Oleh Pilo Poly
Ahmad Daryanto ke luar dari rumahnya. Setelan baju tentara yang ia pakai
terlihat gagah. Beda dengan puluhan tahun yang lalu sebelum menjadi
tentara. Wak Minah dan Apalah harus menjual beberapa petak sawah untuk
keperluan administrasi anak mereka. Bahkan orangtuanya terpaksa
menambahkan nama anak mereka dengan Daryanto. Karena dulu siapa yang mau
jadi tentara harus berbekal nama Anto, Yanto ataupun Susanto. Walau
sebenarnya Ahmad Daryanto telah memiliki nama lahir sebagai Ahmad
Subhan, namun karena keinginannya yang besar untuk jadi tentara,
terpaksalah orang tuanya membuat kenduri untuk pergantian nama tersebut.
Apa lagi dimasa-masa pahit itu nama dan latar belakang keluarga menjadi
prioritas.
“Usahlah jadi tentara. Jadi yang lain saja tak bisa?” suatu kali Wak
Minah mempertanyakan keinginan anak lelakinya itu. Mungkin karena takut
terjadi apa-apa terhadap anak sematawayangnya.
“Mak, jadi tentara itu hebat. Kita bisa membela Negara!” Ahmad Daryanto bersemangat menjawab pertanyaan Wak Minah.
“Biarlah dia menjadi dirinya, Mak. Tidak usah kau larang anakmu.”
Apalah, ayah Ahmad Daryanto mendukung niat baik anaknya sambil menepuk
pundak Ahmad Daryanto.
Waktu terus bergulir. Jaman pun telah berubah. Kini Ahmad Daryanto sudah
berpangkat Pelda. Keraguan Wak Minah terbayar dengan kegigihan Ahmad
Daryanto. Sebab, kini ia sudah bisa menaikkan haji Wak Minah dan Apalah,
walau dengan gaji tak seberapa itu.
“Bangga aku sama kau, Nak.” Giliran Wak Minah menepuk pundak Ahmad Daryanto.
Ia tersenyum bangga karena sudah bisa menyakinkan orangtuanya terhadap
tugas mulianya itu. Tak disangka, ada hal yang selama ini Ahmad Daryanto
sembunyikan. Jauh di lubuk terdalam hatinya, perih dan luka menyatu padu. Pikirannya
menerawang pada satu tempat yang terletak di antara dua gunung. Di
lembah yang berdarah itu. Ia mematung.
***
Suara air sungai yang mengalir ke barat sayup-sayup terdengar. Tak kalah
dengan suara langkah beberapa orang tentara. Mungkin juga lebih. Suara
yang timbul tenggelam itu beriringan dengan suara azan subuh yang merdu.
“Kalian bergerak ke arah barat, timur dan selatan. Selebihnya ikut
denganku!” Salah satu ketua regu memberikan aba-aba pada anak buahnya
sambil menutup peta yang sedari tadi dibolak-balik untuk mencari titik
operasi.
“Jangan gegabah!” desak lelaki tegap yang wajahnya di kamuflase itu.
“Dan ingat sandi..!” desaknya lagi.
Perlahan, beberapa orang tentara mulai bergerak teratur sesuai dengan
arahan. Suara-suara sepatu yang sedang menyeberangi jembatan, melangkah
di bukit-bukit dan bebatuan sungai, membuat Ummi memasang kuping di
belakang rumah setelah menyelesaikan sholat subuhnya.
“Usman …. Coba kemari sebentar, Nak.” Ummi tergopoh-gopoh berlari ke arah masjid kecil di samping rumahnya.
“Ada apa, Mi?” Usman keheranan melihat Ummi setengah bernafas.
“Sepertinya, di belakang rumah kita ada sesuatu. Ada suara-suara.” Ummi
menceritakan perihal suara aneh di belakang rumah mereka. Tanpa menunggu
lama, Usman masuk ke dalam rumah dan mengambil senter. Lalu mulai
mencari-cari suara itu. Tapi, lama ia berdiri di sana, tak ia dapatkan
keanehan seperti yang dijelaskan Ummi, emaknya.
Malam masih menyisakan dingin saat itu. Abu Banta keluar dari masjid
setelah menunaikan sholat subuh berjamaah. Biasanya Abu Banta dan Usman
tidak keluar dulu, karena setiap subuh sampai menjelang fajar, Abu Banta
masih memimpin dzikir sampai pagi terang.
“Ada apa, Mi?” Abu bertanya santun.
Saat itu, Usman dan Ummi saling bertatapan dengan wajah yang penuh tanda
tanya. Raut wajah Abu Banta juga terlihat beda. Seperti mengisyaratkan
sebuah pesan.
“Hati Ummi nggak enak, Abu,” kata Ummi. Usman masih terdiam. Hatinya bergetar hebat. Ia juga merasakan sesuatu.
“Oh … Ya sudah!” Abu Banta membalikkan badan, lalu masuk ke dalam masjid.
Sambil masuk ke dalam mesjid, Abu Banta mendengarkan bisikan batin,
bahwa ada beberapa tamu yang sedang menuju ke rumah mereka. Di
bukit-bukit, jembatan dan batu sungai.
***
Pagi telah sempurna. Tapi angin tidak ada. Pun kicauan burung belum
terdengar suaranya. Juga gemercik air sungai, menghilang dalam
kegelisahan. Dalam deretan sepatu PDL dan gagang senjata, di depan rumah
Abu Banta. Beberapa tentara lelah lagi menunggu jawaban.
“Ayo, di mana kalian sembunyikan ganja dan senjata itu?” tanya salah
satu tentara berwajah tirus, dan berjambang pada Usman. Di lehernya
terdapat salah satu anak kalung dari kuping manusia.
Abu Banta keluar dari masjid diikuti beberapa jamaah lain yang tak lain
tak bukan adalah muridnya. Suara gaduh di luar terdengar jelas ke dalam
mesjid.
“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” Ujung mata Abu Banta masih
mencari-cari sandal jepitnya. Ketika melihat ke arah suara, Abu Banta
mendapati beberapa tentara yang sedang menodongkan moncong senjata ke
arah anaknya.
“Kalian! Kemari semua! Baris, baris!” Salah satu tentara berkepala botak
dan berwajah beringas yang lain menarik tangan Abu Banta dengan kasar
dan menyuruhnya untuk berbaris ke arah timur masjid.
“Kami dengar di sini ada pengacau keamanan. Di mana mereka kalian
sembunyikan? Di mana?” tanya tentara botak itu. Suara kokangan senjata
membuat suasana makin mencekam. Akan tetapi, Abu Banta dengan senyum
yang mengembang tak sedikit pun memperlihatkan ketakutan dan kemarahan.
“Ini pesantren, Pak. Jadi tidak ada ganja atau pun senjata seperti yang
bapak bilang itu.” Abu Banta menjawab. Sebagaian santri terdiam. Kepala
mereka menunduk ke tanah.
“Kau. Ya, kau yang pakai peci putih itu!” tunjuk tentara lain lagi.
Seperti ingin menelan mentah-mentah orang yang baru ia tunjuk.
“Iya, Pak!” jawab orang tersebut. Mimik wajahnya pucat ketakutan.
Tentara itu melangkah maju ke arah lelaki yang terakhir diketahui
bernama Malem. Lalu tentara itu menunjuk-nunjuk ke arah atap masjid yang
terdapat salah satu antena radio biasa.
“Itu, kamu lihat? Antena apa?” Popor senjata menyambar wajah Malem
sebelum ia menjawab. Keadaan makin gaduh. Orang-orang desa yang
kebetulan lewat disunguhkan tontonan yang tidak manusiawi. Beberapa
santri terlihat sangat gelisah. Takut apa yang diceritakan Abu Banta
tadi malam akan benar-benar terjadi pagi ini.
Melihat Malem dihajar popor senjata, Usman bangkit dan maju, tidak
perduli dengan puluhan tentara lain di depannya. Ia berteriak lantang.
“Apa yang kau lakukan?” tanyanya. Sebelum berhasil memukul salah satu
tentara yang memukul Malem, peluru-peluru berterbangan menyapu
orang-orang yang ada di depan mereka. Darah mulai berhamburan. Empat
puluh dua orang meninggal di tempat dengan tangan saling berangkulan.
Masyarakat yang ada di depan pesantren semuanya tiarap.
***
“Besok, tidak boleh ada yang pulang. Kita ada tamu istimewa,” ucap Abu Banta dengan wajah kharismatiknya.
“Memang ada apa, Tengku?” tanya salah satu santri yang penasaran.
“Kita ada tamu dari Jakarta!” jawabnya sambil tersenyum.
Dan beberapa santri lain agak heran dengan apa yang baru saja mereka
dengar. Tamu istimewa dari Jakarta pula. Setahu santri-satri itu, tidak
ada kenalan Abu Banta yang berasal dari Jakarta. Kecuali beberapa orang
yang selalu menjahatinya. Seperti menuduhnya seorang pengacau keamanan.
Sehingga beliau pun sempat dijobloskan ke dalam penjara.
“Tapi mau apa mereka kemari, Tengku?” salah satu santri, yang
mempelajari ilmu beladiri itu bertanya heran. Di pesantren ini, memang
Abu Banta menerima semua golongan orang yang mau belajar ilmu agama. Mau
itu penjudi, pencuri, perampok, pemerkosa dan lain-lain. Hal itu
dilakukannya karena orang-orang tersebut tidak layak diterima oleh
masyarakat. Maka dari itu banyak orang-orang seperti mereka yang menjadi
santri di pesantrennya. Awal-awalnya mereka memang ingin memiliki ilmu
supaya lebih hebat. Bisa mengalahkan siapapun lawan mereka. Namun
sejalan kemudian, orang-orang ini tersadar bahwa yang dilakukan mereka
itu patut untuk diubah karena makin dalamnya ilmu agama yang mereka
pelajari, dan tulusnya seorang Abu Banta mengajarkan ilmu agama pada
mereka.
Atas nasihat Abu Banta yang punya kharisma tinggi itu, mereka pun
perlahan mulai berubah. Menjadi santri seutuhnya tanpa embel-embel lain.
Dan merekalah yang bahu-membahu membangun pesantren jauh lebih bagus
dari sebelumnya.
“Mereka ingin memastikan sesuatu.”
“Mungkin juga akan ada korban. Jika ada yang mau pulang, sekarang
saatnya.” Akhirnya, Abu Banta menjawab pertanyaan santrinya tadi.
***
“Kenapa kau murung?” sela Wak Minah sesaat sebelum meninggalkannya dan
masuk ke dalam rumah. Tapi Ahmad Daryanto bergeming, ia hanya
memperlihatkan senyuman tanda tidak terjadi apa-apa terhadapnya.
Dalam hati ia berjanji, nanti sepulang dari tugas negara, ia akan
mengunjungi makam Abu Banta, ia ingin terlepas dari beban psikologi
batinnya yang selama ini selalu diliputi rasa bersalah atas kesalahan
anggotanya.*
Sumber: puisipilopoly.blogspot.com
Posting Komentar