BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Penyalah
gunaan Narkotika dinegara kita merupakan suatu Tindak Pidana. Pecandu atau
pengguna narkotika mungkin sudah sering kita dengar sama-sama. Dimana pecandu
atau pengguna narkotika sering tidak sadarkan diri akibat mengkonsumsi atau
menggunakan berbagai macam obat-obat yang memabukkan. Ketidak sadaran pengguna
narkotika pengaruh obat-obatan sering sekali mengganggu kenyamanan masyarakat
dan kadang melakukan perbuatan pidana dalam pengaruh obat-obatan.
Penggunaan
Narkotika dan Penyalah gunaannya sudah lama dikenal oleh masyarakat. Seiring
dengan perkmbangan teknologi, Narkotika diguna sebagai alat pengobatan didunia
medis. Namun sisi negatifnya Narkotika sering disalah gunakan oleh sebahagian
kalangan. Kalangan Pecandu Narkotika sering menggunakan Narkotika sebagai alat
untuk memabukkan. Sehingga penggunanya sekarang hampir 1,5 % penduduk
Indonesia. Hal ini merupakan perkembangan penyimpangan sosial, dimana
sebelumnya masyarakat bermabuk-mabukan hanya dengan Minuman-keras.
Sebagaimana disebutkan oleh F. Breaunlich
dalam bukunya “pengaruh Alkoholisme
terhadap kejahatan, biarpun sudah berkurang dari dulu, sekarang masih juga
tetap besar dan banyak jenis-jenisnya.[1]
Hal ini dapat kita lihat seiring dengan perkembangan zaman jenis-jenis
Narkotika yang digunakan oleh para Pecandu semakin banyak.
Hal
ini memebrikan gambaran kepada kita, bahwa orang dalam pengaruh obat-obetan dan
alkohol sangat rentan melakukan perbuatan pidana. Setidaknya dapat mengganggu
ketertiban masyarakat. Penyebab
terjadinya kejahatan berdasarkan kongres PBB ke-8 di Havana Cuba.
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan
(kebodohan) ketiadaan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem
pendidikan serta sistem latihan yang tidak sesuai.
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang
tidak mempunyai prospek dan harapan, hal ini dikarenakan proses integrasi
sosial dan semakin memburuknya ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat.
c. Mengendurnya ikatan sosial dan
keluarga
d. Hancurnya identitas budaya asli yang
bersamaan dengan rasisme dan diskriminasi yang menyebabkan kerugian dan
kelemahan di bidang sosial, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
e. Kesulitan bagi individu dalam
masyarakat modern untuk berintegrasi sebagai mana mestinya dalam lingkungan
masyarakat (apatisme) baik dilingkungan masyarakat, pekerjaan, sekolah, bahkan
dalam lingkungan keluarga.
f. Penyalahgunaan alkohol, obat bius, yang
pemakaianya juga di sebabkan karena 4 faktor yang si sebutkan di atas.[2]
Beberapa
faktor diatas salaing mendukung untuk masuknya seseorang terhadap tindak pidana
penyalah gunaan Alkohol dan Obat bius. Biar pun pendapat dulu bahwa penyalah
gunaan minuman-keras mempunyai akibat tidak baik terhadap keturunan karena
merusak benih manusia, sekarang tidak diterima lagi oleh umum, tapi pembahasan
persoalan ini pastilah belum selesai. Mengenai pengaruh langsung dari
Alkoholisme terhadap kejahatan dibedakan antara yang kronis dan yang akut,
bentuk-bentuk, yang tentu saja beralih dari yang satu ke yang lain dan
memproleh penghargaan subyektif yang dapat sangat berbeda tergantung dari
kebiasaan minum minuman keras dalam daerah yang bersangkutan. [3]
Faktor
ini harus betul-betul diperhatikan dalam penyelidikan bahan-bahan Statistik
Kriminal mengenai hal ini, yang memang akhirnya bergantung dari pada polisi
yang membuat Berita Acara. Jadi lebih dari pada dalam hal lain, disinilah berlaku,
bahwa angka statistic hany mempunyai arti yang relatif.[4]
Makin
lama makin diinsyafi bahwa masalah alkoholisme dan Penyalahgunaan narkotika
pada waktu sekarang terutama merupakan masalah Psychopathologi dan baru secundair
merupakan masalah sosial. Dalam cara bekerjanya Biro konsultasi yang besar
untuk alkoholisme dan drug, unsur Psychiatris makin mendapat perhatian.[5]
2.
PERSOALAN HUKUM YANG DIHADAPI
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika dan dinyatakan berlaku sejak diundangkanya
undang-undang ini merupakan angin segar bagi pecandu dan penyalahgunaan
narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi soasial sesuai
dengan ketentuan pasal 54 yang menyatakan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban
penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial”.
Yang dimaksud dengan pecandu dalam
undang-undang ini adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 13 “Pecandu
Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis”.
Tetapi dalam pasal 1 angka 15 kemudian
menyebutkan bahwa penyalahguna narkotika adalah “orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak dan melawan hukum” sehingga dalam ketentuan pasal 127 ayat
(1) kemudia di katakana bahwa:
Setiap Penyalah Guna:
a)
Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun;
b)
Narkotika
Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun; dan
c)
Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
Sehingga jelaslah bahwa penyalahgunaan narkoba
merupakan suatu perbuatan pidana yang harus mendapatkan sanksi berupa pidana.
Kerancuan mengenai kedudukan
pecandu narkotika
menderong Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran SEMA Nomor 4 Tahun 2010
mengenai kriteria seorang penyalahguna narkotika dapat diproses pidana yaitu
sebagai berikut :
1)
Bahwa
dengan diterbitkanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
Tanggal 12 Oktober Tentang Narkotika, maka dianggap perlu untuk mengadakan
revisi terhadap surat edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tanggal 17
Maret tentang Menempatkan Pemakai Narkotika Kedalam Panti Terapi dan
Rehabilitasi.
2)
Bahwa
penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud pada pasal 103 huruf a dan b
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya
dapat di jatuhkan dengan klasifikasi pidana sebagi berikut :
a)
Terdakwa
pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi
tertangkap tangan;
b)
Pada
saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barangbukti pemakaiaan 1
(satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1)
Kelompok
metaphetamine (shabu) : 1 gram
2)
Kelompok
MDMA (ekstasi) : 2,8
gram = 8 butir
3)
Kelompok
heroin :
1,8 gram
4)
Kelompok
kokain :
1,8 gram
5)
Kelompok
ganja :
5 gram
6)
Daun
koka :
5 gram
7)
Meskalin :
5 gram
8)
Kelompok
psilosibyn :
3 gram
9)
Kelompok
LSD (d-lysergic acid diethilamyde) : 2
gram
10) Kelompok PCP (phencyclidie) : 3 gram
11) Kelompok fetanil : 1 gram
12) Kelompok metadon : 0,5 gram
13) Kelompok morfin : 1,8 gram
14) Kelompok petidin : 0,96 gram
15) Kelompok kodein : 72 gram
16) Kelompok bufrenorfin : 32 gram
c)
Surat
uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik
d)
Perlu
surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim
e)
Tidak dapat terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika
3)
Dalam
hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum
berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, majelis hakim harus menunjuk secara
tegas dan jelas tempat rehabilitasi terdekat dalam amar putusanya.
4)
Untuk
menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan dari terdakwa, sehingga wajib
diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan
rehabilitasi
Dengan adanya SEMA tersebut, maka memberikan
suatu batasan pemahaman kepada hakim dalam memutus suatu persoalan hukum
terhadap pengguna narkoti. Perseoalan yang hadir kemudian adalah bagaimana
dengan penyidik dan penuntut terhadap implikasi hukum kepada individu yang
dikategorikan pengguna atau pecandu narkotika yang tertangkap tangan memiliki
narkotika dengan batasan yang sesuai dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tersebut,
apakah penyidik dan atau jaksa penuntut umum tidak bisa menuntut dengan tindak
pidana dengan kategori dakwaan tunggul atas kepemilikan dan penguasaan barang
berupa narkotika tersebut.
Namun kemudian dalam
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika juga memuat ketentaun bahwa setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).[6]
Sehingga meskipun seseorang
dikategorikan sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika harus menghadapi
ancaman pidana yang lebih berat (Pasal 112), karena memiliki, menyimpan dan
menguasai narkotika untuk digunakan sendiri. Sehingga secara tidak langsung
menggugurkan adagium mengenai korban penyalahgunaan narkotika itu sendiri.
Sebab tidak akan mungkin seseorang menggunakan dan kecanduan akan narkotika
tanpa membeli dan memiliki narkotika secara melawan hukum.
Pernyataan ini kemudian
menghilangkan adagium “setiap pengguna dan korban penyalahgunaan narkotika…”,[7]
karena tidak akan mungkin seseorang menggunakan narkotika tanpa membeli,
menyimpan, dan mengguasai narkotika, untuk di digunakan sendiri.
Sementara itu, terkait dengan
pecandu narkotika dibawah umur, dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) yakni “orang
tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur[8]
wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi social”[9]
Hal tersebut diatas merupakan salah satu dari
permasalahan hukum terhadap pengguna dan pecandu narkotika sebagai mana yang
dimaksud dalam undang undang narkotika tersebut.
Olehnya itu, untuk menjawab persoalan tersebut
maka perlu kiranya diadakan pembaharuan hukum pidana narkotika tersebut dan
hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian pengaturan kembali mengenai pengguna dan atau pecandu
narkotika tersebut
dimasa mendatang adalah sebagai berikut:
I.
Rehabilitasi
medis Terhadap penyalahgunaan
dan pecandu narkotika harus didahulukun.
Dengan memandang bahwa penggunaan narkotika
yang mengalami kecanduan terhadap narkotika tersebut sebagai penyakit yang
harus di sembuhkan agar tidak mengalami gejala-gejala fisik dan psikis selama proses pemeriksaan olehnya itu
rehabilitasi harus di berikan seiring dengan berlangsungnya proses pemeriksaan.
II.
Adanya
pembaharuan hukum terhadap tumpang tindihnya peraturan yang mengatur tentang
pasal pemidanaan bagi penyalahguna dan atau pecandu narkotika.
Hal ini menjadi penting karena dalam undang-undang ini dikatakan bahwa penyalahgunaan
narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum
sedangkan pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.
Olehnya itu dalam perumusan delik terhadap
penyalahguna dan atau pecandu narkotika harus diatur tersendiri dan dipisahkan denga delik pemidanaan seperti
yang di sebutkan diatas sehingga terhadap penyalahguna dan pecandu narktika
harus didakwa dengan dakwaan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 127 saja.
III.
Kesadaran terhadap penyidik dan penuntut umum dalam bentuk aturan yang
mengikat bahwa penyalahgunaan dan pecandu narkotika bukan merupakan tindak
pidana tetapi lebih kepada korban yang harus direhabilitasi medis dan sosial.
Dalam hal penanggulangan tindak pidana
narkotika seharusnya penyidik menitik beratkan perhatianya kepada peredaran
gelap dan prekursor narkotia sehingga pengaplikasian delik pidan seperti yang
termuat dalam ketentuan pidana undang-undang narkotika hanya diperuntukan bagi
peredaran dan prekursor narkotika tersebut. Olehnya itu, pengguna dan atau pecandu narkotika harus dipandang sebagai korban dan
bukan pelaku kejahatan yang harus dibatasi dan dirampas hak-hak kemerdekaanya.
BAB II
3.
SEJARAH SINGKAT NARKOKOBA DI
INDONEISA
Di Indonesia
Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Selain
"narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik
"narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya
mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya.
Menurut pakar
kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk
membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.
Penggunaan
obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya
Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai
candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina.
Pemerintah
Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan
pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang.
Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional,
yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai
tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang
menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane
Ordinance).
Ganja
(Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah
sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari.
Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu
itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan
akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang
(Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State
Gazette No.278 Juncto 536).
Meskipun
demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai
efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan
tersebut.
Setelah
kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang
menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya
(Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan
untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).
Baru pada
waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah
besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai
puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika
Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar
korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di
Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.
Menyadari hal
tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk
badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah
badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan
terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan
uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan
pengawasan terhadap orang-orang asing.
Kemajuan
teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang
narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah
kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika.
Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang
peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan
rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran
dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.
Dengan
semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti
Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997,
menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut
mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika,
dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.
Dan jauh sebelum
Indonesia mengenal narkoba, sekitar tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga
opion atau kemudian dikenal opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini
tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas
permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan
wilayah-wilayah Asia lainnya, cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur
dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri).
Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi cina telah menjadi masalah
nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana akhirnya cina
ditaklukan Inggris dengan harus merelakan Hong Kong.
Tahun 1806
seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim sertuner menemukan
modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian dikenal sebagai Morphin
(diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Tahun 1856 waktu
pecah perang saudara di A.S. Morphin ini sangat populer dipergunakan untuk
penghilang rasa sakit luka-luka perang sebahagian tahanan-tahanan tersebut
"ketagihan" disebut sebagai "penyakit tentara". Tahun 1874
seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan morphin
dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur) campuran ini
membawa efek ketika diuji coba kepada anjing yaitu: anjing tersebut tiarap,
ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah.
Namun tahun
1898 pabrik obat "Bayer" memproduksi obat tersebut dengan nama
Heroin, sebagai obat resmi penghilang sakit (pain killer). Tahun 60-an - 70-an
pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah "Golden Triangle"
yaitu Myanmar, Thailand dan Laos, dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun.
Pada daerah "Golden Crescent" yaitu Pakistan, Iran dan Afganistan
dari Golden Crescent menuju Afrika dan Amerika.
Selain
morphin dan heroin adalagi jenis lain yaitu kokain (ery throxylor coca) berasal
dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Biasanya digunakan untuk
penyembuhan Asma dan TBC. Pada akhir tahun 70-an ketika tingkat tekanan hidup
manusia semakin meningkat serta tekhnologi mendukung maka diberilah
campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat juga dalam bentuk obat dan
pil.[10]
4.
PENGGUNAAN NARKOTIKA DAN
FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA
Menurut Sudarto, yang dimaksud
dengan penguna narkotika adalah penggunaan secara tidak benar, dan untuk
kenikmatan sesaat yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan yang normal, hinggga
akhirnya mengalami ketergantungan pada narkotik.
Penyalah Guna adalah orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. (pasal 1 anka 15)
Pecandu
Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan
pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. (pasal 1 anka 13).
Faktor-faktor penyebabnya diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor gaya hidup (life stile)
a. Penguna narkotika sangat identik
dengan gaya hidup mewah, jika di tinjau dari segi harga narkotika itu sendiri
b. tampil menonjol dari orang-orang
di sekitarnya dan dianggap mapan dari sisi ekonomi, terkait dengan kemampuanya
untuk membeli dan mendapatkan narkotika
c. Sebagian besar kasus pengunaan
narkotika untuk kepentingan sesaat dapat di temukan pada mereka yang mempunyai
kehidupan ekonomi yang realatif mampu.
2. Faktor lingkungan dan pergaulan
merupakan salah satu penyumbang angka terbesar dalam kelompok pengguna dan atau
pecandu narkotika.
a. Lingkungan keluarga, diantaranya di
sebabkan oleh komunikasi yang tidak baik antara sesama anggota keluarga yang
terlalu sibuk dengan urusan masing-masing yang seolah acuh terhadap sikap dan
perasaan anggota keluarga yang lainya
b. Lingkungan sekolah, juga dapat
mengakibatkan seseorang menggunakan narkotika, yang salah satu pemicunya
adalah adanya seorang yang merupakan pengguna narkotika yang bersekolah di
tempat yang sama sehingga dengan gampang dia mengajak teman lainya untuk
ikut menggunakan narkotika, apalagi di sekolah tersebut tidak ada media yang
memadai untuk mengembangkan diri dalam berkreasi yang sifatnya positif.
c. Lingkungan sosial kemasyarakatan
secara langsung juga dapat menyebabkan seseorang untuk menyalahgunakan
narkotika, khusunya ketika keadaan sosial, ekonomi dan politik tidak
berada pada posisi yang baik atau kurang mendukung terciptanya pola kehidupan
social yang baik dan teratur.
3. Faktor yuridis
a. Ringanya sanksi pidana yang tidak
menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan narkotika sebagai mana yang di
sebutkan dalam ketentuan pidana pasal 111 sampai dengan pasal 127 undang-undang
narkotika nomor 35 tahun 2009 di tambah lagi dengan kegagalan dari
aparatur Negara dalam hal ini aparat penegak hukum dalam memberantas perdaran
gelap narkokotika dan prekursor narkotika.
b. Status hukum bagi pecandu narkotika
sampai saat ini masih menjadi perdebatan khusunya dalam hal pemberiaan
rehabilitasi baik secara medis maupun secara sosial, ataupun pemberian sanksi
pidana kepada penyalahguna narkotika karena dianggap merupakan perbuatan pidana
5.
DAMPAK
NARKOBA TERHADAP FISIK, PSIKOLOGI DAN LINGKUNGAN SOSIAL
Bila narkoba digunakan secara terus
menerus atau melebihi takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan
ketergantungan. Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan
psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP) dan
organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal.
Dampak
penyalahgunaan narkoba
pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian
pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan
narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang.
1) Dampak penyalahgunaan narkoba
terhadap fisik
a. Gangguan pada system syaraf
(neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan
syaraf tepi
b. Gangguan pada jantung dan
pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung,
gangguan peredaran darah
c. Gangguan pada kulit (dermatologis)
seperti: penanahan (abses), alergi, eksim
d. Gangguan pada paru-paru (pulmoner)
seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan
paru-paru
e. Sering sakit kepala, mual-mual
dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit
tidur
f. Dampak penyalahgunaan narkoba
terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan
fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan
fungsi seksual
g. Dampak penyalahgunaan narkoba
terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan
periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid)
h. Bagi pengguna narkoba melalui jarum
suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya
adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini
belum ada obatnya
i.
Penyalahgunaan
narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba
melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan
kematian
2) Dampak penyalahgunaan narkoba
terhadap psikis
a) Lamban kerja, ceroboh kerja, sering
tegang dan gelisah
b) Hilang kepercayaan diri, apatis,
pengkhayal, penuh curiga
c) Agitatif, menjadi ganas dan tingkah
laku yang brutal
d) Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal
dan tertekan
e) Cenderung menyakiti diri, perasaan
tidak aman, bahkan bunuh diri
3) Dampak penyalahgunaan narkoba
terhadap lingkungan sosial
a) Gangguan mental, anti-sosial dan
asusila, dikucilkan oleh lingkungan
b) Merepotkan dan menjadi beban
keluarga
Dampak fisik, psikis dan sosial
berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan mengakibatkan rasa sakit yang luar
biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada
waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan sangat kuat untuk mengkonsumsi (bahasa
gaulnya sugest). Gejata fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan gejala
sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah,
manipulatif, dll.[11]
6.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Tindak
pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika memberikan sanksi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan
hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya tindak
pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,
terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Pada
umumnya secara keseluruhan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan
tindak pidana narkotika dapat dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang bersal dari dalam diri sendiri, sedangkan
faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri pelaku. Berdasarkan
hasil wawancara dengan salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar: Jan
Manoppo (wawancara, 18 Oktober 2011), bahwa faktor- faktor yang menyebabkan
seseorang terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah bersifat kasuistis, yaitu
antara satu kasus dengan kasus lainnya berbeda karena perbedaaan latar belakang
si pelaku.
Namun dari kebanyakan kasus yang pernah
ditangani dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar menunjukkan bahwa
sebagian besar pelaku terlibat sebagai pelaku tindak pidana narkotika adalah
karena ingin coba-coba. Berdasarkan hasil penelitian kepada narapidana narkotika
di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa, menunjukkan bahwa terjadinya
tindak pidana narkotika dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama aspek individu,
sosial bidaya, maupun ekonomi.[12]
1. Faktor Internal
Faktor
internal sebagai faktor yang berasal dari dalam diri si pelaku berupa faktor
individu yang terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk
dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian ingin tahu, mudah kecewa, sifat
tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan /depresi
adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri
ke dalam penggunaan narkotika.
2. Faktor Eksternal
Faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri responden yang dalam
penelitian ini dibagi atas faktor sosial budaya dan faktor ekonomi. Sesuai
dengan pendapat A. Lacassagne bahwa sebab musabab terjadinya kejahatan yang
paling utama ialah lingkungan sosial. Lingkungan soaial yang buruk merupakan
persemaian yang subur timbulnya suatu kejahatan.
Faktor
sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga da pengaruh teman. Kondisi
keluarga dalam hal ini merupakan kondisi yang disharmonis, seperti orang tua yang
bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga
yang serba berlebihan maupun serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh
teman, misalnya karena berteman dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika
dan ingin diterima dalam suatu kelompok.
Faktor
lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya
karena adanya perkumpulan anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika, tindakan
yang tidak jelas dari sekolah apabila ada anak yang terlibat dalam tindak
pidana narkotika, sehingga dapat mempengaruhi anak yang lain serta lingkungan
tempat tinggal anak yang tidak memberikan perilaku yang baik.
BAB
III
7.
KESIMPULAN
Penyalah
gunaan Narkotika disamping dapat merusak organ tubuh kita secara fisik juga
dapat merusak syaraf-syaraf kita yang kemudian merusak psikologi dan mental
kita. Kemudian dilingkungan sosial dalam pergaulan masyarakat kita diasingkan
atau dijauhi oleh teman-teman.
Perlu
bagi kita memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kita untuk
terlibat dalam pernyalah gunaan Narkotika. Kemudian sanksi hukum yang berat
juga menanti kita apabila kita kedapatan menyalah gunakan Narkotika. Tidak ada
fungsi dan manfaatnya jika kita menyalah gunakan Narkotika kecuali hanya sesaat
saja.
8. PENUTUP
Demikianlah
isi makalah kami kurang dan lebihnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Saran dan kritik yang membengun dari
teman-teman sangat kami sebagai bahan evaluasi bagi kami untuk penikatan
kwalitas penulisan kami dalam tugas-tugas makalah selanjutnya. Atas perhatian,
saran dan kritik teman-teman kami ucapkan terimaksi.
DAFTAR
PUSTAKA
1. F. Breaunlich “kinder Ohne Bett ; So schlafen
Grosztadtkinder”; 1936,
2. Prof.Mr. W.A. BONGER ;
“Pengantar tentang Krimonologi”; 1981. Hal. 110
3. B.V.A. Roling, “Alcohol en
criminaliteit”; 1936
4. RAHMI DWI ASTUTI, all and,
“Tinjauan Krimonologi Terhadap pelaku Tindak Kejahatan Menurut UU No. 35 Tahun
2009.hal-13
8. Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009, Op. Cit. Pasal 112 ayat (1).
9. Lihat ketentuan peraturan
pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2011).
[1] F.
Breaunlich “kinder Ohne Bett ; So
schlafen Grosztadtkinder”; 1936,
[2] http://ajhieb.blogspot.com/2012/05/kejahatan-narkotika-dan-upaya.html
[3]
Prof.Mr. W.A. BONGER ; “Pengantar tentang Krimonologi”; 1981. Hal. 110
[4]
B.V.A. Roling, “Alcohol en criminaliteit”; 1936
[5]
Prof.Mr. W.A. BONGER ; “Pengantar tentang Krimonologi”; 1981. Hal. 111
[6]
]Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, Op. Cit. Pasal 112 ayat (1).
[7] Ibid, Op.Cit. Pasal 54
[8]
Belum cukup umur yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah sesorang yang
belum mencapai umur 18 tahun.
[9]
Lihat ketentuan peraturan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika (Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011).
[10] http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2011/10/31/189/sejarah-singkat-narkoba
[11] http://belajarpsikologi.com/dampak-penyalahgunaan-narkoba/
[12]
RAHMI DWI ASTUTI, all and, “Tinjauan Krimonologi Terhadap pelaku Tindak
Kejahatan Menurut UU No. 35 Tahun 2009.hal-13

Posting Komentar