A.
Pengetian Hukum Acara Pidana
Menurut
Prof. Andi Hamzah Hukum acara pidana merupakan peraturan yang melaksanakan
hukum pidana. Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berdasar pada
peraturan yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
yang berlaku sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
KUHAP. Dengan terciptanya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maka pertama
kali di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam artian
meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi
di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herziening) (Andi
Hamzah, 2002:3).
Yahya
Harahap berpendapat bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berisi
ketentuan mengenai proses penyelesaian perkara pidana sekaligus menjamin hak
asasi tersangka atau terdakwa. Hal ini terdapat pada penjelasan bahwa KUHAP
sebagai hukum acara pidana yang berisi ketentuan
tata
tertib proses penyelesaian penanganan kasus tindak pidana, sekaligus telah
memberi “legalisasi hak asasi” kepada tersangka atau terdakwa untuk membela
kepentingannya di depan pemeriksaan aparat penegak hukum. Pengakuan hukum yang
tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka
dari
tindakan sewenang-wenang. KUHAP telah mencoba menggariskan tata tertib hukum
yang antara lain akan melepaskan tersangka atau terdakwa maupun keluarganya
dari kesengsaraan putus asa di belantara penegakan hukum yang tak bertepi,
karena sesuai dengan jiwa dan semangat yang diamanatkannya, tersangka atau
terdakwa harus diperlakukan berdasar nilainilai yang manusiawi (M. Yahya
Harahap, 2002:4).
Menurut
Lilik Mulyadi[1],
pada asasnya pengertian hukum acara pidana itu merupakan :
1. Peraturan
hukum yang mengatur, menyelenggarakan, dan mempertahankan Eksistensi Ketentuan
Hukum Pidana Materiil (Materieel Strafrecht) guna mencari, menemukan,
dan mendapatkan kebenaran materiil atau yang sesungguhnya ;
2. Peraturan
hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan putusan oleh Hakim ;
3. Peraturan
hukum yang mengatur tahap pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil.
Menurut Barda Nawawi Arief[2]
memberikan pendapat Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada
hakekatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum
pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan / kewenangan menegakkan hukum.
Kekuasaan / kewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikkan dengan istilah
kekuasaan kehakiman. Karena SPP pada hakekatnya juga diidentikkan dengan sistem
kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan / diwujudkan dalam
empat sub sistem yaitu :
1. Kekuasaan
penyidikan oleh lembaga penyidik.
2. Kekuasaan
penuntutan oleh lembaga penuntut umum.
3. Kekuasaan
mengadili / menjatuhkan putusan oleh badan peradilan dan,
4. Kekuasaan
pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.
a.
Pengertian
Tersangka.
Tersangka
adalah, seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai tindak pidana, Terdakwa adalah, seorang
tersangka yang dituntut , diperiksa dan diadili disidang pengadilan.[3]
Tersangka
dalam pandangan Hukum Acara Pidana wajib ditempatkan pada posisi yang tidak
bersalah. Memang dalam Kehidupan masyarakat luas, banyak yang beranggapan bahwa
seorang tersangka sudah pasti bersalah. Anggapan ini sangat bertentangan dengan
pandangan Hukum Acara Pidana yang menempatkan seorang tersangka pada posisi
orang yang dicugai telah melakukan kesalahan yang memiliki hak.
B. Tujuan Hukum Acara Pidana
“Tujuan
dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak - tidaknya
mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap - lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara
jujur
dan
tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipesalahkan”.[4]
“Bahwa
pembangunan hukum nasional yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana
adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan
pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang
masing-masing, ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan
Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila”.
Pada
dasarnya tujuan dari hukum acara pidana telah dirumuskan dalam Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, yang bunyinya adalah
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Tujuan hukum
acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan
akhirnya ialah mencari suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan dan
kesejahteraan dalam masyarakat (Andi Hamzah, 2002:9).
Dari
bunyi konsideran huruf c KUHAP tersebut, maka dapat dapat dirumuskan beberapa
landasan tujuan KUHAP, yaitu :
a. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat, yang lebih dititikberatkan kepada peningkatan
penghayatan akan hak dan kewajiban hukum;
b. Meningkatkan
sikap mental aparat penegak hukum;
c. Tegaknya
hukum dan keadilan.
d. Melindungi
harkat dan matabat manusia.
e. Menegakkan
ketertiban dan kepastian hukum, arti dan tujuan kehidupan masyarakat adalah
mencari dan mewujudkan ketenteraman dan ketertiban (M. Yahya Harahap, 2002:58-
[1]
Lilik Mulyadi, Hukum
Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan
Putusan Peradilan), Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 4 –
6.
[2]
Barda Nawawi
Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, BP
Universitas Diponegoro Semarang, 2007, hal. 19, 20, 26
[4]
Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Departemen
Kehakiman Republik Indonesia, Cetakan Ketiga, 1982, hal. 1
Posting Komentar