Headlines News :
Home » » MAKALAH TINJAUAN YURIDIS DAN KRIMONOLOGI TERHDAP PENGGUNA NARKOBA

MAKALAH TINJAUAN YURIDIS DAN KRIMONOLOGI TERHDAP PENGGUNA NARKOBA

Written By Unknown on Jumat, 13 Juni 2014 | 12.26



BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Penyalah gunaan Narkotika dinegara kita merupakan suatu Tindak Pidana. Pecandu atau pengguna narkotika mungkin sudah sering kita dengar sama-sama. Dimana pecandu atau pengguna narkotika sering tidak sadarkan diri akibat mengkonsumsi atau menggunakan berbagai macam obat-obat yang memabukkan. Ketidak sadaran pengguna narkotika pengaruh obat-obatan sering sekali mengganggu kenyamanan masyarakat dan kadang melakukan perbuatan pidana dalam pengaruh obat-obatan.
Penggunaan Narkotika dan Penyalah gunaannya sudah lama dikenal oleh masyarakat. Seiring dengan perkmbangan teknologi, Narkotika diguna sebagai alat pengobatan didunia medis. Namun sisi negatifnya Narkotika sering disalah gunakan oleh sebahagian kalangan. Kalangan Pecandu Narkotika sering menggunakan Narkotika sebagai alat untuk memabukkan. Sehingga penggunanya sekarang hampir 1,5 % penduduk Indonesia. Hal ini merupakan perkembangan penyimpangan sosial, dimana sebelumnya masyarakat bermabuk-mabukan hanya dengan Minuman-keras.
 Sebagaimana disebutkan oleh F. Breaunlich dalam bukunya  “pengaruh Alkoholisme terhadap kejahatan, biarpun sudah berkurang dari dulu, sekarang masih juga tetap besar dan banyak jenis-jenisnya.[1] Hal ini dapat kita lihat seiring dengan perkembangan zaman jenis-jenis Narkotika yang digunakan oleh para Pecandu semakin banyak.
Hal ini memebrikan gambaran kepada kita, bahwa orang dalam pengaruh obat-obetan dan alkohol sangat rentan melakukan perbuatan pidana. Setidaknya dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Penyebab terjadinya kejahatan berdasarkan kongres PBB ke-8 di Havana Cuba.
a.       Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan) ketiadaan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta sistem latihan yang tidak sesuai.
b.      Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek dan harapan, hal ini dikarenakan proses integrasi sosial dan semakin memburuknya ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat.
c.       Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga
d.      Hancurnya identitas budaya asli yang bersamaan dengan rasisme dan diskriminasi yang menyebabkan kerugian dan kelemahan di bidang sosial, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
e.       Kesulitan bagi individu dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagai mana mestinya dalam lingkungan masyarakat (apatisme) baik dilingkungan masyarakat, pekerjaan, sekolah, bahkan dalam lingkungan keluarga.
f.        Penyalahgunaan alkohol, obat bius, yang pemakaianya juga di sebabkan karena 4 faktor yang si sebutkan di atas.[2]
Beberapa faktor diatas salaing mendukung untuk masuknya seseorang terhadap tindak pidana penyalah gunaan Alkohol dan Obat bius. Biar pun pendapat dulu bahwa penyalah gunaan minuman-keras mempunyai akibat tidak baik terhadap keturunan karena merusak benih manusia, sekarang tidak diterima lagi oleh umum, tapi pembahasan persoalan ini pastilah belum selesai. Mengenai pengaruh langsung dari Alkoholisme terhadap kejahatan dibedakan antara yang kronis dan yang akut, bentuk-bentuk, yang tentu saja beralih dari yang satu ke yang lain dan memproleh penghargaan subyektif yang dapat sangat berbeda tergantung dari kebiasaan minum minuman keras dalam daerah yang bersangkutan. [3]  
Faktor ini harus betul-betul diperhatikan dalam penyelidikan bahan-bahan Statistik Kriminal mengenai hal ini, yang memang akhirnya bergantung dari pada polisi yang membuat Berita Acara. Jadi lebih dari pada dalam hal lain, disinilah berlaku, bahwa angka statistic hany mempunyai arti yang relatif.[4]
Makin lama makin diinsyafi bahwa masalah alkoholisme dan Penyalahgunaan narkotika pada waktu sekarang terutama merupakan masalah Psychopathologi dan baru secundair merupakan masalah sosial. Dalam cara bekerjanya Biro konsultasi yang besar untuk alkoholisme dan drug, unsur Psychiatris makin mendapat perhatian.[5]
2.      PERSOALAN HUKUM YANG DIHADAPI PENYALAHGUNAAN NARKOBA
Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan dinyatakan berlaku sejak diundangkanya undang-undang ini merupakan angin segar bagi pecandu dan penyalahgunaan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi soasial sesuai dengan ketentuan pasal 54 yang menyatakan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
Yang dimaksud dengan pecandu dalam undang-undang ini adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 13 “Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis”. Tetapi dalam  pasal 1 angka 15 kemudian menyebutkan bahwa penyalahguna narkotika adalah “orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum” sehingga dalam ketentuan pasal 127 ayat (1) kemudia di katakana bahwa:
Setiap Penyalah Guna:
a)      Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b)     Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c)      Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Sehingga jelaslah bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan suatu perbuatan pidana yang harus mendapatkan sanksi berupa pidana. Kerancuan mengenai kedudukan pecandu narkotika menderong Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran SEMA Nomor 4 Tahun 2010 mengenai kriteria seorang penyalahguna narkotika dapat diproses pidana yaitu sebagai berikut :
1)      Bahwa dengan diterbitkanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tanggal 12 Oktober Tentang Narkotika, maka dianggap perlu untuk mengadakan revisi terhadap surat edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tanggal 17 Maret tentang Menempatkan Pemakai Narkotika Kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
2)      Bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud pada pasal 103 huruf a dan b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat di jatuhkan dengan klasifikasi pidana sebagi berikut :
a)      Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;
b)     Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barangbukti pemakaiaan 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1)      Kelompok metaphetamine (shabu)            : 1 gram
2)      Kelompok MDMA (ekstasi)                      : 2,8 gram = 8 butir
3)      Kelompok heroin                                       : 1,8 gram
4)      Kelompok kokain                                      : 1,8 gram
5)      Kelompok ganja                                         : 5 gram
6)      Daun koka                                                 : 5 gram
7)      Meskalin                                                    : 5 gram
8)      Kelompok psilosibyn                                 : 3 gram
9)      Kelompok LSD (d-lysergic acid diethilamyde)    : 2 gram
10)  Kelompok PCP (phencyclidie)                  : 3 gram
11)  Kelompok fetanil                                       : 1 gram
12)  Kelompok metadon                                   : 0,5 gram
13)  Kelompok morfin                                      : 1,8 gram
14)  Kelompok petidin                                      : 0,96 gram
15)  Kelompok kodein                                      : 72 gram
16)  Kelompok bufrenorfin                               : 32 gram
c)      Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik
d)     Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim
e)       Tidak dapat terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika
3)        Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, majelis hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi terdekat dalam amar putusanya.
4)        Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan dari terdakwa, sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi
Dengan adanya SEMA tersebut, maka memberikan suatu batasan pemahaman kepada hakim dalam memutus suatu persoalan hukum terhadap pengguna narkoti. Perseoalan yang hadir kemudian adalah bagaimana dengan penyidik dan penuntut terhadap implikasi hukum kepada individu yang dikategorikan pengguna atau pecandu narkotika yang tertangkap tangan memiliki narkotika dengan batasan yang sesuai dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tersebut, apakah penyidik dan atau jaksa penuntut umum tidak bisa menuntut dengan tindak pidana dengan kategori dakwaan tunggul atas kepemilikan dan penguasaan barang berupa narkotika tersebut.
Namun kemudian dalam Undang-undang  Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga memuat ketentaun bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).[6]
Sehingga meskipun seseorang dikategorikan sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika harus menghadapi ancaman pidana yang lebih berat (Pasal 112), karena memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika untuk digunakan sendiri. Sehingga secara tidak langsung menggugurkan adagium mengenai korban penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Sebab tidak akan mungkin seseorang menggunakan dan kecanduan akan narkotika tanpa membeli dan memiliki narkotika secara melawan hukum.
Pernyataan ini kemudian menghilangkan adagium “setiap pengguna dan korban penyalahgunaan narkotika…”,[7] karena tidak akan mungkin seseorang menggunakan narkotika tanpa membeli, menyimpan, dan mengguasai narkotika, untuk di digunakan sendiri.
Sementara itu, terkait dengan pecandu narkotika dibawah umur, dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) yakni “orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur[8] wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi social”[9]
Hal tersebut diatas merupakan salah satu dari permasalahan hukum terhadap pengguna dan pecandu narkotika sebagai mana yang dimaksud dalam undang undang narkotika tersebut.
Olehnya itu, untuk menjawab persoalan tersebut maka perlu kiranya diadakan pembaharuan hukum pidana narkotika tersebut dan hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian pengaturan  kembali mengenai pengguna dan atau pecandu narkotika tersebut dimasa mendatang adalah sebagai berikut:
                                         I.            Rehabilitasi medis Terhadap penyalahgunaan dan pecandu narkotika harus didahulukun.
Dengan memandang bahwa penggunaan narkotika yang mengalami kecanduan terhadap narkotika tersebut sebagai penyakit yang harus di sembuhkan agar tidak mengalami gejala-gejala fisik dan  psikis selama proses pemeriksaan olehnya itu rehabilitasi harus di berikan seiring dengan berlangsungnya proses pemeriksaan.
                                      II.            Adanya pembaharuan hukum terhadap tumpang tindihnya peraturan yang mengatur tentang pasal pemidanaan bagi penyalahguna dan atau pecandu narkotika.
Hal ini menjadi penting  karena dalam undang-undang ini dikatakan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum sedangkan pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Olehnya itu dalam perumusan delik terhadap penyalahguna dan atau pecandu narkotika harus diatur tersendiri dan  dipisahkan denga delik pemidanaan seperti yang di sebutkan diatas sehingga terhadap penyalahguna dan pecandu narktika harus didakwa dengan dakwaan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 127 saja.
                                   III.             Kesadaran terhadap penyidik dan penuntut umum dalam bentuk aturan yang mengikat bahwa penyalahgunaan dan pecandu narkotika bukan merupakan tindak pidana tetapi lebih kepada korban yang harus direhabilitasi medis dan sosial.
Dalam hal penanggulangan tindak pidana narkotika seharusnya penyidik menitik beratkan perhatianya kepada peredaran gelap dan prekursor narkotia sehingga pengaplikasian delik pidan seperti yang termuat dalam ketentuan pidana undang-undang narkotika hanya diperuntukan bagi peredaran dan prekursor narkotika tersebut. Olehnya itu, pengguna dan atau pecandu narkotika harus dipandang sebagai korban dan bukan pelaku kejahatan yang harus dibatasi dan dirampas hak-hak  kemerdekaanya.
 


BAB II

3.      SEJARAH SINGKAT NARKOKOBA DI INDONEISA
Di Indonesia Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya.
Menurut pakar kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.
Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina.
Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536).
Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).
Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.
Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.
Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.
Dan jauh sebelum Indonesia mengenal narkoba, sekitar tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau kemudian dikenal opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya, cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi cina telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana akhirnya cina ditaklukan Inggris dengan harus merelakan Hong Kong.
Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim sertuner menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian dikenal sebagai Morphin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di A.S. Morphin ini sangat populer dipergunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang sebahagian tahanan-tahanan tersebut "ketagihan" disebut sebagai "penyakit tentara". Tahun 1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan morphin dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur) campuran ini membawa efek ketika diuji coba kepada anjing yaitu: anjing tersebut tiarap, ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah.
Namun tahun 1898 pabrik obat "Bayer" memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin, sebagai obat resmi penghilang sakit (pain killer). Tahun 60-an - 70-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah "Golden Triangle" yaitu Myanmar, Thailand dan Laos, dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun. Pada daerah "Golden Crescent" yaitu Pakistan, Iran dan Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika dan Amerika.
Selain morphin dan heroin adalagi jenis lain yaitu kokain (ery throxylor coca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Biasanya digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC. Pada akhir tahun 70-an ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta tekhnologi mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat juga dalam bentuk obat dan pil.[10]
4.      PENGGUNAAN NARKOTIKA DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA
Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan penguna narkotika adalah penggunaan secara tidak benar, dan untuk kenikmatan sesaat yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan yang normal, hinggga akhirnya mengalami ketergantungan pada narkotik.
Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. (pasal 1 anka 15)
Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. (pasal 1 anka 13).   Faktor-faktor penyebabnya diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Faktor gaya hidup (life stile)
a.       Penguna narkotika sangat identik dengan gaya hidup mewah, jika di tinjau dari segi harga narkotika itu sendiri
b.      tampil menonjol dari orang-orang di  sekitarnya dan dianggap mapan dari sisi ekonomi, terkait dengan kemampuanya untuk membeli dan mendapatkan narkotika
c.       Sebagian besar kasus pengunaan narkotika untuk kepentingan sesaat dapat di temukan pada mereka yang mempunyai kehidupan ekonomi yang realatif mampu.
2.      Faktor lingkungan dan pergaulan merupakan salah satu penyumbang angka terbesar dalam kelompok pengguna dan atau pecandu narkotika.
a.       Lingkungan keluarga, diantaranya di sebabkan oleh komunikasi yang tidak baik antara sesama anggota keluarga yang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing yang seolah acuh terhadap sikap dan perasaan anggota keluarga yang lainya
b.      Lingkungan sekolah, juga dapat mengakibatkan  seseorang menggunakan narkotika, yang salah satu pemicunya adalah adanya seorang yang merupakan pengguna narkotika yang bersekolah di tempat yang sama sehingga dengan gampang  dia mengajak teman lainya untuk ikut menggunakan narkotika, apalagi di sekolah tersebut tidak ada media yang memadai untuk mengembangkan diri dalam berkreasi yang sifatnya positif.
c.       Lingkungan sosial kemasyarakatan secara langsung juga dapat menyebabkan seseorang untuk menyalahgunakan narkotika, khusunya ketika keadaan  sosial, ekonomi dan politik tidak berada pada posisi yang baik atau kurang mendukung terciptanya pola kehidupan social yang baik dan teratur.
3.      Faktor yuridis
a.       Ringanya sanksi pidana yang tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan narkotika sebagai mana yang di sebutkan dalam ketentuan pidana pasal 111 sampai dengan pasal 127 undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009 di tambah lagi dengan  kegagalan dari aparatur Negara dalam hal ini aparat penegak hukum dalam memberantas perdaran gelap narkokotika dan prekursor narkotika.
b.      Status hukum bagi pecandu narkotika sampai saat ini masih menjadi perdebatan khusunya dalam hal pemberiaan rehabilitasi baik secara medis maupun secara sosial, ataupun pemberian sanksi pidana kepada penyalahguna narkotika karena dianggap merupakan perbuatan pidana
5.      DAMPAK NARKOBA TERHADAP FISIK, PSIKOLOGI DAN LINGKUNGAN SOSIAL
Bila narkoba digunakan secara terus menerus atau melebihi takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan ketergantungan. Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP) dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal.
Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang.
1)      Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap fisik
a.       Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi
b.      Gangguan pada jantung dan pembuluh  darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah
c.       Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan  (abses), alergi, eksim
d.      Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru
e.       Sering sakit kepala, mual-mual dan  muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur
f.       Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual
g.      Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid)
h.      Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya  adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya
i.        Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian
2)      Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap psikis
a)      Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah
b)      Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga
c)      Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal
d)     Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan
e)      Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri
3)      Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap lingkungan sosial
a)      Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan
b)      Merepotkan dan menjadi beban keluarga
c)      Pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram
Dampak fisik, psikis dan sosial berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada  waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan sangat kuat untuk mengkonsumsi (bahasa gaulnya sugest). Gejata fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah, manipulatif, dll.[11]
6.      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana narkotika dapat dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri pelaku. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar: Jan Manoppo (wawancara, 18 Oktober 2011), bahwa faktor- faktor yang menyebabkan seseorang terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah bersifat kasuistis, yaitu antara satu kasus dengan kasus lainnya berbeda karena perbedaaan latar belakang si pelaku.
 Namun dari kebanyakan kasus yang pernah ditangani dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku terlibat sebagai pelaku tindak pidana narkotika adalah karena ingin coba-coba. Berdasarkan hasil penelitian kepada narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa, menunjukkan bahwa terjadinya tindak pidana narkotika dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama aspek individu, sosial bidaya, maupun ekonomi.[12]
1. Faktor Internal
Faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam diri si pelaku berupa faktor individu yang terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan /depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri ke dalam penggunaan narkotika.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri responden yang dalam penelitian ini dibagi atas faktor sosial budaya dan faktor ekonomi. Sesuai dengan pendapat A. Lacassagne bahwa sebab musabab terjadinya kejahatan yang paling utama ialah lingkungan sosial. Lingkungan soaial yang buruk merupakan persemaian yang subur timbulnya suatu kejahatan.
Faktor sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga da pengaruh teman. Kondisi keluarga dalam hal ini merupakan kondisi yang disharmonis, seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman, misalnya karena berteman dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika dan ingin diterima dalam suatu kelompok.
Faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya karena adanya perkumpulan anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika, tindakan yang tidak jelas dari sekolah apabila ada anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika, sehingga dapat mempengaruhi anak yang lain serta lingkungan tempat tinggal anak yang tidak memberikan perilaku yang baik.
BAB III
7.      KESIMPULAN
Penyalah gunaan Narkotika disamping dapat merusak organ tubuh kita secara fisik juga dapat merusak syaraf-syaraf kita yang kemudian merusak psikologi dan mental kita. Kemudian dilingkungan sosial dalam pergaulan masyarakat kita diasingkan atau dijauhi oleh teman-teman.
Perlu bagi kita memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kita untuk terlibat dalam pernyalah gunaan Narkotika. Kemudian sanksi hukum yang berat juga menanti kita apabila kita kedapatan menyalah gunakan Narkotika. Tidak ada fungsi dan manfaatnya jika kita menyalah gunakan Narkotika kecuali hanya sesaat saja.

8. PENUTUP
Demikianlah isi makalah kami kurang dan lebihnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saran dan kritik yang membengun dari  teman-teman sangat kami sebagai bahan evaluasi bagi kami untuk penikatan kwalitas penulisan kami dalam tugas-tugas makalah selanjutnya. Atas perhatian, saran dan kritik teman-teman kami ucapkan terimaksi.




DAFTAR PUSTAKA
1. F. Breaunlich  “kinder Ohne Bett ; So schlafen Grosztadtkinder”; 1936,
2. Prof.Mr. W.A. BONGER ; “Pengantar tentang Krimonologi”; 1981. Hal. 110
3. B.V.A. Roling, “Alcohol en criminaliteit”; 1936
4. RAHMI DWI ASTUTI, all and, “Tinjauan Krimonologi Terhadap pelaku Tindak Kejahatan Menurut UU No. 35 Tahun 2009.hal-13
8. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, Op. Cit. Pasal 112 ayat (1).
9. Lihat ketentuan peraturan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011).



[1] F. Breaunlich  “kinder Ohne Bett ; So schlafen Grosztadtkinder”; 1936,
[2] http://ajhieb.blogspot.com/2012/05/kejahatan-narkotika-dan-upaya.html
[3] Prof.Mr. W.A. BONGER ; “Pengantar tentang Krimonologi”; 1981. Hal. 110
[4] B.V.A. Roling, “Alcohol en criminaliteit”; 1936
[5] Prof.Mr. W.A. BONGER ; “Pengantar tentang Krimonologi”; 1981. Hal. 111
[6] ]Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, Op. Cit. Pasal 112 ayat (1).
[7] Ibid, Op.Cit. Pasal 54
[8] Belum cukup umur yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah sesorang yang belum mencapai umur 18 tahun.
[9] Lihat ketentuan peraturan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011).
[10] http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2011/10/31/189/sejarah-singkat-narkoba
[11] http://belajarpsikologi.com/dampak-penyalahgunaan-narkoba/
[12] RAHMI DWI ASTUTI, all and, “Tinjauan Krimonologi Terhadap pelaku Tindak Kejahatan Menurut UU No. 35 Tahun 2009.hal-13

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. Komando Strategi Mahasiswa Merdeka (KOSTUM MERDEKA) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger