BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Adanya
hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lain, yang membutuhkan
peraturan dalam kehidupan ditengah bermasyarakat. Dimana bertujuan untuk
melindungi kepentingan, menciptakan ketertiban dan memenuhi rasa keadilan
setiap individu dan atu kelompok masyarakat itu sendiri. Kemudian peraturan
yang dibutuhkan dan dipatuhi seluruh masyarakat disebut dengan Norma hukum.
Demikian
juga dengan hukum ketenaga kerjaan, merupakan Peraturan yang mengatur hubungan
hukum antara pemberi kerja dengan perkerja. Dimana dalam bahasa belanda disebut
dengan “Ar-Beidsrecht (Hukum Perburuhan)”
menurut Molenaar sorang sarjana Belanda yang dikutip oleh DR. AGUSMIDAH,
SH.M.HUM dalam makalahnya mengatakan
bahwa "ar-beidsrecht" (Hukum Perburuhan) adalah bagian dari hukum
yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan,
antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa[1].
Sedangkan
M.G. Levenbach; merumuskan hukum arbeidsrecht sebagai sesuatu yang meliputi
hukum yang berkenaan dengan keadaan penghidupan yang langsung ada
sangkut-pautnya dengan hubungan-kerja, dimaksudkannya peraturan-peraturan
mengenai persiapan bagi hubungan -kerja (yaitu penempatan dalam arti kata yang
luas, latihan dan magang), mengenai jaminan sosial buruh serta
peraturan-peraturan mengenai badan dan organisasi-organisasi di lapangan
perburuhan.[2]
Kemudian
MOK, berpendapat bahwa “arbeidsrecht” adalah hukum yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan tersebut. Selanjutnya
Iman Soepomo ; dari berbagai pengertian di atas beliau membuat rumusan tentang
arti kata Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun
tidak yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain
dengan menerima upah[3].
Dari
beberapa defenisi diatas memberikan penjelasan kepada kita tentang Hukum
ketenaga kerjaan, dimana dalam pelaksanaan hukum ketenaga kerjaan pada setiap
negara didunia berbeda. Hal ini disebabkan berbedanya dasar hukum yang
ditetapkan pada setiap negara didunia, mesti kita ketahui bersama ada kesamaan
atas subyek ketenaga kerjaan yang diberlakukan. Di indonesia sendiri yang
mengatur ketenaga kerjaan adalah undang-undang No. 13 tahun 2003.
Dengan
adanya perbedaan dasar hukum dan kesamaan subyek dalam melaksanakan hukum
ketenaga kerjaan inilah yang melatar belakangi penulis membuat Makalah yang
berjudul “Sumber Dan Subyek Hukum
Ketenaga Kerjaan” sebagai persyaratan mendapatkan nilai matakuliah hukum
ketenaga kerjaan.
B. Rumusan Masalah.
Dalam
makalah ini penulis hanya berfokus pada pembahasan permasalahan yang telah
dirumuskan dibawah ini :
1. Apa
yang menjadi dasar dan subyek hukum Ketanaga Kerjaan diindonesia.?
2. Bagaimana
Sistem penyelesaian Hubungan industria diindonesia.?
C.
Sistematika penulisan
BAB
I Pendahuluan
Pada
bab satu ini penulis mengulas tetantang Latar belakang, rumusan masalah dan
sistematika penulisan.
BAB
II Tinjauan Pustaka dan pembehasan masalah.
Pada
bab dua ini ini penulis membahasa tetang beberapa pengertian, sejarah hukum
ketenaga kerjaan, asas-asas hukum ketenaga kerjaan, Dasar Hukum Ketenaga
kerjaan, subyek-suyek hukum ketenaga kerjaan, Ruang lingkup pengadilan hubungan
Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB
III penutup
Pada
bab tiga ini penulis akan membahas tetang kesimpulan, saran, kritik dan
penutup.
BAB II
Tinjauan Pustaka dan Pembahasan
masalah
A.
Beberapa Pengertian.
Dasar hukum adalah
hukum dasar yang di gunakan sebagai landasan dan sumber berlakunya, dalam
melaksanakan suatu peraturan, perundang-undangan atau hukum disuatu negara,
masyarakat atau kelompok. Maka dalam pembahasan pengertian dari dasar hukum
ketenaga kerjaan adalah hukum dasar yang digunakan sebagai landasan dan sumber
lakunya hukum ketenaga kerjaan di Indonesia.
Menurut Algra Subyek hukum (Recht Subyak) adalah
setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang menimbulkan
kewenangan hukum (rechtsbevoegheid). Maka dari defenisi
diatas dapat kita tarik bahwa pengertian
subyek hukum ketenaga kerjaan adalah setiap orang atau badan hukum yang
memiliki hak dan kewajiban atas suatu pekerjaan yang menimbulkan kewenangan
hukum.
Pengertian hubungan
industrial dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 nomor 16
disebutkan bahwa yang dimaksud hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan
yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa
yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.[4]
Hubungan industrial
adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas
proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan. Pihak yang paling
berkepentingan atas keberhasilan perusahaan dan berhubungan langsung
sehari-hari adalah pengusaha atau manajemen dan pekerja. Disamping itu
masyarakat juga mempunyai kepentingan, baik sebagai pemasok faktor produksi
yaitu barang dan jasa kebutuhan perusahaan, maupun sebagai masyarakat konsumen
atau pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut. Pemerintah juga mempunyai
kepentingan langsung dan tidak langsung atas pertumbuhan perusahaan, antara
lain sebagai sumber penerimaan pajak. Jadi hubungan industrial adalah hubungan
antara semua pihak yang berkepentingan tersebut. Dalam pengertian sempit,
hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara manajemen dan pekerja
atau Management-Employees Relationship.[5]
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan
khusus untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan ini dibatasi proses
dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding
ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung, sedangkan putusan yang menyangkut
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan adalah putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak
dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.[6]
Menurut Tulus (1993:167), pemutusan hubungan kerja
(separation) adalah mengembalikan karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan
karyawan pada umumnya belum meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh
karena itu perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tertentu yang timbul akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja. Di
samping itu juga harus menjamin agar karyawan yang dikembalikan ke masyarakat
harus berada dalam kondisi sebaik mungkin. Menurut Hasibuan (2001: 205),
pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu
organisasi perusahaan.[7]
B.
Sejarah Hukum Ketenaga kerjaan.
Sejak awal kolonialisasi, kaum penjajah telah memperlakukan
orang-orang pribumi hanya sebagai budak yang tidak memiliki status hukum dan
boleh diperdagangkan. Hal ini tergambar dalam sistem hukum yang diterapkan di
wilayah jajahan dengan menetapkan bahwa “Burgerlijk Wetboek” atau Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang diberlakukan sejak tahun 1823, termasuk di
dalamnya norma dan aturan mengenai perburuhan, tidak berlaku bagi orang
pribumi.
Selanjutnya, perlakuan terhadap pribumi sebagai budak belian
tersebut disahkan dalam berbagai aturan resmi kolonial yang menurut Dr.
Agusmidah, antara lain dituangkan dalam peraturan tentang Pendaftaran Budak
(Stb 1819 No. 58), peraturan Pajak atas Pemilikan Budak (Stb. 1820 No. 39a),
dan berbagai peraturan (reglemen) lain yang memperkuat kedudukan kaum
penjajah di atas orang-orang pribumi dan praktek-praktek perbudakan lainnya di
wilayah Hindia Belanda.
Pada saat Inggris menguasai beberapa bagian wilayah
nusantara pada tahun 1811-1814, Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles
telah melarang dan menghapuskan praktek perbudakan dan praktek kerja paksa
(rodi) di wilayah kekuasaannya dengan men-dirikan “the Java Benevolen
Institution“.
Namun ketika Belanda menguasai kembali wilayah yang dahulu
menjadi wilayah jajahannya, maka ketentuan mengenai praktek perbudakan dan
kerja rodi kembali berlaku yang kemudian diikuti oleh berbagai perlawanan dari
kaum pribumi di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda, seperti perlawanan yang
dilakukan antara lain oleh Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Teuku Umar,
Cut Nyak Dien, Pangeran Padri, Sisingamangaraja, Pattimura, Dewi Sartika dan
banyak pahlawan yang gugur dalam rangka menentang praktek perbudakan di wilayah
nusantara.
Setelah memperoleh banyak perlawanan di wilayah jajahan dan
adanya gerakan global yang menentang praktek perbudakan, Belanda mulai mengubah
strategi dengan memperlunak praktek perbudakan menjadi sistem “perhambaan” (bediende)
dimana seseorang harus menyerahkan jasa dan tenaganya kepada orang lain yang
bertindak sebagai tuan atau pemberi pekerjaan (bukan orang yang menggunakan
jasa dan tenaga orang lain) tanpa menggunakan kesepakatan yang tertuang dalam
perjanjian kerja dengan upah yang ditentukan secara sepihak oleh si tuan atau
pemberi pekerjaan atas dasar pengabdian, kesetiaan (loyal) dan kedekatan emosi
secara pribadi dengan pemberi pekerjaan.
Dengan sistem hubungan kerja tersebut, Belanda membedakan
orang-orang yang bekerja di wilayah jajahannya menjadi:
1. pekerja atau pegawai di bidang
administrasi pemerintahan (ambtenaar);
2. pekerja di perusahaan-perusahaan
(perkebunan) milik Belanda; dan
3. pekerja atau buruh lepas.
Ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah 350 tahun dijajah, sistem
kerja dan pembedaan pekerja belum sempat
direformasi, sehingga masih ada pembedaan struktur warga negara yang
melaksanakan pekerjaan di Indonesia yakni warga negara yang bekerja sebagai:
1. pegawai negeri sipil,
2. pegawai negeri militer,
3. pegawai badan usaha milik negara,
dan
4. pegawai swasta murni, serta
ditambah dengan
5. pekerja lepas, yakni pekerja yang
melaksanakan pekerjaan berdasarkan kebutuhan (pekerja informal).
Hingga saat ini, semua pekerja dan
pegawai yang melaksanakan pekerjaan relatif tanpa kesepakatan kerja yang dibuat
antara pekerja/buruh (employee) sebagai penyedia jasa dan tenaga dengan
pengguna jasa dan tenaga (employer) dalam kedudukan yang setara (equal)
yang dituangkan dalam perjanjian kerja.
Dalam era industri saat ini, perjanjian kerja sebagai wujud
dari kesepakatan kerja merupakan hal yang sangat esensial dalam hubungan kerja
karena upah/imbalan diberikan
dalam bentuk uang. Ketika
masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hubungan kerja tanpa perjanjian
kerja, maka masyarakat tidak memiliki jaminan kepastian terhadap upah sebagai
imbalan atas jasa dan tenaga yang telah diberikan.
Dengan demikian, hingga saat ini belum ada tolok ukur yang
pasti untuk jasa dan tenaga sumber daya manusia di Indonesia, sehingga
pemberian upah masih tetap didasarkan pada sistem hubungan kerja warisan jaman
penjajahan yakni hubungan kerja antara pemberi kerja yang bertindak sebagai TUAN dengan KULI, KACUNG/PESURUH atau BURUH (KKB).
Upah yang diberikan oleh seorang tuan kepada kuli biasanya
dilakukan secara borongan berdasarkan kesepakatan tidak tertulis terhadap
volume pekerjaan tertentu tanpa ada kejelasan tolok ukur harga untuk jasa dan
tenaga manusia yang telah diberikan.
Upah yang diberikan kepada seorang kacung atau pesuruh
biasanya dilakukan berdasarkan kehadiran atau absensi dalam rangka menunggu
untuk diperintah tanpa ada kejelasan tolok ukur bobot pekerjaan.
Upah yang diberikan kepada seorang buruh atau pekerja lepas
biasanya dilakukan berdasarkan sistem upah harian, dimana satu hari dihitung 24
jam, atau sistem upah bulanan dimana satu bulan dihitung antara 25 hingga 30
hari kerja. Pekerjaan diberikan setiap saat, tanpa mengenal waktu, kemampuan
dan keahlian dari penyedia jasa dan tenaga.
Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja
mengakibatkan masyarakat cenderung terbiasa dengan sistem bekerja untuk
kepentingan diri sendiri, tanpa standar upah, tanpa jaminan keselamatan, tanpa
jaminan kesehatan, tanpa jaminan pensiun, tanpa tolok ukur keahlian dan
keterampilan, dan tidak ada kenaikan upah secara berkala yang seharusnya
disesuaikan dengan bertambahnya pengalaman kerja, yang dalam jangka panjang
akan menjadi beban bagi lingkungan sosial.
Di lain pihak, pengguna jasa dan tenaga pun akan merasa
kesulitan dalam menentukan upah sehingga mereka membuat pehitungan upah sendiri
yang disesuaikan dengan modal dan kelangsungan usaha, serta tidak menghargai
jasa dan tenaga yang telah digunakannya.
Tidak adanya kesetaraan kedudukan hukum antara penyedia jasa
dan tenaga dan pengguna jasa dan tenaga akan mengakibatkan ketidak-adilan,
ketidak-percayaan satu sama lain, dan bahkan akan menjurus pada sering
terjadinya sengketa perburuhan.
Menghadapi era perdagangan bebas tanpa tolok ukur upah yang
jelas yang tertuang dalam perjanjian kerja, justru akan membuat masyarakat
semakin miskin dan tertindas, karena sudah menjadi sifat dasar para pemodal (investor),
pengusaha dan orang yang bertindak sebagai tuan untuk membayar jasa dan tenaga
pekerja/buruh dengan upah yang serendah mungkin demi keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Mereka tidak akan segan untuk melakukan kolusi dengan
otoritas ketenagakerjaan untuk menghasilkan aturan yang menguntungkan dengan
menggunakan sedikit tekanan dan iming-iming dukungan untuk memperoleh jabatan
dan kekayaan.
Pembedaan warga negara yang bekerja (work force)
menjadi pegawai negeri sipil, pegawai negeri militer, pegawai badan usaha milik
negara, pegawai perusahaan swasta, dan pekerja lepas (pekerja informal) dengan
standar upah yang berbeda-beda yang ditentukan secara sendiri-sendiri oleh
masing-masing institusi akan menciptakan tatanan masyarakat yang
terkotak-kotak, sehingga akan mudah memicu kecemburuan sosial karena warga
masyarakat menganggap bahwa pekerjaan yang satu lebih mulia daripada pekerjaan
yang lain, dan upah atau gaji institusi kerja yang satu akan lebih terjamin
daripada institusi kerja yang lain. Dalam lingkungan masyarakat seperti ini,
akan sering terjadi perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pelaksanaan
pekerjaan.
Pembedaan upah atau gaji sebagai imbalan atas jasa dan
tenaga yang tidak dituangkan dalam perjanjian kerja, tapi hanya didasarkan pada
lingkup jabatan (autonomy) yang diuraikan dalam jenjang kepangkatan, dan
pada kewenangan (authority) yang diuraikan dalam tingkat eselon, akan
membuahkan kinerja yang tidak efektif dan tidak efisien karena tanggungjawab
terhadap pelaksanaan pekerjaan akan mengerucut pada pucuk pimpinan sebagai
pejabat yang berwenang.
Masyarakat pekerja atau pegawai akan terbiasa dengan
pembebanan segala urusan dan tanggungjawab pekerjaan kepada atasan, sedangkan
anak buah akan cenderung lepas tanggungjawab. Selanjutnya, masyarakat akan
mengukur kesuksesan bukan atas dasar prestasi, namun hanya pada didasarkan atas
pencapaian jabatan yang tinggi dengan gaji, tunjangan dan fasilitas yang besar,
dengan kewenangan yang seluas-luasnya.
Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja akan
membuat Pemerintah mengalami kesulitan dalam menghitung statistik angkatan
kerja (work force) secara nasional karena banyaknya angka pengangguran
tidak kentara (disguished unemployment) yang akan berdampak pada
terjadinya kesenjangan sosial antara kelompok yang secara nyata telah
memberikan jasa dan tenaga tetapi mendapat upah yang tidak sesuai, dengan
kelompok yang tidak memberikan jasa dan tenaga namun tetap mendapat upah sesuai
peraturan yang berlaku.
Dalam masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan
perjanjian kerja yang tertulis dalam rangka melaksanakan pekerjaan, maka tidak
terhindarkan terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, sulitnya kesempatan
kerja, tidak ada standar kometensi dan profisiensi, dan tidak ada jaminan untuk
hari tua.
Tidak adanya standar upah yang ditetapkan secara nasional
justru akan memicu persaingan yang tidak sehat karena akan terjadi kolusi,
korupsi dan nepotisme dalam melaksanakan pekerjaan ditambah dengan tidak adanya
hubungan kerja yang harmonis yang didasarkan pada rasa saling menghargai dan
saling menghormati antara pekerja yunior dan senior.
Perjanjian kerja tertulis yang didasarkan pada pesan
Rasulullah yakni kepastian pemberian upah, kejelasan tolok ukur kerja dan
kesepakatan
kerja yang didasarkan pada kesetaraan
akan melindungi pekerja antar negara dari eksploitasi jasa dan tenaga
oleh pengguna jasa dan tenaga pekerja di negara lain, dengan syarat bahwa
perjanjian kerja wajib ditandatangani sendiri oleh pekerja dan pengguna jasa
dan tenaga di negara lain tanpa perantara.
Dokumen perjanjian dibuat dalam sekurang-kurangnya 4 (empat)
rangkap, yang selanjutnya 1 (satu) salinan perjanjian kerja disimpan oleh
pekerja, 1 (satu) salinan disimpan oleh pengguna jasa dan tenaga, 1 (satu)
salinan dikirimkan kepada kantor perwakilan negara di luar negeri dimana
pekerja melaksanakan perjanjian kerja, dan 1 (satu) salinan disampaikan kepada
otoritas ketenagakerjaan negara setempat.
Dalam upaya melindungi tenaga kerja nasional di luar negeri,
maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib
membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan otoritas
ketenagakerjaan di negara lain yang pada prinsipnya berisi substansi dari pesan
Rasulullah SAW, yakni jaminan kepastian pemberian upah, jaminan tolok ukur
kerja, dan jaminan kesetaraan kedudukan antara pekerja dengan pengguna jasa dan
tenaga sesuai peraturan perundang-undangan di negara tempat perjanjian kerja
dilaksanakan.
Sebaliknya, untuk melindungi tenaga kerja di dalam negeri,
maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib
meminta kepada pengguna jasa dan tenaga kerja asing untuk menyerahkan salinan perjanjian kerja
yang telah disepakati.
Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam
memahami masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
C.
Asas-asas Hukum Ketenaga Kerjaan.
1. Asas
Kebebasan Berkontrak
Semua orang, setiap orang,
setiap badan hukum, setiap perusahaan bebas untuk BERKONTRAK, kenapa, karena
sudah di landasi hukum Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara
siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu
tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum
(undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum
(misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).[8]
2. Asas
Kepastian Hukum
Intinya Setia yang melaksanakan
perjanjian kerja, mereka mempunyai kepastian hukum, dan secara pasti mereka
mempunyai perlindungan hukum. Bahkan hingga hakim dapat memaksa bagi pihak yang
wanprestasi kepada pihak lain
3. Asas
Konsensualisme
Seperti namanya adalah
konsensus yang berarti kesepakatan, maka perjanjian kerja akan sah demi hukum,
setelah tercapainya kesepakatan antar pihak dan perjanjian itu mengikat begitu
kesepakatan itu di ucapakan. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal
undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian,
misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan
yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4. Asas
Itikad Baik
Itikad baik berarti keadaan
batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur,
terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari
oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan
sebenarnya.
5. Asas Kepribadian
Asas kepribadian berarti isi
perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat
pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat
mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat
perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka
yang membuatnya.
D.
Dasar Hukum ketenaga kerjaan
bahwa
pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, adil dan makmur yang merata, baik meteriil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mampunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.
Sesuai dengan
peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan
untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan
serta peningkatan perlindungan tenaga kerja kerja dan keluarganya sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan. perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha. Maka
adapun yang menjadi dasar hukum Ketenaga kerjaan antara lain :
1) Undang-Undang
Dasar 1945
2) Undang-undang
No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
3) Undang-undang
No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (sesuai dengan Putusan Makhkamah Konstitusi
No. 012/PUU-I/2003)
4) Undang-undang
No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
5) Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan
Internasional. Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk
Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050);
6) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
7) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Masa
Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Beberapa
peraturan diatas menjadi hukum dasar berlakunya pelaksanaan hukum ketenaga
kerjaan diindonesia.
E.
Subyek hukum Ketenaga Kerjaan.
Bila secara umum
disebutkan didalam pengantar Ilmu Hukum, bahwa orang dan Bandan Hukum merupakan
Subyek hukum. Maka Dalam praktik
sehari-hari ada beberapa kelompok terkait sehubungan dengan Ketenagakerjaan
yang merupakan Subyek hukum ketenaga kerjaan. Dimana mewakili Pekerja dan
pengusaha dalam bentuk kelompok atau badan hukum yang menjadi subyek-subyek
hukum ketenaga kerjaan. Kelompok-kelompok tersebut adalah Pekerja, Pengusaha,
Organisasi Pekerja, Organisasi Pengusaha dan Pemerintah. Untuk mengetahui
masing-masing kelompok atau individu yang menjadi subyek hukum ketenaga kerjaan
tersebut, di bawah ini secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Pekerja
/ buruh / karyawan
Dalam kehidupan sehari-hari masih
terdapat beberapa peristilahan mengenai pekerja. Misalnya ada penyebutan :
buruh, karyawan atau pegawai. Terhadap peristilahan yang demikian, Darwan
Prints menyatakan bahwa maksud dari semua peristilahan tersebut mengandung
makna yang sama; yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah
sebagai imbalannya.[9]
Melihat pernyataan di atas, maka
termasuk sebagai pekerja/karyawan/buruh atau pegawai itu mencakup pegawai
swasta maupun pegawai negeri (sipil dan militer). Akan tetapi dalam praktik
dibedakan pekerja/buruh dengan pegawai negeri. Terdapatnya berbagai sebutan
atau istilah ini kelihatan mengikuti sebutan atau nama dari Departemen yang
membidanginya, yang semula bernama Departemen Perburuhan dan sekarang
Departemen Tenaga Kerja. Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/
ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai
dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang
lama (Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja) menggunakan istilah buruh. Namun setelah Undang-undang No. 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah “pekerja/buruh” begitu
pula dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan
istilah pekerja/buruh.
Pada zaman penjajahan Belanda yang
dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang
melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”.
Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut
sebagai “Karyawan/Pegawai” (White Collar”). Pembedaan yang membawa konsekuensi
pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak
terlepas dari upaya untuk memecah belah orangorang pribumi.
Setelah merdeka tidak lagi mengenal
perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja
di sektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini
disebutkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan yakni Buruh adalah “barangsiapa yang bekerja pada
majikan dan menerima upah” (Pasal 1 ayat 1 a).
Dalam perkembangan hukum perburuhan di
Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja,
sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Departemen Tenaga Kerja) pada waktu
kongres FBSI II tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang
sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang
selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan.[10]
Berangkat dari sejarah penyebutan
istilah buruh seperti tersebut di atas, menurut penulis istilah buruh kurang
sesuai dengan perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan
buruh masa lalu yang hanya bekerja pada sektor formal seperti Bank, Hotel dan
lain-lain. Karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah pekerja. Istilah
pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan
golongangolongan adalah badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan
lain-lain badan kolektif.
Istilah pekerja secara yuridis baru
ditemukan dalam Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang
dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang membedakan
antara pekerja dengan tenaga kerja. Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal
1 angka 2 disebutkan bahwa :
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat”.
Dari pengertian ini jelaslah bahwa
pengertian tenaga kerja sangat luas yakni mencakup semua penduduk dalam usia
kerja baik yang sudah bekerja maupun yang mencari pekerjaan (menganggur). Usia
kerja dalam Undangundang No. 13 Tahun 2003 minimal berumur 15 tahun (Pasal 69).
Sedangkan pengertian pekerja/buruh adalah “setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Pasal 1 angka 3 Undang-undang
No. 13 Tahun 2003, (lihat pula Pasal 1 butir 9 Undangundang No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Jadi pekerja adalah
sebagian dari tenaga kerja, dalam hal ini yang sudah mendapat pekerjaan.
Untuk kepentingan santunan jaminan
kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas
yakni termasuk :
1) magang
dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak;
2) mereka
yang menborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;
3) narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
Berdasarkan uraian di
atas, dapat ditarik pengertian bahwa istilah buruh telah digantikan istilah
pekerja yaitu orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja, dalam hal ini pekerja adalah
orang yang sudah mendapat pekerjaan tetap, hal ini karena tenaga kerja meliputi
pula orang pengangguran yang mencari pekerjaan (angkatan kejra), ibu rumah
tangga dan orang lain yang belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.
b) Pengusaha/Majikan
Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah
majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum Undang-undang
No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-undang No. 22 tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa Majikan
adalah “orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”.
Sama halnya dengan istilah Buruh, istilah Majikan
juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah
majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas, padahal antara
buruh dan majikan secara yuridis adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama,
karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah Pengusaha.
Perundang-undangan yang lahir kemudian seperti
Undang-undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang-undang No. 14 Tahun
1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut
dan diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003
(lihat pula Pasal 1 butir 6 Undang-undang No. 2 Tahun 2004) menjelaskan
pengertian Pengusaha yakni:
1)
orang perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2)
orang perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3)
orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Sedangkan
pengertian Perusahaan (Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, lihat
pula Pasal 1 butir 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004)adalah :
1)
setiap bentuk usaha yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2)
Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa
pengertian pengusaha menunjuk pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada
bentuk usaha atau organnya.
c) Organisasi
Pekerja/Buruh
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk
memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Keberhasilan maksud ini sangat tergantung
dari kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik
organisasi itu, maka akan semakin kuat. Sebaliknya semakin lemah, maka semakin
tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum pekerja di Indonesia
harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi.
Sebagai implementasi dari amanat ketentuan pasal 28
UUD 1945 tentang kebebasan berserikat & berkumpul mengeluarkan pikiran
dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka
pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.
98 dengan Undang-undang No. 18 tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar Hak Berorganisasi
& Berunding Bersama.
Pada saat kelahirannya tanggal 19 September 1945
organisasi buruh di Indonesia terlibat dalam tujuan politis karena itulah
antara organisasi buruh itu sendiri terjadi perpecahan karena antara para buruh
yang bersangkutan masing-masing beraviliasi pada organisasi politik yang
berbeda. Setelah pemilu tahun 1971 organisasi politik yang ada bergabung dalam
2 (dua) partai politik sehingga organisasi buruh yang bernaung dibawah Parpol tersebut
menjadi kehilangan induk. Momentum inilah yang dipergunakan oleh pimpinan
organisasi buruh saat itu untuk mengeluarkan suatu deklarasi yang tersebut
“Deklarasi Persatuan Buruh Indonesia” yang ditandatangani tanggal 20 Pebruari
1973. Deklarasi ini berisikan kebulatan tekad kaum buruh Indonesia untuk
mempersatukan diri dalam suatu wadah yang disebut Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI).
Bentuk federatif organisasi buruh ini lebih
aspiratif dalam memperjuangkan kepentingan buruh, namun secara “politis” bentuk
federatif ini seringkali sukar dikendalikan, para buruh seringkali melakukan
aksi-aksi jika hak-haknya tidak dipenuhi. Untuk itulah Menteri Tenaga Kerja
pada saat membuka Kongres FBSI II tanggal, 30 Nopember 1985 mengkritik sifat federatif
organisasi pekerja ini yang dikatakan meniru model liberal karena itu perlu
disempurnakan, ia juga tidak sependapat dengan istilah buruh yang melekat pada
nama organisasi tersebut dan mengusulkan untuk diganti dengan istilah pekerja.[11]
Kongres saat itu memutuskan untuk mengubah nama FBSI
menjadi SPSI serta mengubah struktur organisasi dari Federatif menjadi
Unitaris. Bentuk Unitaris ini pun banyak ditentang oleh kalangan aktivis buruh
khususnya yang tidak ikut kongres, sebagai reaksinya ia mendirikan Sekretariat Bersama
Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SEKBER SBLP), namun organisasi ini tidak
mendapatkan pengakuan pemerintah.
Untuk “melegalkan” tindakan tersebut, pemerintah
mengeluarkan Permenaker 05/MEN/1985 tentang Pendaftaran Organisasi Pekerja.
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa organisasi buruh yang dapat didaftarkan adalah
:
1)
Bersifat kesatuan;
2)
Mempunyai pengurus sekurang-kurangnya di
20 (dua puluh) daerah TK.I, 100 (seratus) daerah tingakt II, dan 1000 (seribu)
di tingkat Unit/Perusahaan.
Reaksi terhadap kebijaksanaan pemerintah
dalam mempersulit terbentuknya organisasi buruh tersebut tidak hanya mendapat
tanggapan dari dalam negeri, tetapi juga datang dari luar negeri yang
menyatakan bahwa buruh di Indonesia tidak diberikan kemerdekaan untuk
berserikat/berorganisasi. Statemen ini didukung pula oleh hasil penelitian ILO
yang menyimpulkan bahwa “Union Right” buruh di Indonesia sangat dibatasi
tanpa diberikan kelonggaran untuk berorganisasi.[12]
Kondisi yang demikian merupakan salah
satu alasan pemerintah meninjau kembali ketentuan pendaftaran organisasi buruh
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05 tahun 1987 dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3 tahun 1993. Peraturan ini memperlonggar
persyaratan pendaftaran organisasi pekerja yakni :
1)
Mempunyai unit organisasi di tingkat
perusahaan 100 (seratus);
2)
Mempunyai pengurus 25 (dua puluh lima)
di tingkat Kabupaten dan sekurang-kurangnya di 5 (lima) propinsi.
Perubahan aturan yang memberikan
kemudahan bagi pekerja untuk mendirikan serikat buruh tersebut dalam
kenyataannya tidak mendapat sambutan dari para buruh, sehingga tidak ada
organisasi buruh selain SPSI yang terdaftar. Namun demikian dalam tahun 1993
telah terbentuk 13 pengurus sektor SPSI yang telah terdaftar di Depnaker dengan
nomor pendaftaran 357-369/MEN/1993, anehnya meskipun di tingkat pusat sudah terbentuk,
namun di tingkat daerah apalagi di perusahaan belum bergeming sama sekali.
Sejalan dengan babak baru pemerintah
Indonesia yakni era reformasi yang menuntut pembaharuan disegala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu pemerintah melalui Kepres No. 83
tahun 1998 telah mengesahkan Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Convention Concorning
Freedom of Association and Protection of the Right to Organise). Karena
kondisi dalam negeri yang sedang dilanda berbagai aksi demonstrasi dalam masa pemerintahan
transisi tampaknya merupakan alasan bagi pemerintah meratifikasi konvensi ILO
dengan Peraturan Pemerintah, tidak dalam bentuk undang-undang sebagaimana
lazimnya.
Konvensi ini pada hakikatnya memberikan
jaminan yang seluas–luasnya kepada organisasi buruh untuk mengorganisasikan
dirinya dan untuk bergabung dengan federasi-federasi, konfederasi, dan
organisasi apa pun dan hukum negara tidak boleh menghalangi jaminan berserikat
bagi buruh sebagaimana diatur dalam konvensi tersebut.
Menurut hemat penulis, pengembangan
serikat pekerja ke depan harus diubah kembali bentuk kesatuan menjadi bentuk
federatif dan beberapa hal yang perlu mendapat penanganan dalam undang-undang
serikat pekerja adalah :
1)
Memberikan otonom yang seluas-luasnya
kepada organisasi pekerja di tingkat Unit/Perusahaan untuk mengorganisasikan
dirinya tanpa campur tangan pihak pengusaha maupun pemerintah dengan kata lain
serikat pekerja harus tumbuh dari bawah (battum up policy);
2)
Serikat pekerja di tingkat
Unit/perusahaan ini perlu diperkuat untuk meningkatkan “bergaining position”
pekerja, karena serikat pekerja tingkat unit/perusahaan selain sebagai subyek/
yang membuat Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan pengusaha, juga sebagai Lembaga
Bipartit;
3)
Jika serikat pekerja di tingkat
unit/perusahaan ingin menggabungkan diri dengan serikat pekerja dapat dilakukan
melalui wadah federasi serikat pekerja, demikian pula halnya gabungan serikat
pekerja dapat bergabung dalam Konfederasi pekerja;
4)
Untuk membantu tercapainya hal-hal di
atas, perlu pemberdayaan pekerja dan pengusaha. Pekerja perlu diberdayakan
untuk meningkatkan keahlian/keterampilan dan penyadaraan tentang arti
pentingnya serikat pekerja sebagai sarana memperjuangkan hak dan kepentingan
dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.
Pengusaha perlu diberdayakan agar
memahami bahwa keberadaan organisasi pekerja adalah sebagai mitra kerja bukan
sebagai lawan yang dapat menentang segala kebijaksanaannya.
Untuk maksud tersebut di atas, dan
sesuai dengan konvensi ILO yang telah diratifikasi Indonesia, maka
dikeluarkanlah Undang-undang Serikat pekerja dengan pada tahun 2000 dengan
Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000
ini memuat beberapa prinsip dasar yakni :
1)
Jaminan bahwa setiap pekerja/buruh
berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
2)
Serikat buruh dibentuk atas kehendak
bebas buruh/pekerja tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, dan
pihak manapun.
3)
Serikat buruh/pekerja dapat dibentuk berdasarkan
sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak
pekerja/buruh.
4)
Basis utama serikat buruh/pekerja ada di
tingkat perusahaan, serikat buruh yang ada dapat menggabungkan diri dalam
Federasi Serikat Buruh/Pekerja. Demikian halnya dengan Federasi Serikat
Buruh/Pekerja dapat menggabungkan diri dalam Konfederasi Serikat Buruh/Pekerja.
5)
Serikat buruh/pekerja, federasi dan
Konfederasi serikat buruh/pekerja yang telah terbentuk memberitahukan secara
tertulis kepada kantor Depnaker setempat, untuk dicatat (bukan didaftarkan).
6)
Siapapun dilarang menghalang-halangi
atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi
pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi
anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat buruh
/pekerja.
Perlunya dibentuk undang-undang serikat
pekerja/serikat buruh karena seiring dengan kebebasan buruh/pekerja untuk
mengorganisasikan dirinya, maka tugas yang diemban oleh serikat buruh/pekerja
semakin berat yakni tidak saja memperjuangkan hak-hak normatif buruh/pekerja
tetapi juga memberikan perlindungan, pembelaan, dan mengupayakan peningkatan kesejahteraannya.
Diharapkan dengan kemandirian organisasi buruh/pekerja tugas-tugas tersebut
dapat dicapai.
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000
beberapa pengertian penting dan pokok adalah :
Serikat pekerja/serikat buruh adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 butir 1).
Serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para
pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan (Pasal 1 butir 2).
Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat
buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan (Pasal
1 butir 3). Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat
pekerja/serikat buruh (Pasal 1 butir 4). Konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 1 butir 5).
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 butir 6).
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh menerima Pancasila sebagai dasar
negara dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 2).
Dalam penjelasan pasal ini bahwa
meskipun serikat pekerja/buruh bebas menentukan asas organisasinya, serikat
pekerja/buruh tidak boleh menggunakan asas yang bertentangan dengan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar 1945 karena Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (Pasal 3). Dalam penjelasannya
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan :
1)
Bebas ialah bahwa sebagai prganisasi
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pkerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak di bawah pengaruh atau
tekanan dari pihak lain.
2)
Terbuka ialah bahwa serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
dalam menerima anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak
membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin;
3)
Mandiri ialah bahwa dalam mendirikan,
menjalankan, dan mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri
tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi;
4)
Demokratis ialah bahwa dalam pembentukan
organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan
kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
5)
Bertanggung jawab ialah bahwa dalam
mencapai tujuan dan melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertanggung jawab
kepada anggota, masyarakat, dan negara.
Pasal 4 menyebutkan bahwa serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Untuk
mencapai tujuan tersebut serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/buruh mempunyai fungsi :
1)
sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian
kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
2)
sebagai wakil pekerja/buruh dalam
lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
3)
sebagai sarana menciptakan hubungan
industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku ;
4)
sebagai sarana penyalur aspirasi dalam
memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
5)
sebagai perencana, pelaksana, dan
penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
F.
Ruang Lingkup Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung
1) Pengadilan
Hubungan Industrial dibentuk di Propinsi dan Kabupaten/Kota tertentu
2) Susunan
Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari :
·
Hakim,
·
Hakim Ad-Hoc ® mewakili organisasi pekerja dan
organisasi pengusaha,
·
Panitera Muda, dan
·
Panitera Pengganti
3)
Susunan
Pengadilan Hubungan Industrial di Mahkamah Agung terdiri dari :
·
Hakim
Agung
·
Hakim
Ad-Hoc pada Mahkamah Agung dan
·
Panitera
G. Penyelesaian
Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
a.
Penyelesaian Perselisihan oleh
Hakim
Hakim
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
i.
di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak
ii.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan
iii.
di tingkat pertama mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja
iv.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali secara khusus diatur dalam
undang-undang ini.
1. Pengajuan gugatan
·
Gugatan perselisihan Hubungan Industrial
diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
daerah Hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
·
Pengajuan gugatan wajib dilampiri
risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
·
Kalau tidak lampiri dengan risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi berkas dikembalikan dikembalikan para
pihak
·
Gugatan dapat dicabut Penggugat sebelum
Tergugat memberi jawaban.
·
Dalam hal perselisihan Hak dan atau
perselisihan Kepentingan diikuti dengan perselisihan hubungan kerja, Pengadilan
Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perselisihan hak dan atau
perselisihan kepentingan
·
Serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya
·
Ketua Pengadilan Negeri : 7 (tujuh) hari
kerja menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim sebgai ketua
majelis dan 2 (dua) orang hakim adhoc sebagai anggota Majelis yang memeriksa
dan memutus perselisihan
2. Pemeriksaan dengan acara biasa.
·
Majelis Hakim : 7 (tujuh) hari kerja
menetapkan sidang
·
Pemanggilan saksi atau saksi ahli.
·
Saksi atau saksi ahli wajib memberikan
kesaksian dibawah disumpah.
·
Hakim wajib merahasiakan semua
keterangan yang diminta.
·
Sidang terbuka untuk umum, kecuali
Majelis Hakim menetapkan lain.
·
Dalam hal salah satu pihak tidak mengahdiri
sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan Majelis Hakim dapat
menetapkan hari sidang berikutnya.
·
Hari sidang berikutnya
selambat-lambatnya 7 hari terhitung sejak tanggal penundaan.
·
Penundaan sidang karena ketidak hadiran
salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyak 2 kali penundaan
·
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya
yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap pengadilan pada
sidang penundaan terakhir gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak
mengajukan gugatannya sekali lagi
·
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya
yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang mengahadap pengadilan pada
sidang Penundaan terakhir maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan
tanpa dihadiri tergugat.
·
Setiap orang yang hadir dalam
persidangan wajib menghormati persidangan.
·
Setiap orang yang tidak mentaati tata
tertib persidangan setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua
Majelis Hakim dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
3. Putusan Sela
·
Apabila dalam persidangan pertama secara
nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya membayar
upah dan hak hak yang biasa diterima pekerja, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan
Putusan Sela berupa perintah kepada Pengusaha untuk melaksanakan keajibannya
kepada pekerja/buruh.
·
Putusan Sela dapat dijatuhkan pada hari
persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua
·
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa
masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha hakim
ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan pengadilan
Hubungan Industrial.
·
Putusan sela dan Penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial tidak dapat diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan upaya
hukum
4. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
·
Apabila terdapat kepentingan para pihak
dan atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari
alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak atau salah satu
pihak dapat memohon kepada pengadilan hubungan Industrial supaya pemerikasaan
sengketa dipercepat
·
7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya
permohonan Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan
atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
·
Terhadap Penetapan pemerikasaan dengan
acara pemeriksaan cepat tidak dapat digunakan upaya hukum.
·
Dalam hal permohonan dengan acara
pemeriksaan cepat dikabulkan Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 hari
kerja setelah dikeluarkannya Penetapan menentukan Majelis Hakim, Hari, Tempat,
dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemerikasaan
·
Tenggang waktu untuk jawaban dan
pembuktian kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari
kerja.
5. Putusan mempertimbangkan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan
6. Majelis Hakim wajib menyelesaikan
selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
Putusan Hubungan Industrial
ditandatangani oleh Hakim, Hakim adhoc dan penitera pengganti.
Panitiera pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial selambatlambatnya 7 hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan,
harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir
dalam sidang.
Selambat-lambatnya 14 hari setelah
putusan ditandatangani panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Panitera Pnegadilan Negeri dalam waktu
selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah
mengirimkan salinan kepada para pihak.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan hubungan
Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun
putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri mengenai perselihan hak dan perselisihan hubungan industrial
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari :
·
Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak
putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
·
Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung
sejak tanggal enerima pemberitahuan putusan.
·
Salah satu pihak atau para pihak yang
hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat.
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 14
hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi sudah
menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
b.
Penyelesaian Perselisihan oleh
Hakim Kasasi
Majelis
Hakim Kasasi terdiri atas 1 orang Hakim agung dan 2 orang Hakim adhoc pada
Mahkamah Agung. Majelis Hakim Kasasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan
Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung.
Penyelesaian perselisihan hak atau
perselisihan pemutusan hubungan kerja selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal permohonan kasasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun
yang menjadi dasar hukum Ketenaga kerjaan antara lain :
1) Undang-Undang
Dasar 1945
2) Undang-undang
No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
3) Undang-undang
No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (sesuai dengan Putusan Makhkamah Konstitusi
No. 012/PUU-I/2003)
4) Undang-undang
No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
5) Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan
Internasional. Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk
Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050);
6) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
7) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Masa
Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Sedangkan
subjek hukum ketenagakerjaan, Bila secara umum disebutkan didalam pengantar
Ilmu Hukum, bahwa orang dan Bandan Hukum merupakan Subyek hukum. Maka Dalam praktik sehari-hari ada beberapa
kelompok terkait sehubungan dengan Ketenagakerjaan yang merupakan Subyek hukum
ketenaga kerjaan. Dimana mewakili Pekerja dan pengusaha dalam bentuk kelompok atau
badan hukum yang menjadi subyek-subyek hukum ketenaga kerjaan.
Kelompok-kelompok tersebut adalah Pekerja, Pengusaha, Organisasi Pekerja,
Organisasi Pengusaha dan Pemerintah.
b. Penyelesaian
Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia
a. Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim
Hakim
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
v.
di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak
vi.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan
vii.
di tingkat pertama mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja
viii.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali secara khusus diatur dalam
undang-undang ini.
1. Pengajuan gugatan
·
Gugatan perselisihan Hubungan Industrial
diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
daerah Hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
·
Pengajuan gugatan wajib dilampiri
risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
·
Kalau tidak lampiri dengan risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi berkas dikembalikan dikembalikan para
pihak
·
Gugatan dapat dicabut Penggugat sebelum
Tergugat memberi jawaban.
·
Dalam hal perselisihan Hak dan atau
perselisihan Kepentingan diikuti dengan perselisihan hubungan kerja, Pengadilan
Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perselisihan hak dan atau
perselisihan kepentingan
·
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi
pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya
·
Ketua Pengadilan Negeri : 7 (tujuh) hari
kerja menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim sebgai
ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim adhoc sebagai anggota Majelis yang
memeriksa dan memutus perselisihan
2. Pemeriksaan dengan acara biasa.
·
Majelis Hakim : 7 (tujuh) hari kerja
menetapkan sidang
·
Pemanggilan saksi atau saksi ahli.
·
Saksi atau saksi ahli wajib memberikan
kesaksian dibawah disumpah.
·
Hakim wajib merahasiakan semua
keterangan yang diminta.
·
Sidang terbuka untuk umum, kecuali
Majelis Hakim menetapkan lain.
·
Dalam hal salah satu pihak tidak
mengahdiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan Majelis Hakim
dapat menetapkan hari sidang berikutnya.
·
Hari sidang berikutnya
selambat-lambatnya 7 hari terhitung sejak tanggal penundaan.
·
Penundaan sidang karena ketidak hadiran
salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyak 2 kali penundaan
·
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya
yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap pengadilan pada
sidang penundaan terakhir gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi
·
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya
yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang mengahadap pengadilan pada
sidang Penundaan terakhir maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan
tanpa dihadiri tergugat.
·
Setiap orang yang hadir dalam
persidangan wajib menghormati persidangan.
·
Setiap orang yang tidak mentaati tata
tertib persidangan setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua
Majelis Hakim dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
3. Putusan Sela
·
Apabila dalam persidangan pertama secara
nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya membayar
upah dan hak hak yang biasa diterima pekerja, hakim ketua sidang harus segera
menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada Pengusaha untuk melaksanakan
keajibannya kepada pekerja/buruh.
·
Putusan Sela dapat dijatuhkan pada hari
persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua
·
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa
masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha hakim
ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan pengadilan
Hubungan Industrial.
·
Putusan sela dan Penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial tidak dapat diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan upaya
hukum
4. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
·
Apabila terdapat kepentingan para pihak
dan atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari
alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak atau salah satu
pihak dapat memohon kepada pengadilan hubungan Industrial supaya pemerikasaan
sengketa dipercepat
·
7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya
permohonan Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan
atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
·
Terhadap Penetapan pemerikasaan dengan
acara pemeriksaan cepat tidak dapat digunakan upaya hukum.
·
Dalam hal permohonan dengan acara
pemeriksaan cepat dikabulkan Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 hari
kerja setelah dikeluarkannya Penetapan menentukan Majelis Hakim, Hari, Tempat,
dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemerikasaan
·
Tenggang waktu untuk jawaban dan
pembuktian kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari
kerja.
5. Putusan mempertimbangkan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan
6. Majelis Hakim wajib menyelesaikan
selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
Putusan Hubungan Industrial
ditandatangani oleh Hakim, Hakim adhoc dan penitera pengganti.
Panitiera pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial selambatlambatnya 7 hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan,
harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir
dalam sidang.
Selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan
ditandatangani panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Panitera Pnegadilan Negeri dalam waktu
selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah
mengirimkan salinan kepada para pihak.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan hubungan
Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun
putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri mengenai perselihan hak dan perselisihan hubungan industrial
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari :
·
Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak
putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
·
Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung
sejak tanggal enerima pemberitahuan putusan.
·
Salah satu pihak atau para pihak yang
hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 14
hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi sudah
menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
c.
Penyelesaian Perselisihan oleh
Hakim Kasasi
Majelis
Hakim Kasasi terdiri atas 1 orang Hakim agung dan 2 orang Hakim adhoc pada
Mahkamah Agung. Majelis Hakim Kasasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan
Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung.
Penyelesaian perselisihan hak atau
perselisihan pemutusan hubungan kerja selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal permohonan kasasi.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Makalah
“Pengertian Hukum Perburuhan” oleh DR.
AGUSMIDAH, SH.M.HUM, Hal, 3
[1] Salinan UU. No.
13 Tahun 2003
[1]
http://sautlaw.wordpress.com/2012/10/06/pengertian-hubungan-industrial-h-ketenagakerjaan
[1]
http://zulfiandri.blog.esaunggul.ac.id/2012/05/19/pemutusan-hubungan-kerja-phk/
[1] Lalu Husni, “Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman
22.
[1] Danu Rudiono, “Kebijaksanaan
Perburuhan Pasca Bom Minyak”, Prisma, Tahun XXI, 1992, halaman 97.
[1] Ari Sunariati, “Hak
Asasi Buruh Menentukan Nasib Sendiri”, Prisma, No. 3 Tahun XI, 1992,
halaman 90.
[3]
Ibid ; hal 4
[4]
Salinan UU. No. 13 Tahun 2003
[5] http://sautlaw.wordpress.com/2012/10/06/pengertian-hubungan-industrial-h-ketenagakerjaan
[6] http://kamusbisnis.com/arti/pengadilan-hubungan-industrial/
[7] http://zulfiandri.blog.esaunggul.ac.id/2012/05/19/pemutusan-hubungan-kerja-phk/
[8] http://angelinasinaga.wordpress.com/tag/hukum-perburuhan-dan-tenaga-kerja
tanggal 2 juni 2013 jam 2 ;14
[9]
Darwan
Prints, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000, hal. 20.
[10]
Lalu
Husni, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, halaman 22.
[11]
Danu
Rudiono, “Kebijaksanaan Perburuhan Pasca Bom Minyak”, Prisma, Tahun XXI,
1992, halaman 97.
[12]
Ari
Sunariati, “Hak Asasi Buruh Menentukan Nasib Sendiri”, Prisma, No. 3
Tahun XI, 1992, halaman 90.
Posting Komentar