaminan sosial buruh serta peraturan-peraturan mengenai badan dan organisasi-organisasi di lapangan perburuhan.[2]
Kemudian MOK, berpendapat bahwa “arbeidsrecht” adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan tersebut. Selanjutnya Iman Soepomo ; dari berbagai pengertian di atas beliau membuat rumusan tentang arti kata Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah[3].
Dari beberapa defenisi diatas memberikan penjelasan kepada kita tentang Hukum ketenaga kerjaan, dimana dalam pelaksanaan hukum ketenaga kerjaan pada setiap negara didunia berbeda. Hal ini disebabkan berbedanya dasar hukum yang ditetapkan pada setiap negara didunia, mesti kita ketahui bersama ada kesamaan atas subyek ketenaga kerjaan yang diberlakukan. Di indonesia sendiri yang mengatur ketenaga kerjaan adalah undang-undang No. 13 tahun 2003.
Dengan adanya perbedaan dasar hukum dan kesamaan subyek dalam melaksanakan hukum ketenaga kerjaan inilah yang melatar belakangi penulis membuat Makalah yang berjudul “Sumber Dan Subyek Hukum Ketenaga Kerjaan” sebagai persyaratan mendapatkan nilai matakuliah hukum ketenaga kerjaan.
B. Rumusan Masalah.
Dalam makalah ini penulis hanya berfokus pada pembahasan permasalahan yang telah dirumuskan dibawah ini :
1.      Apa yang menjadi dasar dan subyek hukum Ketanaga Kerjaan diindonesia.?
2.      Bagaimana Sistem penyelesaian Hubungan industria diindonesia.?
C. Sistematika penulisan
BAB I Pendahuluan
Pada bab satu ini penulis mengulas tetantang Latar belakang, rumusan masalah dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka dan pembehasan masalah.
Pada bab dua ini ini penulis membahasa tetang beberapa pengertian, sejarah hukum ketenaga kerjaan, asas-asas hukum ketenaga kerjaan, Dasar Hukum Ketenaga kerjaan, subyek-suyek hukum ketenaga kerjaan, Ruang lingkup pengadilan hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB III penutup
Pada bab tiga ini penulis akan membahas tetang kesimpulan, saran, kritik dan penutup.
 
BAB II
Tinjauan Pustaka dan Pembahasan masalah
A. Beberapa Pengertian.
Dasar hukum adalah hukum dasar yang di gunakan sebagai landasan dan sumber berlakunya, dalam melaksanakan suatu peraturan, perundang-undangan atau hukum disuatu negara, masyarakat atau kelompok. Maka dalam pembahasan pengertian dari dasar hukum ketenaga kerjaan adalah hukum dasar yang digunakan sebagai landasan dan sumber lakunya hukum ketenaga kerjaan di Indonesia.
Menurut  Algra Subyek hukum (Recht Subyak) adalah setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang menimbulkan kewenangan hukum (rechtsbevoegheid). Maka dari defenisi diatas  dapat kita tarik bahwa pengertian subyek hukum ketenaga kerjaan adalah setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban atas suatu pekerjaan yang menimbulkan kewenangan hukum.
Pengertian hubungan industrial dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 nomor 16 disebutkan bahwa yang dimaksud hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4]
Hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan. Pihak yang paling berkepentingan atas keberhasilan perusahaan dan berhubungan langsung sehari-hari adalah pengusaha atau manajemen dan pekerja. Disamping itu masyarakat juga mempunyai kepentingan, baik sebagai pemasok faktor produksi yaitu barang dan jasa kebutuhan perusahaan, maupun sebagai masyarakat konsumen atau pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut. Pemerintah juga mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung atas pertumbuhan perusahaan, antara lain sebagai sumber penerimaan pajak. Jadi hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang berkepentingan tersebut. Dalam pengertian sempit, hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara manajemen dan pekerja atau Management-Employees Relationship.[5]
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan ini dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung, sedangkan putusan yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan adalah putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.[6]
Menurut Tulus (1993:167), pemutusan hubungan kerja (separation) adalah mengembalikan karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada umumnya belum meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang timbul akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja. Di samping itu juga harus menjamin agar karyawan yang dikembalikan ke masyarakat harus berada dalam kondisi sebaik mungkin. Menurut Hasibuan (2001: 205), pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan.[7]

B. Sejarah Hukum Ketenaga kerjaan.
Sejak awal kolonialisasi, kaum penjajah telah memperlakukan orang-orang pribumi hanya sebagai budak yang tidak memiliki status hukum dan boleh diperdagangkan. Hal ini tergambar dalam sistem hukum yang diterapkan di wilayah jajahan dengan menetapkan bahwa “Burgerlijk Wetboek” atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diberlakukan sejak tahun 1823, termasuk di dalamnya norma dan aturan mengenai perburuhan, tidak berlaku bagi orang pribumi.
Selanjutnya, perlakuan terhadap pribumi sebagai budak belian tersebut disahkan dalam berbagai aturan resmi kolonial yang menurut Dr. Agusmidah, antara lain dituangkan dalam peraturan tentang Pendaftaran Budak (Stb 1819 No. 58), peraturan Pajak atas Pemilikan Budak (Stb. 1820 No. 39a), dan berbagai peraturan (reglemen) lain yang memperkuat kedudukan kaum penjajah di atas orang-orang pribumi dan praktek-praktek perbudakan lainnya di wilayah Hindia Belanda.
Pada saat Inggris menguasai beberapa bagian wilayah nusantara pada tahun 1811-1814, Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles telah melarang dan menghapuskan praktek perbudakan dan praktek kerja paksa (rodi) di wilayah kekuasaannya dengan men-dirikan “the Java Benevolen Institution“.
Namun ketika Belanda menguasai kembali wilayah yang dahulu menjadi wilayah jajahannya, maka ketentuan mengenai praktek perbudakan dan kerja rodi kembali berlaku yang kemudian diikuti oleh berbagai perlawanan dari kaum pribumi di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda, seperti perlawanan yang dilakukan antara lain oleh Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Padri, Sisingamangaraja, Pattimura, Dewi Sartika dan banyak pahlawan yang gugur dalam rangka menentang praktek perbudakan di wilayah nusantara.
Setelah memperoleh banyak perlawanan di wilayah jajahan dan adanya gerakan global yang menentang praktek perbudakan, Belanda mulai mengubah strategi dengan memperlunak praktek perbudakan menjadi sistem “perhambaan” (bediende) dimana seseorang harus menyerahkan jasa dan tenaganya kepada orang lain yang bertindak sebagai tuan atau pemberi pekerjaan (bukan orang yang menggunakan jasa dan tenaga orang lain) tanpa menggunakan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja dengan upah yang ditentukan secara sepihak oleh si tuan atau pemberi pekerjaan atas dasar pengabdian, kesetiaan (loyal) dan kedekatan emosi secara pribadi dengan pemberi pekerjaan.
Dengan sistem hubungan kerja tersebut, Belanda membedakan orang-orang yang bekerja di wilayah jajahannya menjadi:
1. pekerja atau pegawai di bidang administrasi pemerintahan (ambtenaar);
2. pekerja di perusahaan-perusahaan (perkebunan) milik Belanda; dan
3. pekerja atau buruh lepas.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah 350 tahun dijajah, sistem kerja dan pembedaan pekerja belum sempat direformasi, sehingga masih ada pembedaan struktur warga negara yang melaksanakan pekerjaan di Indonesia yakni warga negara yang bekerja sebagai:
1. pegawai negeri sipil,
2. pegawai negeri militer,
3. pegawai badan usaha milik negara, dan
4. pegawai swasta murni, serta ditambah dengan
5. pekerja lepas, yakni pekerja yang melaksanakan pekerjaan berdasarkan kebutuhan (pekerja informal).
Hingga saat ini, semua pekerja dan pegawai yang melaksanakan pekerjaan relatif tanpa kesepakatan kerja yang dibuat antara pekerja/buruh (employee) sebagai penyedia jasa dan tenaga dengan pengguna jasa dan tenaga (employer) dalam kedudukan yang setara (equal) yang dituangkan dalam perjanjian kerja.
Dalam era industri saat ini, perjanjian kerja sebagai wujud dari kesepakatan kerja merupakan hal yang sangat esensial dalam hubungan kerja karena upah/imbalan diberikan dalam bentuk uang. Ketika masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hubungan kerja tanpa perjanjian kerja, maka masyarakat tidak memiliki jaminan kepastian terhadap upah sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang telah diberikan.
Dengan demikian, hingga saat ini belum ada tolok ukur yang pasti untuk jasa dan tenaga sumber daya manusia di Indonesia, sehingga pemberian upah masih tetap didasarkan pada sistem hubungan kerja warisan jaman penjajahan yakni hubungan kerja antara pemberi kerja yang bertindak sebagai TUAN dengan KULI, KACUNG/PESURUH atau BURUH (KKB).
Upah yang diberikan oleh seorang tuan kepada kuli biasanya dilakukan secara borongan berdasarkan kesepakatan tidak tertulis terhadap volume pekerjaan tertentu tanpa ada kejelasan tolok ukur harga untuk jasa dan tenaga manusia yang telah diberikan.
Upah yang diberikan kepada seorang kacung atau pesuruh biasanya dilakukan berdasarkan kehadiran atau absensi dalam rangka menunggu untuk diperintah tanpa ada kejelasan tolok ukur bobot pekerjaan.
Upah yang diberikan kepada seorang buruh atau pekerja lepas biasanya dilakukan berdasarkan sistem upah harian, dimana satu hari dihitung 24 jam, atau sistem upah bulanan dimana satu bulan dihitung antara 25 hingga 30 hari kerja. Pekerjaan diberikan setiap saat, tanpa mengenal waktu, kemampuan dan keahlian dari penyedia jasa dan tenaga.
Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja mengakibatkan masyarakat cenderung terbiasa dengan sistem bekerja untuk kepentingan diri sendiri, tanpa standar upah, tanpa jaminan keselamatan, tanpa jaminan kesehatan, tanpa jaminan pensiun, tanpa tolok ukur keahlian dan keterampilan, dan tidak ada kenaikan upah secara berkala yang seharusnya disesuaikan dengan bertambahnya pengalaman kerja, yang dalam jangka panjang akan menjadi beban bagi lingkungan sosial.
Di lain pihak, pengguna jasa dan tenaga pun akan merasa kesulitan dalam menentukan upah sehingga mereka membuat pehitungan upah sendiri yang disesuaikan dengan modal dan kelangsungan usaha, serta tidak menghargai jasa dan tenaga yang telah digunakannya.
Tidak adanya kesetaraan kedudukan hukum antara penyedia jasa dan tenaga dan pengguna jasa dan tenaga akan mengakibatkan ketidak-adilan, ketidak-percayaan satu sama lain, dan bahkan akan menjurus pada sering terjadinya sengketa perburuhan.
Menghadapi era perdagangan bebas tanpa tolok ukur upah yang jelas yang tertuang dalam perjanjian kerja, justru akan membuat masyarakat semakin miskin dan tertindas, karena sudah menjadi sifat dasar para pemodal (investor), pengusaha dan orang yang bertindak sebagai tuan untuk membayar jasa dan tenaga pekerja/buruh dengan upah yang serendah mungkin demi keuntungan yang sebesar-besarnya.
Mereka tidak akan segan untuk melakukan kolusi dengan otoritas ketenagakerjaan untuk menghasilkan aturan yang menguntungkan dengan menggunakan sedikit tekanan dan iming-iming dukungan untuk memperoleh jabatan dan kekayaan.
Pembedaan warga negara yang bekerja (work force) menjadi pegawai negeri sipil, pegawai negeri militer, pegawai badan usaha milik negara, pegawai perusahaan swasta, dan pekerja lepas (pekerja informal) dengan standar upah yang berbeda-beda yang ditentukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi akan menciptakan tatanan masyarakat yang terkotak-kotak, sehingga akan mudah memicu kecemburuan sosial karena warga masyarakat menganggap bahwa pekerjaan yang satu lebih mulia daripada pekerjaan yang lain, dan upah atau gaji institusi kerja yang satu akan lebih terjamin daripada institusi kerja yang lain. Dalam lingkungan masyarakat seperti ini, akan sering terjadi perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pelaksanaan pekerjaan.
Pembedaan upah atau gaji sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang tidak dituangkan dalam perjanjian kerja, tapi hanya didasarkan pada lingkup jabatan (autonomy) yang diuraikan dalam jenjang kepangkatan, dan pada kewenangan (authority) yang diuraikan dalam tingkat eselon, akan membuahkan kinerja yang tidak efektif dan tidak efisien karena tanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan akan mengerucut pada pucuk pimpinan sebagai pejabat yang berwenang.
Masyarakat pekerja atau pegawai akan terbiasa dengan pembebanan segala urusan dan tanggungjawab pekerjaan kepada atasan, sedangkan anak buah akan cenderung lepas tanggungjawab. Selanjutnya, masyarakat akan mengukur kesuksesan bukan atas dasar prestasi, namun hanya pada didasarkan atas pencapaian jabatan yang tinggi dengan gaji, tunjangan dan fasilitas yang besar, dengan kewenangan yang seluas-luasnya.
Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja akan membuat Pemerintah mengalami kesulitan dalam menghitung statistik angkatan kerja (work force) secara nasional karena banyaknya angka pengangguran tidak kentara (disguished unemployment) yang akan berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial antara kelompok yang secara nyata telah memberikan jasa dan tenaga tetapi mendapat upah yang tidak sesuai, dengan kelompok yang tidak memberikan jasa dan tenaga namun tetap mendapat upah sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan perjanjian kerja yang tertulis dalam rangka melaksanakan pekerjaan, maka tidak terhindarkan terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, sulitnya kesempatan kerja, tidak ada standar kometensi dan profisiensi, dan tidak ada jaminan untuk hari tua.
Tidak adanya standar upah yang ditetapkan secara nasional justru akan memicu persaingan yang tidak sehat karena akan terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme dalam melaksanakan pekerjaan ditambah dengan tidak adanya hubungan kerja yang harmonis yang didasarkan pada rasa saling menghargai dan saling menghormati antara pekerja yunior dan senior.
Perjanjian kerja tertulis yang didasarkan pada pesan Rasulullah yakni kepastian pemberian upah, kejelasan tolok ukur kerja dan kesepakatan kerja yang didasarkan pada kesetaraan akan melindungi pekerja antar negara dari eksploitasi jasa dan tenaga oleh pengguna jasa dan tenaga pekerja di negara lain, dengan syarat bahwa perjanjian kerja wajib ditandatangani sendiri oleh pekerja dan pengguna jasa dan tenaga di negara lain tanpa perantara.
Dokumen perjanjian dibuat dalam sekurang-kurangnya 4 (empat) rangkap, yang selanjutnya 1 (satu) salinan perjanjian kerja disimpan oleh pekerja, 1 (satu) salinan disimpan oleh pengguna jasa dan tenaga, 1 (satu) salinan dikirimkan kepada kantor perwakilan negara di luar negeri dimana pekerja melaksanakan perjanjian kerja, dan 1 (satu) salinan disampaikan kepada otoritas ketenagakerjaan negara setempat.
Dalam upaya melindungi tenaga kerja nasional di luar negeri, maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan otoritas ketenagakerjaan di negara lain yang pada prinsipnya berisi substansi dari pesan Rasulullah SAW, yakni jaminan kepastian pemberian upah, jaminan tolok ukur kerja, dan jaminan kesetaraan kedudukan antara pekerja dengan pengguna jasa dan tenaga sesuai peraturan perundang-undangan di negara tempat perjanjian kerja dilaksanakan.
Sebaliknya, untuk melindungi tenaga kerja di dalam negeri, maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib meminta kepada pengguna jasa dan tenaga kerja asing untuk menyerahkan salinan perjanjian kerja yang telah disepakati.
Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam memahami masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
C. Asas-asas Hukum Ketenaga Kerjaan.
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Semua orang, setiap orang, setiap badan hukum, setiap perusahaan bebas untuk BERKONTRAK, kenapa, karena sudah di landasi hukum Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).[8]
2.      Asas Kepastian Hukum
Intinya Setia yang melaksanakan perjanjian kerja, mereka mempunyai kepastian hukum, dan secara pasti mereka mempunyai perlindungan hukum. Bahkan hingga hakim dapat memaksa bagi pihak yang wanprestasi kepada pihak lain
3.      Asas Konsensualisme
Seperti namanya adalah konsensus yang berarti kesepakatan, maka perjanjian kerja akan sah demi hukum, setelah tercapainya kesepakatan antar pihak dan perjanjian itu mengikat begitu kesepakatan itu di ucapakan. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4.      Asas Itikad Baik
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5.       Asas Kepribadian
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
D. Dasar Hukum ketenaga kerjaan
bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang merata, baik meteriil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mampunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.
Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.  Maka adapun yang menjadi dasar hukum Ketenaga kerjaan antara lain :
1)      Undang-Undang Dasar 1945
2)      Undang-undang No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
3)      Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (sesuai dengan Putusan Makhkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003)
4)      Undang-undang No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
5)      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional. Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050);
6)      Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
7)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Masa Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Beberapa peraturan diatas menjadi hukum dasar berlakunya pelaksanaan hukum ketenaga kerjaan diindonesia.
E. Subyek hukum Ketenaga Kerjaan.
Bila secara umum disebutkan didalam pengantar Ilmu Hukum, bahwa orang dan Bandan Hukum merupakan Subyek hukum. Maka  Dalam praktik sehari-hari ada beberapa kelompok terkait sehubungan dengan Ketenagakerjaan yang merupakan Subyek hukum ketenaga kerjaan. Dimana mewakili Pekerja dan pengusaha dalam bentuk kelompok atau badan hukum yang menjadi subyek-subyek hukum ketenaga kerjaan. Kelompok-kelompok tersebut adalah Pekerja, Pengusaha, Organisasi Pekerja, Organisasi Pengusaha dan Pemerintah. Untuk mengetahui masing-masing kelompok atau individu yang menjadi subyek hukum ketenaga kerjaan tersebut, di bawah ini secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
a)      Pekerja / buruh / karyawan
Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan mengenai pekerja. Misalnya ada penyebutan : buruh, karyawan atau pegawai. Terhadap peristilahan yang demikian, Darwan Prints menyatakan bahwa maksud dari semua peristilahan tersebut mengandung makna yang sama; yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya.[9]
Melihat pernyataan di atas, maka termasuk sebagai pekerja/karyawan/buruh atau pegawai itu mencakup pegawai swasta maupun pegawai negeri (sipil dan militer). Akan tetapi dalam praktik dibedakan pekerja/buruh dengan pegawai negeri. Terdapatnya berbagai sebutan atau istilah ini kelihatan mengikuti sebutan atau nama dari Departemen yang membidanginya, yang semula bernama Departemen Perburuhan dan sekarang Departemen Tenaga Kerja. Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja) menggunakan istilah buruh. Namun setelah Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah “pekerja/buruh” begitu pula dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja/buruh.
Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai “Karyawan/Pegawai” (White Collar”). Pembedaan yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orangorang pribumi.
Setelah merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni Buruh adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dan menerima upah” (Pasal 1 ayat 1 a).
Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Departemen Tenaga Kerja) pada waktu kongres FBSI II tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan.[10]
Berangkat dari sejarah penyebutan istilah buruh seperti tersebut di atas, menurut penulis istilah buruh kurang sesuai dengan perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja pada sektor formal seperti Bank, Hotel dan lain-lain. Karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan golongangolongan adalah badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif.
Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang membedakan antara pekerja dengan tenaga kerja. Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa :
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Dari pengertian ini jelaslah bahwa pengertian tenaga kerja sangat luas yakni mencakup semua penduduk dalam usia kerja baik yang sudah bekerja maupun yang mencari pekerjaan (menganggur). Usia kerja dalam Undangundang No. 13 Tahun 2003 minimal berumur 15 tahun (Pasal 69). Sedangkan pengertian pekerja/buruh adalah “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, (lihat pula Pasal 1 butir 9 Undangundang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Jadi pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja, dalam hal ini yang sudah mendapat pekerjaan.
Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk :
1)      magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak;
2)      mereka yang menborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;
3)       narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa istilah buruh telah digantikan istilah pekerja yaitu orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja, dalam hal ini pekerja adalah orang yang sudah mendapat pekerjaan tetap, hal ini karena tenaga kerja meliputi pula orang pengangguran yang mencari pekerjaan (angkatan kejra), ibu rumah tangga dan orang lain yang belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.
b)     Pengusaha/Majikan
Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa Majikan adalah “orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”.
Sama halnya dengan istilah Buruh, istilah Majikan juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama, karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah Pengusaha.
Perundang-undangan yang lahir kemudian seperti Undang-undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 (lihat pula Pasal 1 butir 6 Undang-undang No. 2 Tahun 2004) menjelaskan pengertian Pengusaha yakni:
1)      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2)      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3)       orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
 Sedangkan pengertian Perusahaan (Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, lihat pula Pasal 1 butir 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004)adalah :
1)      setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2)      Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengertian pengusaha menunjuk pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha atau organnya.
c)      Organisasi Pekerja/Buruh
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Keberhasilan maksud ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan semakin kuat. Sebaliknya semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi.
Sebagai implementasi dari amanat ketentuan pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat & berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 98 dengan Undang-undang No. 18 tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar Hak Berorganisasi & Berunding Bersama.
Pada saat kelahirannya tanggal 19 September 1945 organisasi buruh di Indonesia terlibat dalam tujuan politis karena itulah antara organisasi buruh itu sendiri terjadi perpecahan karena antara para buruh yang bersangkutan masing-masing beraviliasi pada organisasi politik yang berbeda. Setelah pemilu tahun 1971 organisasi politik yang ada bergabung dalam 2 (dua) partai politik sehingga organisasi buruh yang bernaung dibawah Parpol tersebut menjadi kehilangan induk. Momentum inilah yang dipergunakan oleh pimpinan organisasi buruh saat itu untuk mengeluarkan suatu deklarasi yang tersebut “Deklarasi Persatuan Buruh Indonesia” yang ditandatangani tanggal 20 Pebruari 1973. Deklarasi ini berisikan kebulatan tekad kaum buruh Indonesia untuk mempersatukan diri dalam suatu wadah yang disebut Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Bentuk federatif organisasi buruh ini lebih aspiratif dalam memperjuangkan kepentingan buruh, namun secara “politis” bentuk federatif ini seringkali sukar dikendalikan, para buruh seringkali melakukan aksi-aksi jika hak-haknya tidak dipenuhi. Untuk itulah Menteri Tenaga Kerja pada saat membuka Kongres FBSI II tanggal, 30 Nopember 1985 mengkritik sifat federatif organisasi pekerja ini yang dikatakan meniru model liberal karena itu perlu disempurnakan, ia juga tidak sependapat dengan istilah buruh yang melekat pada nama organisasi tersebut dan mengusulkan untuk diganti dengan istilah pekerja.[11]
Kongres saat itu memutuskan untuk mengubah nama FBSI menjadi SPSI serta mengubah struktur organisasi dari Federatif menjadi Unitaris. Bentuk Unitaris ini pun banyak ditentang oleh kalangan aktivis buruh khususnya yang tidak ikut kongres, sebagai reaksinya ia mendirikan Sekretariat Bersama Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SEKBER SBLP), namun organisasi ini tidak mendapatkan pengakuan pemerintah.
Untuk “melegalkan” tindakan tersebut, pemerintah mengeluarkan Permenaker 05/MEN/1985 tentang Pendaftaran Organisasi Pekerja. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa organisasi buruh yang dapat didaftarkan adalah :
1)      Bersifat kesatuan;
2)      Mempunyai pengurus sekurang-kurangnya di 20 (dua puluh) daerah TK.I, 100 (seratus) daerah tingakt II, dan 1000 (seribu) di tingkat Unit/Perusahaan.
Reaksi terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mempersulit terbentuknya organisasi buruh tersebut tidak hanya mendapat tanggapan dari dalam negeri, tetapi juga datang dari luar negeri yang menyatakan bahwa buruh di Indonesia tidak diberikan kemerdekaan untuk berserikat/berorganisasi. Statemen ini didukung pula oleh hasil penelitian ILO yang menyimpulkan bahwa “Union Right” buruh di Indonesia sangat dibatasi tanpa diberikan kelonggaran untuk berorganisasi.[12]
Kondisi yang demikian merupakan salah satu alasan pemerintah meninjau kembali ketentuan pendaftaran organisasi buruh dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05 tahun 1987 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3 tahun 1993. Peraturan ini memperlonggar persyaratan pendaftaran organisasi pekerja yakni :
1)      Mempunyai unit organisasi di tingkat perusahaan 100 (seratus);
2)      Mempunyai pengurus 25 (dua puluh lima) di tingkat Kabupaten dan sekurang-kurangnya di 5 (lima) propinsi.
Perubahan aturan yang memberikan kemudahan bagi pekerja untuk mendirikan serikat buruh tersebut dalam kenyataannya tidak mendapat sambutan dari para buruh, sehingga tidak ada organisasi buruh selain SPSI yang terdaftar. Namun demikian dalam tahun 1993 telah terbentuk 13 pengurus sektor SPSI yang telah terdaftar di Depnaker dengan nomor pendaftaran 357-369/MEN/1993, anehnya meskipun di tingkat pusat sudah terbentuk, namun di tingkat daerah apalagi di perusahaan belum bergeming sama sekali.
Sejalan dengan babak baru pemerintah Indonesia yakni era reformasi yang menuntut pembaharuan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu pemerintah melalui Kepres No. 83 tahun 1998 telah mengesahkan Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Convention Concorning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise). Karena kondisi dalam negeri yang sedang dilanda berbagai aksi demonstrasi dalam masa pemerintahan transisi tampaknya merupakan alasan bagi pemerintah meratifikasi konvensi ILO dengan Peraturan Pemerintah, tidak dalam bentuk undang-undang sebagaimana lazimnya.
Konvensi ini pada hakikatnya memberikan jaminan yang seluas–luasnya kepada organisasi buruh untuk mengorganisasikan dirinya dan untuk bergabung dengan federasi-federasi, konfederasi, dan organisasi apa pun dan hukum negara tidak boleh menghalangi jaminan berserikat bagi buruh sebagaimana diatur dalam konvensi tersebut.
Menurut hemat penulis, pengembangan serikat pekerja ke depan harus diubah kembali bentuk kesatuan menjadi bentuk federatif dan beberapa hal yang perlu mendapat penanganan dalam undang-undang serikat pekerja adalah :
1)      Memberikan otonom yang seluas-luasnya kepada organisasi pekerja di tingkat Unit/Perusahaan untuk mengorganisasikan dirinya tanpa campur tangan pihak pengusaha maupun pemerintah dengan kata lain serikat pekerja harus tumbuh dari bawah (battum up policy);
2)      Serikat pekerja di tingkat Unit/perusahaan ini perlu diperkuat untuk meningkatkan “bergaining position” pekerja, karena serikat pekerja tingkat unit/perusahaan selain sebagai subyek/ yang membuat Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan pengusaha, juga sebagai Lembaga Bipartit;
3)       Jika serikat pekerja di tingkat unit/perusahaan ingin menggabungkan diri dengan serikat pekerja dapat dilakukan melalui wadah federasi serikat pekerja, demikian pula halnya gabungan serikat pekerja dapat bergabung dalam Konfederasi pekerja;
4)      Untuk membantu tercapainya hal-hal di atas, perlu pemberdayaan pekerja dan pengusaha. Pekerja perlu diberdayakan untuk meningkatkan keahlian/keterampilan dan penyadaraan tentang arti pentingnya serikat pekerja sebagai sarana memperjuangkan hak dan kepentingan dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.
Pengusaha perlu diberdayakan agar memahami bahwa keberadaan organisasi pekerja adalah sebagai mitra kerja bukan sebagai lawan yang dapat menentang segala kebijaksanaannya.
Untuk maksud tersebut di atas, dan sesuai dengan konvensi ILO yang telah diratifikasi Indonesia, maka dikeluarkanlah Undang-undang Serikat pekerja dengan pada tahun 2000 dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 ini memuat beberapa prinsip dasar yakni :
1)      Jaminan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
2)      Serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas buruh/pekerja tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, dan pihak manapun.
3)      Serikat buruh/pekerja dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh.
4)      Basis utama serikat buruh/pekerja ada di tingkat perusahaan, serikat buruh yang ada dapat menggabungkan diri dalam Federasi Serikat Buruh/Pekerja. Demikian halnya dengan Federasi Serikat Buruh/Pekerja dapat menggabungkan diri dalam Konfederasi Serikat Buruh/Pekerja.
5)      Serikat buruh/pekerja, federasi dan Konfederasi serikat buruh/pekerja yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada kantor Depnaker setempat, untuk dicatat (bukan didaftarkan).
6)      Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat buruh /pekerja.
Perlunya dibentuk undang-undang serikat pekerja/serikat buruh karena seiring dengan kebebasan buruh/pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, maka tugas yang diemban oleh serikat buruh/pekerja semakin berat yakni tidak saja memperjuangkan hak-hak normatif buruh/pekerja tetapi juga memberikan perlindungan, pembelaan, dan mengupayakan peningkatan kesejahteraannya. Diharapkan dengan kemandirian organisasi buruh/pekerja tugas-tugas tersebut dapat dicapai.
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 beberapa pengertian penting dan pokok adalah :
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 butir 1).
Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan (Pasal 1 butir 2). Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan (Pasal 1 butir 3). Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 1 butir 4). Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 1 butir 5). Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 butir 6).
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 2).
Dalam penjelasan pasal ini bahwa meskipun serikat pekerja/buruh bebas menentukan asas organisasinya, serikat pekerja/buruh tidak boleh menggunakan asas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 karena Pancasila sebagai dasar negara dan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (Pasal 3). Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan :
1)      Bebas ialah bahwa sebagai prganisasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pkerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak lain.
2)      Terbuka ialah bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin;
3)      Mandiri ialah bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi;
4)      Demokratis ialah bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
5)      Bertanggung jawab ialah bahwa dalam mencapai tujuan dan melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat, dan negara.
Pasal 4 menyebutkan bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Untuk mencapai tujuan tersebut serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/buruh mempunyai fungsi :
1)      sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
2)      sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
3)      sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
4)       sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
5)      sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

F. Ruang Lingkup Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung
1)      Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk di Propinsi dan Kabupaten/Kota tertentu
2)      Susunan Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari :
·         Hakim,
·          Hakim Ad-Hoc ® mewakili organisasi pekerja dan organisasi pengusaha,
·         Panitera Muda, dan
·          Panitera Pengganti
3)      Susunan Pengadilan Hubungan Industrial di Mahkamah Agung terdiri dari :
·         Hakim Agung
·         Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung dan
·         Panitera
G. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
a.       Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
                                            i.            di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
                                          ii.            di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
                                        iii.            di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
                                        iv.            di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali secara khusus diatur dalam undang-undang ini.
1. Pengajuan gugatan
·         Gugatan perselisihan Hubungan Industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah Hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
·         Pengajuan gugatan wajib dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
·         Kalau tidak lampiri dengan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi berkas dikembalikan dikembalikan para pihak
·         Gugatan dapat dicabut Penggugat sebelum Tergugat memberi jawaban.
·         Dalam hal perselisihan Hak dan atau perselisihan Kepentingan diikuti dengan perselisihan hubungan kerja, Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan
·         Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya
·         Ketua Pengadilan Negeri : 7 (tujuh) hari kerja menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim sebgai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim adhoc sebagai anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan
2. Pemeriksaan dengan acara biasa.
·         Majelis Hakim : 7 (tujuh) hari kerja menetapkan sidang
·         Pemanggilan saksi atau saksi ahli.
·         Saksi atau saksi ahli wajib memberikan kesaksian dibawah disumpah.
·         Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.
·         Sidang terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain.
·         Dalam hal salah satu pihak tidak mengahdiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan Majelis Hakim dapat menetapkan hari sidang berikutnya.
·         Hari sidang berikutnya selambat-lambatnya 7 hari terhitung sejak tanggal penundaan.
·         Penundaan sidang karena ketidak hadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyak 2 kali penundaan
·         Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap pengadilan pada sidang penundaan terakhir gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi
·         Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang mengahadap pengadilan pada sidang Penundaan terakhir maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
·         Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati persidangan.
·         Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
3. Putusan Sela
·         Apabila dalam persidangan pertama secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya membayar upah dan hak hak yang biasa diterima pekerja, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada Pengusaha untuk melaksanakan keajibannya kepada pekerja/buruh.
·          Putusan Sela dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua
·         Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan pengadilan Hubungan Industrial.
·          Putusan sela dan Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial tidak dapat diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan upaya hukum
4. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
·         Apabila terdapat kepentingan para pihak dan atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak atau salah satu pihak dapat memohon kepada pengadilan hubungan Industrial supaya pemerikasaan sengketa dipercepat
·         7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
·         Terhadap Penetapan pemerikasaan dengan acara pemeriksaan cepat tidak dapat digunakan upaya hukum.
·         Dalam hal permohonan dengan acara pemeriksaan cepat dikabulkan Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah dikeluarkannya Penetapan menentukan Majelis Hakim, Hari, Tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemerikasaan
·         Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari kerja.
5. Putusan mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan
6.  Majelis Hakim wajib menyelesaikan selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
Putusan Hubungan Industrial ditandatangani oleh Hakim, Hakim adhoc dan penitera pengganti.
Panitiera pengganti Pengadilan Hubungan Industrial selambatlambatnya 7 hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang.
Selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan ditandatangani panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Panitera Pnegadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan kepada para pihak.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselihan hak dan perselisihan hubungan industrial mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari :
·         Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
·         Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal enerima pemberitahuan putusan.
·         Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
b.      Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Kasasi
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas 1 orang Hakim agung dan 2 orang Hakim adhoc pada Mahkamah Agung. Majelis Hakim Kasasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung.
 Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan kasasi.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi dasar hukum Ketenaga kerjaan antara lain :
1)      Undang-Undang Dasar 1945
2)      Undang-undang No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
3)      Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (sesuai dengan Putusan Makhkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003)
4)      Undang-undang No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
5)      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional. Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050);
6)      Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
7)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Masa Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Sedangkan subjek hukum ketenagakerjaan, Bila secara umum disebutkan didalam pengantar Ilmu Hukum, bahwa orang dan Bandan Hukum merupakan Subyek hukum. Maka  Dalam praktik sehari-hari ada beberapa kelompok terkait sehubungan dengan Ketenagakerjaan yang merupakan Subyek hukum ketenaga kerjaan. Dimana mewakili Pekerja dan pengusaha dalam bentuk kelompok atau badan hukum yang menjadi subyek-subyek hukum ketenaga kerjaan. Kelompok-kelompok tersebut adalah Pekerja, Pengusaha, Organisasi Pekerja, Organisasi Pengusaha dan Pemerintah.
b.         Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia
a.         Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
                                          v.            di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
                                        vi.            di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
                                      vii.            di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
                                    viii.            di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali secara khusus diatur dalam undang-undang ini.
1. Pengajuan gugatan
·         Gugatan perselisihan Hubungan Industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah Hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
·         Pengajuan gugatan wajib dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
·         Kalau tidak lampiri dengan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi berkas dikembalikan dikembalikan para pihak
·         Gugatan dapat dicabut Penggugat sebelum Tergugat memberi jawaban.
·         Dalam hal perselisihan Hak dan atau perselisihan Kepentingan diikuti dengan perselisihan hubungan kerja, Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan
·         Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya
·         Ketua Pengadilan Negeri : 7 (tujuh) hari kerja menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim sebgai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim adhoc sebagai anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan
2. Pemeriksaan dengan acara biasa.
·         Majelis Hakim : 7 (tujuh) hari kerja menetapkan sidang
·         Pemanggilan saksi atau saksi ahli.
·         Saksi atau saksi ahli wajib memberikan kesaksian dibawah disumpah.
·         Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.
·         Sidang terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain.
·         Dalam hal salah satu pihak tidak mengahdiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan Majelis Hakim dapat menetapkan hari sidang berikutnya.
·         Hari sidang berikutnya selambat-lambatnya 7 hari terhitung sejak tanggal penundaan.
·         Penundaan sidang karena ketidak hadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyak 2 kali penundaan
·         Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap pengadilan pada sidang penundaan terakhir gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi
·         Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang mengahadap pengadilan pada sidang Penundaan terakhir maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
·         Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati persidangan.
·         Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
3. Putusan Sela
·         Apabila dalam persidangan pertama secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya membayar upah dan hak hak yang biasa diterima pekerja, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada Pengusaha untuk melaksanakan keajibannya kepada pekerja/buruh.
·          Putusan Sela dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua
·         Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan pengadilan Hubungan Industrial.
·          Putusan sela dan Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial tidak dapat diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan upaya hukum
4. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
·         Apabila terdapat kepentingan para pihak dan atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak atau salah satu pihak dapat memohon kepada pengadilan hubungan Industrial supaya pemerikasaan sengketa dipercepat
·         7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
·         Terhadap Penetapan pemerikasaan dengan acara pemeriksaan cepat tidak dapat digunakan upaya hukum.
·         Dalam hal permohonan dengan acara pemeriksaan cepat dikabulkan Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah dikeluarkannya Penetapan menentukan Majelis Hakim, Hari, Tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemerikasaan
·         Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari kerja.
5. Putusan mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan
6.  Majelis Hakim wajib menyelesaikan selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
Putusan Hubungan Industrial ditandatangani oleh Hakim, Hakim adhoc dan penitera pengganti.
Panitiera pengganti Pengadilan Hubungan Industrial selambatlambatnya 7 hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang.
Selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan ditandatangani panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Panitera Pnegadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan kepada para pihak.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselihan hak dan perselisihan hubungan industrial mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari :
·         Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
·         Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal enerima pemberitahuan putusan.
·         Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
c.       Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Kasasi
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas 1 orang Hakim agung dan 2 orang Hakim adhoc pada Mahkamah Agung. Majelis Hakim Kasasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung.
 Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan kasasi.





















DAFTAR PUSTAKA
[1] Makalah “Pengertian Hukum Perburuhan” oleh  DR. AGUSMIDAH, SH.M.HUM, Hal, 3
[1] Salinan UU. No. 13 Tahun 2003
[1] http://sautlaw.wordpress.com/2012/10/06/pengertian-hubungan-industrial-h-ketenagakerjaan
[1] http://zulfiandri.blog.esaunggul.ac.id/2012/05/19/pemutusan-hubungan-kerja-phk/
[1] Lalu Husni, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman 22.
[1] Danu Rudiono, “Kebijaksanaan Perburuhan Pasca Bom Minyak”, Prisma, Tahun XXI, 1992, halaman 97.

[1] Ari Sunariati, “Hak Asasi Buruh Menentukan Nasib Sendiri”, Prisma, No. 3 Tahun XI, 1992, halaman 90.
















[1] Makalah “Pengertian Hukum Perburuhan” oleh  DR. AGUSMIDAH, SH.M.HUM, Hal. 2
[2] Makalah “Pengertian Hukum Perburuhan” oleh  DR. AGUSMIDAH, SH.M.HUM, Hal, 3


[3] Ibid ; hal 4
[4] Salinan UU. No. 13 Tahun 2003
[5] http://sautlaw.wordpress.com/2012/10/06/pengertian-hubungan-industrial-h-ketenagakerjaan
[6] http://kamusbisnis.com/arti/pengadilan-hubungan-industrial/
[7] http://zulfiandri.blog.esaunggul.ac.id/2012/05/19/pemutusan-hubungan-kerja-phk/
[9] Darwan Prints, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 20.

[10] Lalu Husni, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman 22.

[11] Danu Rudiono, “Kebijaksanaan Perburuhan Pasca Bom Minyak”, Prisma, Tahun XXI, 1992, halaman 97.

[12] Ari Sunariati, “Hak Asasi Buruh Menentukan Nasib Sendiri”, Prisma, No. 3 Tahun XI, 1992, halaman 90.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. Komando Strategi Mahasiswa Merdeka (KOSTUM MERDEKA) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger