Headlines News :
Home » » PENGARUH EKSEKUSI KEPUTUSAN PAILIT TERHDAP HARTA BERSAMA SUAMI-ISTRI DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA

PENGARUH EKSEKUSI KEPUTUSAN PAILIT TERHDAP HARTA BERSAMA SUAMI-ISTRI DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA

Written By Unknown on Rabu, 18 Juni 2014 | 00.54



PENGARUH EKSEKUSI KEPUTUSAN PAILIT TERHDAPA HARTA BERSAMA SUAMI-ISTRI DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pentingnya untuk melindungi kepentingan pelaku usaha dalam hubungan hutang-piutang. Hal inilah yang mendorong perkembangan hukum kepailitan. Disamping itu untuk melindungi masyarakat luas dari penipuan dengan suatu badan usaha. Kepailitan berhubungan erat dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan mengabulkan ataupun menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan.[1]
Menurut Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul, hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip yaitu[2] :
1. Pertama, peran utama kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan.
2. Kedua, meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature.
3. Ketiga, Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk.
Dengan kata lain kepailitan adalah ultimum remedium, upaya terakhir ketika debitor benar-benar tidak dapat membayar utangnya.
Kepailitan berawal dari debitor yang ternyata tidak melunasi utang pada waktunya karena suatu alasan tertentu, berakibat harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, yang menjadi agunan atas utangnya dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang-utangnya. Harta kekayaan debitor yang menjadi agunan tersebut tidak hanya digunakan untuk membayar utangnya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain maupun kewajiban yang timbul karena undang-undang Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.[3]
Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga hak para kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau lebih dikenal dengan Undang- Undang Kepailitan (UUK). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Dalam undang-undang tersebut kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. [4]
Hal inilah yang melatar belakangi penulis menulis makalah yang berjudul ”PENGARUH EKSEKUSI KEPUTUSAN PAILIT TERHDAPA HARTA BERSAMA SUAMI-ISTRI DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA”
Untuk mengetahui apakah berpengaruh terhadap harta bersama dalam hubungan suami istri ketika salah satu dinyatakan Pailit, jika terjadi pemisahan harata atau tidak terjadi pemisahan harta sebelum atau sesudah pernikahan.
                  1.2. Sejarah Hukum Kepalitan Indonesia
Sejarah hukum kepailitan diindonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan Hukum dagang. Maka jika kita ingin menelusuri sejarah hukum kepailitan diindonesia, maka kita juga harus menelusuri sejarah hukum dagang yang berlaku dinegeri belanda. Khususnya Faillisement wet (FW).
Dari sejarahnya, diketahui bahwa pada mulanya dalam hukum belanda tidak dikenal perbedaan antara Koopleden (Pedagang) dengan Niet Kooplieden (Bukan Pedagang) dalam kepailitan.[5] Namun pada abad ke-19, yaitu ketika negeri belanda dijajah perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte, berlaku Code du Commerce (sejak 1 Januari 1814 s/d 30 september 1838). Pada masa code du commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara Kooplieden dengan Niet Kooplieden dan code du commerce hanya berlaku bagi Kooplieden. Kemudian sesudah belanda merdeka, belanda membuat sendiri Wetboek Van Koophandel (Wvk). Yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1838. Wvk ini dibegi menjadi 3 buku dan buku ketiganya adalah Van de Voorzieningen in geval onvermogen van kooplieden, yang diatur dalam pasal 764 – pasal 943 dan dibagi menjadi 2 titel, yaitu :
1.      Van Faillissement,
2.      Van Surseance Van Betaling
Pemisahan Hukum kepailitan antara Pedagang dan yang Bukan pedagang dalam sistem hukum belanda membawa pengaruh terhadap hukum Hukum kepailitan diindonesia. Di Indonesia, hukum kepailitan diatur dalam 2 (dua) jenis Undang-undang.
1.      Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), Buku ketiga yang berjudul Van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (tentang peraturan ketidak mampuan pedagang) yang diatur dalam Pasal 749 sampai Pasal 910 Wvk.[6]
2.      Reglement op de Rehts vordering (Rv) buku ke III BAB ke- VII berjudul Van de Staat van Kennelijk onvermogen (tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu membayar bagi orang yang bukan pedagang), yang diatur dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal 915 Rv.
Adanya 2 (dua) buah peraturan ini, ternyata menimbulkan banyak kesulitan antara lain yaitu :
1.      Banyaknya formalitas yang ditentukan, menimbulkan banyaknya kesuliatan dalam pelaksanaan;
2.      Biaya tinggi;
3.      Pengaruh kreditur yang sedikit terhadap jalannya kepailitan;
4.      Pelaksanaan kepailitan harus melalui waktu lama.[7]
Pada tahun 1893, dibelanda terjadi perubahan dalam WvK, yaitu dihapusnya Buku Ke III, yang kemudian diganti dengan Undang-undang kepailitan (faillissement Wet, LN. 1893 No. 140) perubahan tersebut berpengaruh terhadap sistem hukum diindonesia, yaitu Buku Ketiga Bab Ketujuh RV dihapuskan. Sebagai pengganti 2 (dua) Jenis Undang-Undang diatas ialah Perturan Kepalitan (Faillissement Verordening) stb.1905 No. 217 (1 Mei 1906) jo. Stb. 1906 No. 348, yang mulai berlaku bagi semua orang tanpa membedakan antara yang pedagang dan yang bukan pedagang, baik perseorangan maupun yang badan hukum.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah pendudukan Belanda dijakarta pada tahun 1947 menerbitkan Noodegeling Faillisementen 1947 yang dimuata dalam Staatblad 1947 No. 214 pada tanggal 12 Desember 1947, dan mulai berlaku pada tanggal 19 Desember 1947. Salah satunya ketentuan yang diatur dalam Noodregeling Faillisementen  1947 tersebut adalah mengenai penghapusan Kepailitan-kepailitan yang terjadi sebelum jepang.[9]
H.M.N Purwosutjipto berpendapat bahwa Noordregeling Faillisementrn atau peraturan kepailitan darurat kepailitan sudah tidak belaku lagi karena peraturan darurat kepailitan tersebut sudah tidak termasuk kedalam pengesahan peraturan Hindia Belanda yang ditetapkan oleh pasal II aturan peralihan UUD 1945. Selain itu, peraturan darurat kepailitan 1947 tersebut bersifat sementara, yang tugasnya sudah dijalankan selama 36 tahunan (1947-1983). Sehingga sudah tidak difungsikan lagi dan tidak berlaku lagi.[10]
Dalam kenyataannya, ketentuan hukum kepailitan yang berlaku yang berlaku adalah Faillissement Verordening 1905. Perkembangan selanjutnya, terjadi krisis moneter di Indonesia pada bulan juli 1997 yang berpengaruh terhadap perekonomian khususnya dibidang pembiayaan dikalangan dunia usaha. Krisis moneter ini diawali dengan turunnya Nilai Rupiah terhadap dollar AS. Turunnya Nilai tukar Rupiah ini sangat memperlemah kemampuan pembiayaan dikalangan dunia usaha, terutama dalam usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman atau utang debitur Indonesia kepada kreditur asing. Mengingat besarnya peran dan kebutuhan penyelesaian utang piutang tersebut. Mengingat besarnya peran dan kebutuhan penyelesaian utang piutang tersebut, maka upaya yang dinilai sangat mendesak untuk dilakukan dan diwujudkan adalah menghadirkan perangkat hukum yang dapat diterima semua pihak yang terkait dalam penyelesaian utangpiutang. Untuk itu, maka dilakukan Revisi terhadap Hukum Kepailitan yang selama ini berlaku. Revisi yang dilakukan terhadap Faillissement Verordening oleh PERPPU No.1 Tahun 1998 itu hanya bersifat sebagain dari materi Faillissement Verordening itu disebabkan karena kelamahannya terdapat dalam Faillissement verordening Itu sendiri.[11]
Namun pada Revisi Faillissement verordening dengan Perppu No. 1 Tahun 1998 hanya bersifat sebahagian dari materi Faillissement verordening karena kelemahannya terletak pada Faillissement verordening sendiri. Sehingga dikuat dan disahkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perturan Pemerintah Pengganti undang-undang  No.1 Tahun 1998.
Meskipun UU No. 4 tahun 1998 merupakan menyempurrnaan dari Faillissement verordening namun ada beberapa pertanyaan yang mendasar yang mesti diajukan untuk menguji apakah Indonesia sudah mempunyai suatu hukum kepailitan sudah mempunyai suatu hukum kepailitan yang baik yaitu :[12]
1.      Seberapa jauh hukum kepailitan telah melindungi kepentingan debitur
2.      Seberapa jauh hukum kepailitan telah melindungi kepentingan Kreditur
3.      Seberapa jauh hukum kepailitan telah memperhatikan kepentingan masyarakat yang lebih luas daripada hanya kepentingan debitur atau kreditur semata-mata.
4.      Seberapa jauh constraint dapat dieliminir dengan menerapkan aturan-aturan yang bersifat prosudural dan subtantif.
5.      Seberapa jauh aturan kebangkrutan yang ada dapat mencapai tujuan-tujuannya.
Berdasarkan sejarah pembentukan UU no. 4 tahun 1998, seharusnya paling lambat tanggal 9 september 1999 pemerintah sudah harus menyempaikan RUU tentang kepailitan sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998. Namun demikian amandemen ini baru dapat dilakukan pada 18 oktober 2004 dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No. 37 tahun 2004 ini membawa perubahan-perubahan kearah penyempurnaan yang terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1998.

1.3. Asas-asas Hukum Kepalitin
Ada pun Asas Utama hukum kepailitan antara lain :
a.       Asas Capat
Proses kepailitan lebih sering digunakan oleh para pelaku usaha sehingga memerlukan keputusan yang cepat.[13] Karena para pelaku usaha sering berhadapan dengan Resiko Kerugian yang besar dalam mengambil kebijakan usahanya.
b.      Asas Adil
Melindungi Kreditur dan Debitur yang beritikad baik serta pihak ketiga yang bergantung dengan usaha debitur.[14] Karena pada umumnya Debitur merupakan perusahaan pembiayaan seperti BANK, Asuransi, Leasing dan lain-lain yang pada umumnya menggunakan dana-dana Nasabah yang disimpan dan Investor.
c.       Asas Terbuka
Keadaan Insolven suatu badan usaha harus diketahui oleh masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan efek yang negatif dikemudian hari, dan mencegah debitur yang beritikat buruk untuk mendapat dana dari masyarakat dengan cara menipu.[15] Seringnya dimasa lampau badan usaha yang dengan beritikad buruk menghimpun dana masyarakat tanpa perlindungan masyarakat. Maka diharapkan dengan adanya hukum kepailitan yang berasas terbuka diharapkan dapat melindungi Masyarakat dari kejahatan Penipuan dengan dalam bentuk badan usaha.
d.      Asas Efektif
Keputusan pengadilan harus dapat di eksekusi dengan cepat, baik keputusan Penolakan permohonan pailit, keputusan pailit, keputusan perdamaian maupun PKPU.[16]
1.4. Sumber Hukum Kepailitan Di Indonesia
dari uraian tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa sumber-sumber hukum Kepailitan Ialah[17] :
1.      KHUPerdata Khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133 dan Pasal 1134.
2.      UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, L.N.R.I. 2004, No. 131.
3.      UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal 142.
1.5. Beberapa Pengertian
Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung artiBanca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapunsejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapatseorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannyadilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan dengan bantuan pengadilan atau dikutip pendapat R. Subekti bahwa eksekusi adalah[18]:
”Melaksanakan putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum, dimana kekuatan umum ini berarti polisi”.
Sedangkan menurut R. Supomo[19]:
“Hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan”.
Suatu putusan hakim yang dapat dieksekusi harus putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yaitu apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dipergunakan yaitu perlawanan, banding dan kasasi. Karena dengan memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu tidak dapat lagi diubah, sekalipun dengan pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.  Dalam suatu putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara sehingga putusan tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh para pihak. Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu dapat dilakukan atau dijalankan secara sukarela oleh pihak tergugat dan bila enggan menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan dengan paksa dengan jalan bantuan hukum.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menerangkan bahwa harta benda[20] yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian bahwa harta bersama atau syirkah yaitu harta yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama perkawinan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut.[21]
Menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya.[22]
Senada dengan kedua tokoh di atas, Iman Sudiyat juga memberikan definisi harta bersama, yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, baik suami maupun isteri bekerja untuk kepentingan kehidupan keluarga. Syarat terakhir ini sering juga ditiadakan, sehingga harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan itu selalu menjadi harta bersama keluarga.[23]

BAB II
2.1. Konsep Hak Milik dalam Hukum Perdata Indonesia
Pengertian hak milik disebutkan dalam Ps. 570 BWI yang menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan suatu benda dan untuk berbuat sebebas bebasnya terhadap benda itu asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berwenang yang menetapkannya dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak itu demi kepeningan umum berdasarkan ketentuan perundangan dengan pembayaran ganti rugi.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Memang dahulu hak eigendom dipandang benar-benar mutlak, dalam arti tidak terbatas, namun pada masa akhir-akhir ini mincul pengertian tentang asas kemasyarakatan (sociale functie ) dari hak tersebut. Hal tersebut tercermin dalam UUPA kita yang menonjolkan asas kemasyarakatan tesebut dengan menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini berarti bahwa kita sudah tidak dapat berbuat sewenang-wenang atau sebebas-bebasnya dengan hak milik kita sendiri. Bahkan pada masa kini suatu perbuatan yang pada hakekatnya berupa suatu pelaksanaan hak milik dapat dipandang sebagai bertentangan dengan hukum, jika perbuatan itu dilakukan dengan tidak menyangkut kepentingan yang patut, atau dengan maksud semata-mata untuk mengganggu kepentingan orang lain (“misbruikvanrecht”).
Contoh yang terkenal adalah putusan mahkamah agung di Perancis (Tahun 1855) di mana telah dikalahkan perkaranya seseorang yang membuat suatu pipa asap di atas atap rumahnya yang ternyata tidak ada gunanya dan hanya dimaksudkan untuk mengganggu tetangganya sehingga kehilangan suatu pemandangan yang indah. Hakim mahkamah agung tersebut menyatakan pembuatan pipa tersebut sbagai suatu misbruik van recht dan memerintahkan untuk menyingkirkan pipa asap yang bersangkutan.
Putusan pengadilan tinggi Belanda yang membenarkan tindakan berdasarkan gangguan atas hak milik (30 Januari 1914) yang terkenal dengan nama Krul Arrest. Dalam perkara ini seorang pengusaha roti bernama Krul digugat oleh Joosten karena pabrik rotinya menimbulkan suara yang keras dan getaran-getaran yang kuat yang menimbulkan gangguan bagi Joosten. Gugatan Joosten dikabulkan oleh pengadilan tinggi Belanda karana suara yang keras dan getaran yang kuat dari pabrik roti Krull itu, dianggap merupakan gangguan
terhadap penggunaan hak milik Joosten.
Sebagai hak kebendaan yang sempurna, hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain.
2.       Ditinjau dari segi kualitasnya, merupakan hak yang paling lengkap.
3.      Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
4.      Mengandung inti dari hak kebendaan yang lain, sedangkan hak kebendaan yang lain hanya meupakan bagian saja dari hak milik.
Setiap orang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda, berhak meminta kembali benda miliknya itu dari siapapun juga yang menguasainya (Ps. 574 BWI). Permintaan kembali yang didasarkan atas hak milik dinamakan revindicatie; di dalam sidang pengadilan baik sebelum maupun pada saat perkara belangsung, pemilik dapat mengajukan permohonan agar benda yang diminta kembali itu disita terlebih dahulu ( revindicatoir beslag), yaitu penyitaan yang dilakukan terhadap benda-benda bergerak milik pemohon yang berada dibawah kekuasaan orang lain dengan tidak perlu mengemukakan atau menguraikan bagaimana cara memperolehnya hak milik itu.
Cara memperoleh hak milik datur dalam Ps. 584 BWI, yang megatur hanya secara limitatif saja :
v  Melalui pengambilan (toegening atau occupatio) Cara memperoleh hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak yang sebelumnya tidak ada pemiliknya
v  Malalui penarikan oleh benda lain (natrekking atau accecio) Cara memperoleh hak milik di mana benda pokok yang telah dimiliki secara alamiah bertambah besar atau bertambah jumlahnya. Misalnya pohon-pohoan (sebagai benda pokok) bertambah banyak sehingga jumlah pohon yang menjadi hak milik menjadi bertambah.
v   Melalui daluwarsa (verjaring), Cara memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah atau 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak (Ps. 610 BWI). Kadaluarsa yang dimaksud disini adalah acquisiteve verjaring, yakni suatu cara untuk memperoleh hak kebendaan setelah lampau waktu tertentu, disisi lain tedapat extinctieve verjaring yaitu suatu cara untuk dibebaskan dari suatu hutang setelah terlampauinya waktu tertentu.
v  Melalui perwarisan (erfopvolging) Cara memperoleh hak milik bagi para ahli waris yang ditinggalkan pewaris. Disini para ahli waris memperoleh hak milik menurut hukum tanpa harus ada tindakan penerimaan benda secara fisik. Ahli waris bisa berupa ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) maupun menurut wasiat (testament)
v  Melalui penyerahan (levering atau overdracht). Cara memperoleh hak milik karena adanya pemindahan hak milik seseoarang yang berhak memindahkannya kepada orang lain yang memperoleh hak milik itu. Cara ini merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam kehidupan masyarakat sekarang. Perkataan levering mempunyai dua arti. Yang pertama berarti perbuatan berupa penyerahan kekuasaan belaka atas suatu benda (feicelijke levering); pengertian kedua berarti perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (yuridische levering). Penyerahan hak milik atas benda bergerak cukup dilakukan dengan penyerahan kekuasaan belaka atas benda itu, sedangkan penyerahan hak milik atas benda tak bergerak harus dibuatkan suatu surat penyerahan yang harus dituliskan dalam daftar hak milik. Mengenai levering dari benda bergerak yang tidak berwujud dapat dibedakan atas :
v  Levering dari surat piutang atas tunjuk (aan tonder), berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI dilakukan dengan penyerahan surat yang bersangkutan.
v  Levering dari surat piutang atas nama (op naam), berdasarkan Ps. 613 ayat (1) BWI dilakukan dengan cara membuat akte otentik atau akte di bawah tangan (cessie). Ini berarti pergantian kedudukan berpiutang dari kredirur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris), sedangkan debiturnya dinamakan cessus. Jadi hak berpiutang dianggap telah beralih dari cedent kepada cessionaris pada saat akte cessie dibuat, bukan pada waktu akte cessie diberitahukan kepada cessus.
v  Levering dari piutang atas perintah (aan order) yang berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI harus dilakukan dengan surat piutang tersebut disertai dengan endosemen, yaitu menulis dibalik surat piutang yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dialihkan
a)      Cara memperoleh hak milik yang tidak disebutkan dalam Ps. 584 BWI :
Pembentukan benda (zaaksvorming), yaitu dengan cara membentuk atau menjadikan benda yang sudah ada menjadi benda yang baru. Misalnya, kayu diukir menjadi patung, benang ditenun menjadi kain dlsb. Orang yang menjadikan atau membentuk benda baru tersebut menjadi pemiliknya (Ps. 606 BWI).
b)      Penarikan hasilnya (vruchttrekking), yaitu benda yang merupakan hasil/buah dari benda pokok yang dikuasainya, misalnya buah pisang dari pohon pisang, anak sapi dari sapi yang dikuasainya (Ps. 575 BWI).
c)      Percampuran atau persatuan benda vereniging), yaitu perolehan hak milik karena bercampurnya beberapa macam benda kepunyaan beberapa orang :
1)      Jika bercampurnya benda itu karena kebetulan, maka benda itu menjadi milik bersama orang-orang tersebut, seimbang dengan harga benda mereka semula
2)      .Jika bercampurnya benda itu karena perbuatan seseorang pemilik benda, maka dialah menjadi peimilik dari benda baru tersebut dengan kewajiban membayar ongkos-ongkos, ganti rugi dan bunganya kepada para pemilik lain dari benda-benda semula (Ps. 607-609 BWI).
d)     Pencabutan hak (onteigening),, yaitu cara memperoleh hak milik bagi penguasa dengan jalan pencabutan hak milik atas suatu benda kepunyaan satu atau beberapa orang. Untuk melakukan hal ini penguasa harus mendasarkan tindakannya pada undang-undang dan harus untuk tujuan kepentiangan umum dengan disertai pemberian ganti rugi yang layak kepada (para) pemiliknya.
e)      Perampasan (verbeurdverklaring), yaitu cara memperoleh hak milik dari penguasa dengan jalan merampas hak milik atas suatu benda kepunyaan terpidana yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
f)       Pembubaran suatu badan hukum, yaitu dengan pembuabaran badan hukum maka para anggota badan hukum dapat memperoleh bagian dari harta kekayaan badan hukum tersebut (Ps. 1665 BWI).
Pasal 573 BW mengatur tentang adanya suatu benda yang dipunyai oleh lebih satu orang, sehingga terjadi hak milik bersama (medeeigendom) atas suatu benda, di mana dinyatakan bahwa membagi suatu benda menjadi milik lebih dari satu orang, harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan tentang “pemisahan” dan “pembagian” harta peninggalan. Sedangkan aturan-aturan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan diatur dalam Buku II Ps. 1066-1125 BWI.


2.3. Konsep Harta Bersama dalam Hukum Perdata Indonesia.
Milik bersama dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom) dan hak milik bersama yang teriikat (gebonden medeeigendom). Contoh hak milik bersama yang bebas adalah a, b, dan c bersama-sama membeli sebuah komputer. Contoh hak milik bersama yang terikat adalah hak milik bersama suami istri terhadap harta perkawinan, terhadap harta peninggalan, terhadap harta kekayaan suatu badan hukum. Inti perbedaannya adalah hak milik bersama yang bebas tidak mempunyai hubungan apa-apa sebelum mereka bersama menjadi pemilik ssesuatu barang; sedangkan dalam hak milik bersama yang terikat pemilikan bersama atas suatu benda itu justru sebagai akibat dari hubungan mereka satu sama lain yang telah ada sebelumnya. Perbedaan yang lain adalah bahwa di dalam hak milik bersama yang bebas terdapat kehendak bersama dari beberapa orang untuk memiliki suatu benda; sedangkan di dalam hak milik bersama yang terikat, kehendak untuk bersama sama menjadi pemilik hampir tidak ada, yang semata-mata ada diantara mereka adalah karena hubungan hukum yang telah ada sebelumnya.
Secara umum para ahli hukum mengatakan perbedaan antara hak milik bersama yang bebas dengan hak milik bersama yang terikat sebagai berikut :
a)      Para pemilik dalam hak milik bersama yang bebas dapat meminta pemisahan dan pembagian atas benda yang merupakan milik bersama, sedangkan para pemilik di dalam hak milik bersama yang terikat tidak dapat meminta pemisahan dan pembagian terhadap benda milik bersama itu. Dalam hal ini terdapat keberatan / sanggahan dari para ahli hukum yang lain oleh karena mengenai “harta peninggalan”, para ahli waris dapat meminta pemisahan dan pembagian harta peninggalan tersebut.
a)      Di dalam hak milik bersama yang bebas, masing-masing orang mempunyai bagian yang merupakan harta kekayaan yang berdiri sendiri, sehingga masing-masing berwenang untuk menguasai atau berbuat apa saja terhadap benda tersebut tanpa memerlukan izin dari pemilik yang lain; sedangkan di dalam hak milik bersama yang terikat, hal yang demikian tidak mungkin sebab harus mendapat izin dari pemilik-pemilik yang lain.
b)      Di dalam hak milik bersama yang bebas, tiap-tiap pemilik mempunyai bagian atas benda milik bersama itu; sedangkan dalam hak milik bersama yang terikat tiap-tiap pemilik berhak atas seluruh bendanya.

2.4. Konsep Harta Bersama Dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan.
Pada dasarnya konsekuensi dari perkawinan ialah adanya harta bersama yang disebabkan oleh proses percampuran kekayaan.Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva baik yang dibawa masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan.[24] Mengenai konsep harta bersama dalam perkawinan ini dituangkan di dalam ketentuan KUHPerdata yaitu Pasal 119 yang secara rinci menyatakan, “ Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri ”
Konsep harta bersama menurut KUHPerdata yang bersumber pada Hukum Barat ini merupakan penyatuan harta yang secara mutlak diperoleh maupun dibawa suami istri sebelum dan selama perkawinan, hal ini terjadi apabila tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin yang merupakan bukti satu-satunya atas keberadaan harta dalam perkawinan yang pengurusannya dilakukan oleh pihak suami. Hal ini disebabkan oleh karena suami memiliki hak marital untuk mengurus serta memelihara seluruh harta dalam perkawinan yang akan berlangsung hingga putusnya perkawinan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kawin.
Konsep harta bersama menurut Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah tertuang dalam ketentuan Pasal 35 ayat 1 yang menyatakan, “ Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Harta bersama dalam Undang Undang Perkawinan bersumber pada konsep Hukum Adat yang notabene tidak mengenal perjanjian kawin. Persatuan harta dalam hal ini hanyalah meliputi harta benda yang diperoleh selama perkawinan saja,sehingga harta bawaan yang dibawa masingmasing suami istri ke dalam perkawinannya tetap berada pada kekuasaan masingmasing pihak, kecuali ada persetujuan dari para pihak untuk menyatukan harta bawaan mereka ke dalam harta bersama.Suami istri memiliki kedudukan yang sejajar dalam mengurus harta bersama, karena kesepakatan antara kedua belah pihak menjadi hal yang wajib ada apabila para pihak ingin melakukan perbuatan hukum atas harta bersama mereka, sehingga hal ini menciptakan keterbukaan para pihak dalam menggunakan harta bersama.
2.5. Akibat Hukum Putusan Kepailitan Suami Istri Terhadap Harta Bersama
Suami istri dapat dinyatakan pailit apabila mereka mengalami keadaan tidak mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai dengan yang diperjanjikan kepada para kreditornya. Akibat hukum atas putusan kepailitan yang dijatuhkan kepada suami istri terhadap harta bersamanya melalui Putusan Pengadilan akan dinilai sebagai kepailitan bersama,sesuai dengan ketentuan pada Pasal 64 ayat 1 Undang Undang Kepailitan yang menyatakan, “ Kepailitan suami istri yang kawin dalam persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut “.Dalam ketentuan kepailitan pada harta bersama baik pada konsep KUHPerdata dan Undang Undang Perkawinan tidak memiliki perbedaan yang berarti.Dalam hal ini kepailitan suami atau istri mengakibatkan juga pailitnya sang istri atau sang suami yang kawin dalam persatuan harta kekayaan atau dalam perkataan lain atas harta kekayaan yang dimilikinya tidak didasarkan atas perjanjian kawin atau pisah harta dalam perkawinan mereka.[25]Berdasarkan ketentuan ini maka suami istri akan secara bersama-sama mempertanggungjawabkan beban pembayarannya terhadap para kreditornya.

BAB III

3.1. Kesimpulan
Kepailitan berhubungan erat dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga hak para kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau lebih dikenal dengan Undang- Undang Kepailitan (UUK). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Milik bersama dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom) dan hak milik bersama yang teriikat (gebonden medeeigendom). Harta bersama dalam Undang Undang Perkawinan bersumber pada konsep Hukum Adat yang notabene tidak mengenal perjanjian kawin. Persatuan harta dalam hal ini hanyalah meliputi harta benda yang diperoleh selama perkawinan saja,sehingga harta bawaan yang dibawa masing-masing suami istri ke dalam perkawinannya tetap berada pada kekuasaan masingmasing pihak, kecuali ada persetujuan dari para pihak untuk menyatukan harta bawaan mereka ke dalam harta bersama
Suami istri dapat dinyatakan pailit apabila mereka mengalami keadaan tidak mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai dengan yang diperjanjikan kepada para kreditornya. Akibat hukum atas putusan kepailitan yang dijatuhkan kepada suami istri terhadap harta bersamanya melalui Putusan Pengadilan akan dinilai sebagai kepailitan bersama,sesuai dengan ketentuan pada Pasal 64 ayat 1 Undang Undang Kepailitan yang menyatakan.


3.2. Saran
Untuk mendalami Hukumkepailitan Sebagai bahan bacaankami menyarankan teman-teman membaca buku :
1.      Hukum Kepalitan Edisi II Oleh.Prof. Dr. Sunarmi SH.M.Hum cetakan Pertama 2010
2.      Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia Edisi II Oleh.Prof. Dr. Sunarmi SH.M.Hum. cetakan pertama 2010
3.      Hukum Kepailitan (Memahami UU. No. 37 Tahun 2004) oleh: Prof.Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. Cetakan Ke-IV 2010.
4.      Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia,Oleh IrsanNasarudin SH, Dkk. Cetakan Ke I tahun 2008
3.3. Penutup
Demikianlah isi makalah ini kami buat sebagai pembelajaran bagi kami dan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan nilai Hukum kepailitan difakultas Hukum Universitas Pamulang. Bilaada kekurangan dan kejanggalandalammakalah kami, besarharapan kami teman-teman dapat memberikan saran dan kritik bagi sebagai bahan evaluasi bagi kami dalam meningkat kwalitas penulisan dalam tugas-tugas makalah selanjut.
Temakasih yang sebesa-besarnya kami ucapkan kepada teman-teman yang telah membaca dan member masukan atar makalah kami. Juga tidak lupa kami ucapkan Tarimakasih kepada bapak Taufik kurrohman sebagai dosen pembimbing hukum kepailitan.






Daftar Pustaka
1.      Ahmad Yani & Gunawan Widjaja.2004. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta : Rajawali Pers. hal 11
2.      Zulkarnain Sitompul, dalam artikelnya berjudul Perlukah PT DI dipailitkan. http: // zulsitompul. wordpress. Com
3.      Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta : Grafiti Hal 5
4.      Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
5.      Prof. Dr. Sunarmi ; “Hukum kepailitan” 2010. Hal. 7.
6.      Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran (Yogyakarta ; seksi hukum dagang fakultas hukum Universitas Gajah Mada, Cet. Kedua) hal. 5.
7.      H.M.N. Purwostjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8 (Jakarta, Penerbit Jambatan, 1992), hal.29.
8.      Erma rajagukguk, “perkembangan Peraturan hukum dagang Indonesia”, Bahan Kuliah E Learning “Bankrupcy Law”, 2002, Hal.1
9.      Munir fuady, Hukum Kepailitan 1998 dalam teori dan praktek (Bandung, Penerbit PT. citra Adytia Bakti, 1999), hal.6
10.  Dr. Freddy Haris, Makalah Asas dan dasar Hukum kepalitan.
11.  R. Subekti, Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung: Binacipta, 1989), hal. 130
12.  R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986), hal. 119.
13.  Benda adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Subekti, Pokok-pokok  Hukum Perdata, cet. ke-26 (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm. 60.
14.  Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, hlm. 92
15.  Dikutip oleh  Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, hlm. 34.
16.  Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 148.
17.  Subekti, 1994, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Hal. 32.
18.  Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, Hal 53.



[1] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja.2004. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta : Rajawali Pers. hal 11
[2] Zulkarnain Sitompul, dalam artikelnya berjudul Perlukah PT DI dipailitkan. http: // zulsitompul. wordpress. com
[3] Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta : Grafiti Hal 5
[4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
[5] Prof. Dr. Sunarmi ; “Hukum kepailitan” 2010. Hal. 7.
[6] Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran (Yogyakarta ; seksi hukum dagang fakultas hukum Universitas Gajah Mada, Cet. Kedua) hal. 5.
[7] H.M.N. Purwostjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8 (Jakarta, Penerbit Jambatan, 1992), hal.29.
[8] Prof. Dr. Sunarmi ; “Hukum kepailitan” 2010. Op,cit, hal.12 Hal. 9

[9] Erma rajagukguk, “perkembangan Peraturan hukum dagang Indonesia”, Bahan Kuliah E Learning “Bankrupcy Law”, 2002, Hal.1
[10] H.M.N. Purwosutjipto, op,cit. hal.31
[11] rma rajagukguk, “perkembangan Peraturan hukum dagang Indonesia”,Op,cit, hal.12
[12] Munir fuady, Hukum Kepailitan 1998 dalam teori dan praktek (Bandung, Penerbit PT. citra Adytia Bakti, 1999), hal.6
[13] Dr. Freddy Haris, Makalah Asas dan dasar Hukum kepalitan.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid
[17] Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, “Hukum Kepailitan Memahami UU. No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan, Cet. IV 2010. Hal. 10
[18] R. Subekti, Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung: Binacipta, 1989), hal. 130
[19] R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986), hal. 119.
[20] Benda adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Subekti, Pokok-pokok  Hukum Perdata, cet. ke-26 (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm. 60.
[21] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, hlm. 92
[22] Dikutip oleh  Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, hlm. 34.
[23] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 148.

[24] Subekti, 1994, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Hal. 32.

[25] Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, Hal 53.
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. Komando Strategi Mahasiswa Merdeka (KOSTUM MERDEKA) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger