PENGARUH EKSEKUSI KEPUTUSAN PAILIT
TERHDAPA HARTA BERSAMA SUAMI-ISTRI DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA
BAB I
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Pentingnya
untuk melindungi kepentingan pelaku usaha dalam hubungan hutang-piutang. Hal
inilah yang mendorong perkembangan hukum kepailitan. Disamping itu untuk
melindungi masyarakat luas dari penipuan dengan suatu badan usaha. Kepailitan berhubungan erat dengan ketidakmampuan untuk
membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus
disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara
sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari
pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari
keadaan tidak mampu membayar. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan,
maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak
mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu
putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan
putusan mengabulkan ataupun menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan.[1]
Menurut Joseph
E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul, hukum kepailitan
harus mengandung tiga prinsip yaitu[2]
:
1. Pertama, peran utama
kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan
reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi
perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan.
2. Kedua, meskipun tidak
dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah
berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik
diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan
sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan
beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya
likuidasi premature.
3. Ketiga, Hukum
kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang
lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang
dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang
telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan
tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat
apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya
dislokasi ekonomi yang buruk.
Dengan kata
lain kepailitan adalah ultimum remedium, upaya terakhir ketika debitor
benar-benar tidak dapat membayar utangnya.
Kepailitan berawal dari debitor yang
ternyata tidak melunasi utang pada waktunya karena suatu alasan tertentu,
berakibat harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, yang menjadi agunan
atas utangnya dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang-utangnya. Harta
kekayaan debitor yang menjadi agunan tersebut tidak hanya digunakan untuk
membayar utangnya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang
timbul karena perikatan-perikatan lain maupun kewajiban yang timbul karena
undang-undang Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.[3]
Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang
piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga hak para
kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai kepailitan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang atau lebih dikenal dengan Undang- Undang Kepailitan
(UUK). Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang
tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat
sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat.
Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara
adil, cepat, terbuka, dan efektif. Dalam
undang-undang tersebut kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. [4]
Hal inilah yang melatar belakangi penulis menulis makalah
yang berjudul ”PENGARUH EKSEKUSI KEPUTUSAN PAILIT
TERHDAPA HARTA BERSAMA SUAMI-ISTRI DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA”
Untuk
mengetahui apakah berpengaruh terhadap harta bersama dalam hubungan suami istri
ketika salah satu dinyatakan Pailit, jika terjadi pemisahan harata atau tidak
terjadi pemisahan harta sebelum atau sesudah pernikahan.
1.2. Sejarah Hukum Kepalitan
Indonesia
Sejarah hukum kepailitan diindonesia tidak terlepas
dari sejarah perkembangan Hukum dagang. Maka jika kita ingin menelusuri sejarah
hukum kepailitan diindonesia, maka kita juga harus menelusuri sejarah hukum
dagang yang berlaku dinegeri belanda. Khususnya Faillisement wet (FW).
Dari
sejarahnya, diketahui bahwa pada mulanya dalam hukum belanda tidak dikenal
perbedaan antara Koopleden (Pedagang) dengan
Niet Kooplieden (Bukan Pedagang) dalam
kepailitan.[5]
Namun pada abad ke-19, yaitu ketika negeri belanda dijajah perancis yang
dipimpin Napoleon Bonaparte, berlaku Code du Commerce (sejak 1 Januari 1814 s/d
30 september 1838). Pada masa code du
commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara Kooplieden dengan Niet
Kooplieden dan code du commerce
hanya berlaku bagi Kooplieden. Kemudian sesudah belanda merdeka, belanda
membuat sendiri Wetboek Van Koophandel (Wvk). Yang mulai berlaku pada 1 Oktober
1838. Wvk ini dibegi menjadi 3 buku dan buku ketiganya adalah Van de Voorzieningen in geval onvermogen van
kooplieden, yang diatur dalam pasal 764 – pasal 943 dan dibagi menjadi 2
titel, yaitu :
1.
Van
Faillissement,
2.
Van
Surseance Van Betaling
Pemisahan Hukum
kepailitan antara Pedagang dan yang Bukan pedagang dalam sistem hukum belanda
membawa pengaruh terhadap hukum Hukum kepailitan diindonesia. Di Indonesia,
hukum kepailitan diatur dalam 2 (dua) jenis Undang-undang.
1. Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), Buku ketiga yang berjudul Van de
Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (tentang peraturan ketidak
mampuan pedagang) yang diatur dalam Pasal 749 sampai Pasal 910 Wvk.[6]
2.
Reglement
op de Rehts vordering (Rv) buku ke III BAB ke- VII berjudul
Van de Staat van Kennelijk onvermogen (tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu
membayar bagi orang yang bukan pedagang), yang diatur dalam Pasal 899 sampai
dengan Pasal 915 Rv.
Adanya 2 (dua) buah
peraturan ini, ternyata menimbulkan banyak kesulitan antara lain yaitu :
1. Banyaknya
formalitas yang ditentukan, menimbulkan banyaknya kesuliatan dalam pelaksanaan;
2. Biaya
tinggi;
3. Pengaruh
kreditur yang sedikit terhadap jalannya kepailitan;
4. Pelaksanaan
kepailitan harus melalui waktu lama.[7]
Pada
tahun 1893, dibelanda terjadi perubahan dalam WvK, yaitu dihapusnya Buku Ke
III, yang kemudian diganti dengan Undang-undang kepailitan (faillissement Wet,
LN. 1893 No. 140) perubahan tersebut berpengaruh terhadap sistem hukum
diindonesia, yaitu Buku Ketiga Bab Ketujuh RV dihapuskan. Sebagai pengganti 2
(dua) Jenis Undang-Undang diatas ialah Perturan Kepalitan (Faillissement
Verordening) stb.1905 No. 217 (1 Mei 1906) jo. Stb. 1906 No. 348, yang mulai
berlaku bagi semua orang tanpa membedakan antara yang pedagang dan yang bukan
pedagang, baik perseorangan maupun yang badan hukum.[8]
Dalam
perkembangan selanjutnya, pemerintah pendudukan Belanda dijakarta pada tahun
1947 menerbitkan Noodegeling Faillisementen 1947 yang dimuata dalam Staatblad
1947 No. 214 pada tanggal 12 Desember 1947, dan mulai berlaku pada tanggal 19
Desember 1947. Salah satunya ketentuan yang diatur dalam Noodregeling Faillisementen 1947 tersebut adalah mengenai penghapusan
Kepailitan-kepailitan yang terjadi sebelum jepang.[9]
H.M.N
Purwosutjipto berpendapat bahwa Noordregeling
Faillisementrn atau peraturan kepailitan darurat kepailitan sudah tidak
belaku lagi karena peraturan darurat kepailitan tersebut sudah tidak termasuk
kedalam pengesahan peraturan Hindia Belanda yang ditetapkan oleh pasal II
aturan peralihan UUD 1945. Selain itu, peraturan darurat kepailitan 1947
tersebut bersifat sementara, yang tugasnya sudah dijalankan selama 36 tahunan
(1947-1983). Sehingga sudah tidak difungsikan lagi dan tidak berlaku lagi.[10]
Dalam
kenyataannya, ketentuan hukum kepailitan yang berlaku yang berlaku adalah Faillissement Verordening 1905.
Perkembangan selanjutnya, terjadi krisis moneter di Indonesia pada bulan juli
1997 yang berpengaruh terhadap perekonomian khususnya dibidang pembiayaan
dikalangan dunia usaha. Krisis moneter ini diawali dengan turunnya Nilai Rupiah
terhadap dollar AS. Turunnya Nilai tukar Rupiah ini sangat memperlemah
kemampuan pembiayaan dikalangan dunia usaha, terutama dalam usaha untuk
memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman atau utang debitur Indonesia kepada
kreditur asing. Mengingat besarnya peran dan kebutuhan penyelesaian utang
piutang tersebut. Mengingat besarnya peran dan kebutuhan penyelesaian utang
piutang tersebut, maka upaya yang dinilai sangat mendesak untuk dilakukan dan
diwujudkan adalah menghadirkan perangkat hukum yang dapat diterima semua pihak
yang terkait dalam penyelesaian utangpiutang. Untuk itu, maka dilakukan Revisi
terhadap Hukum Kepailitan yang selama ini berlaku. Revisi yang dilakukan
terhadap Faillissement Verordening
oleh PERPPU No.1 Tahun 1998 itu hanya bersifat sebagain dari materi Faillissement Verordening itu disebabkan
karena kelamahannya terdapat dalam Faillissement
verordening Itu sendiri.[11]
Namun
pada Revisi Faillissement verordening dengan
Perppu No. 1 Tahun 1998 hanya bersifat sebahagian dari materi Faillissement verordening karena
kelemahannya terletak pada Faillissement verordening
sendiri. Sehingga dikuat dan disahkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun
1998 tentang Penetapan Perturan Pemerintah Pengganti undang-undang No.1 Tahun 1998.
Meskipun
UU No. 4 tahun 1998 merupakan menyempurrnaan dari Faillissement verordening namun ada beberapa pertanyaan yang
mendasar yang mesti diajukan untuk menguji apakah Indonesia sudah mempunyai
suatu hukum kepailitan sudah mempunyai suatu hukum kepailitan yang baik yaitu :[12]
1. Seberapa
jauh hukum kepailitan telah melindungi kepentingan debitur
2. Seberapa
jauh hukum kepailitan telah melindungi kepentingan Kreditur
3. Seberapa
jauh hukum kepailitan telah memperhatikan kepentingan masyarakat yang lebih
luas daripada hanya kepentingan debitur atau kreditur semata-mata.
4. Seberapa
jauh constraint dapat dieliminir dengan menerapkan aturan-aturan yang bersifat
prosudural dan subtantif.
5. Seberapa
jauh aturan kebangkrutan yang ada dapat mencapai tujuan-tujuannya.
Berdasarkan sejarah
pembentukan UU no. 4 tahun 1998, seharusnya paling lambat tanggal 9 september
1999 pemerintah sudah harus menyempaikan RUU tentang kepailitan sebagai
pengganti UU No. 4 tahun 1998. Namun demikian amandemen ini baru dapat
dilakukan pada 18 oktober 2004 dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No. 37 tahun 2004 ini
membawa perubahan-perubahan kearah penyempurnaan yang terdapat dalam UU No. 4
Tahun 1998.
1.3.
Asas-asas Hukum Kepalitin
Ada pun Asas Utama
hukum kepailitan antara lain :
a. Asas
Capat
Proses kepailitan lebih
sering digunakan oleh para pelaku usaha sehingga memerlukan keputusan yang
cepat.[13]
Karena para pelaku usaha sering berhadapan dengan Resiko Kerugian yang besar
dalam mengambil kebijakan usahanya.
b. Asas
Adil
Melindungi Kreditur dan
Debitur yang beritikad baik serta pihak ketiga yang bergantung dengan usaha
debitur.[14]
Karena pada umumnya Debitur merupakan perusahaan pembiayaan seperti BANK,
Asuransi, Leasing dan lain-lain yang pada umumnya menggunakan dana-dana Nasabah
yang disimpan dan Investor.
c. Asas
Terbuka
Keadaan Insolven suatu
badan usaha harus diketahui oleh masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan
efek yang negatif dikemudian hari, dan mencegah debitur yang beritikat buruk
untuk mendapat dana dari masyarakat dengan cara menipu.[15]
Seringnya dimasa lampau badan usaha yang dengan beritikad buruk menghimpun dana
masyarakat tanpa perlindungan masyarakat. Maka diharapkan dengan adanya hukum
kepailitan yang berasas terbuka diharapkan dapat melindungi Masyarakat dari
kejahatan Penipuan dengan dalam bentuk badan usaha.
d. Asas
Efektif
Keputusan pengadilan harus dapat di
eksekusi dengan cepat, baik keputusan Penolakan permohonan pailit, keputusan
pailit, keputusan perdamaian maupun PKPU.[16]
1.4.
Sumber Hukum Kepailitan Di Indonesia
dari uraian tersebut
diatas, dapat dinyatakan bahwa sumber-sumber hukum Kepailitan Ialah[17] :
1. KHUPerdata
Khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133 dan Pasal 1134.
2. UU
No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang,
L.N.R.I. 2004, No. 131.
3. UU
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal
142.
1.5.
Beberapa Pengertian
Pailit dapat
diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata
Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung
artiBanca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi,
adapunsejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu
peristiwa dimana terdapatseorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya
kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh
kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono
Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan
Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita
umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannyadilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan
pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua
kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Pada
dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap
suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan dengan bantuan
pengadilan atau dikutip pendapat R. Subekti bahwa eksekusi adalah[18]:
”Melaksanakan
putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh
pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung
arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela,
sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum,
dimana kekuatan umum ini berarti polisi”.
Sedangkan
menurut R. Supomo[19]:
“Hukum
yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat negara guna
membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila
pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang
ditentukan”.
Suatu
putusan hakim yang dapat dieksekusi harus putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yaitu apabila tidak ada
lagi upaya hukum biasa yang dipergunakan yaitu perlawanan, banding dan kasasi.
Karena dengan memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu tidak dapat
lagi diubah, sekalipun dengan pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan
upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak
ketiga. Dalam suatu putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah
terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang
berperkara sehingga putusan tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh para
pihak. Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu dapat dilakukan
atau dijalankan secara sukarela oleh pihak tergugat dan bila enggan menjalankan
putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan dalam putusan harus
dilaksanakan dengan paksa dengan jalan bantuan hukum.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menerangkan bahwa harta benda[20]
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kompilasi Hukum Islam
(KHI) memberikan pengertian bahwa harta bersama atau syirkah yaitu harta
yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama perkawinan
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Pengertian
harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain.
Menurut Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat
atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha
bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut.[21]
Menurut
Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta
bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja
sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali
mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka
semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya.[22]
Senada dengan kedua tokoh di atas,
Iman Sudiyat juga memberikan definisi harta bersama, yaitu harta kekayaan yang
diperoleh selama masa perkawinan, baik suami maupun isteri bekerja untuk
kepentingan kehidupan keluarga. Syarat terakhir ini sering juga ditiadakan,
sehingga harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan itu selalu menjadi
harta bersama keluarga.[23]
BAB II
2.1.
Konsep Hak Milik dalam Hukum Perdata Indonesia
Pengertian
hak milik disebutkan dalam Ps. 570 BWI yang menyatakan bahwa hak milik adalah
hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan suatu benda dan untuk berbuat sebebas
bebasnya terhadap benda itu asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berwenang yang
menetapkannya dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain,
dengan tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak itu demi kepeningan umum
berdasarkan ketentuan perundangan dengan pembayaran ganti rugi.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
eigendom adalah hak yang paling
sempurna atas suatu benda. Memang dahulu hak eigendom dipandang
benar-benar mutlak, dalam arti tidak terbatas, namun pada masa akhir-akhir ini
mincul pengertian tentang asas kemasyarakatan (sociale functie ) dari hak
tersebut. Hal tersebut tercermin dalam UUPA kita yang menonjolkan asas kemasyarakatan
tesebut dengan menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Hal ini berarti bahwa kita sudah tidak dapat berbuat sewenang-wenang atau
sebebas-bebasnya dengan hak milik kita sendiri. Bahkan pada masa kini suatu
perbuatan yang pada hakekatnya berupa suatu pelaksanaan hak milik dapat
dipandang sebagai bertentangan dengan hukum, jika perbuatan itu dilakukan
dengan tidak menyangkut kepentingan yang patut, atau dengan maksud semata-mata
untuk mengganggu kepentingan orang lain (“misbruikvanrecht”).
Contoh yang terkenal adalah putusan mahkamah agung di
Perancis (Tahun 1855) di mana telah dikalahkan perkaranya seseorang yang
membuat suatu pipa asap di atas atap rumahnya yang ternyata tidak ada gunanya
dan hanya dimaksudkan untuk mengganggu tetangganya sehingga kehilangan suatu
pemandangan yang indah. Hakim mahkamah agung tersebut menyatakan pembuatan pipa
tersebut sbagai suatu misbruik van recht dan memerintahkan untuk menyingkirkan
pipa asap yang bersangkutan.
Putusan pengadilan tinggi Belanda yang membenarkan
tindakan berdasarkan gangguan atas hak milik (30 Januari 1914) yang terkenal
dengan nama Krul Arrest. Dalam perkara ini seorang pengusaha roti bernama Krul
digugat oleh Joosten karena pabrik rotinya menimbulkan suara yang keras dan getaran-getaran
yang kuat yang menimbulkan gangguan bagi Joosten. Gugatan Joosten dikabulkan
oleh pengadilan tinggi Belanda karana suara yang keras dan getaran yang kuat
dari pabrik roti Krull itu, dianggap merupakan gangguan
terhadap penggunaan hak milik Joosten.
terhadap penggunaan hak milik Joosten.
Sebagai hak kebendaan yang sempurna, hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang
lain.
2. Ditinjau dari segi kualitasnya, merupakan hak yang paling lengkap.
3. Bersifat
tetap, artinya tidak akan lenyap
terhadap hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain
dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
4. Mengandung inti dari hak kebendaan yang lain, sedangkan
hak kebendaan yang lain hanya meupakan bagian saja dari hak milik.
Setiap orang yang mempunyai hak milik atas sesuatu
benda, berhak meminta kembali benda miliknya itu dari siapapun juga yang
menguasainya (Ps. 574 BWI). Permintaan kembali yang didasarkan atas hak milik
dinamakan revindicatie; di dalam sidang pengadilan baik sebelum maupun pada
saat perkara belangsung, pemilik dapat mengajukan permohonan agar benda yang
diminta kembali itu disita terlebih dahulu ( revindicatoir beslag), yaitu
penyitaan yang dilakukan terhadap benda-benda bergerak milik pemohon yang
berada dibawah kekuasaan orang lain dengan tidak perlu mengemukakan atau
menguraikan bagaimana cara memperolehnya hak milik itu.
Cara memperoleh hak milik datur dalam Ps. 584 BWI,
yang megatur hanya secara limitatif saja :
v Melalui pengambilan (toegening atau occupatio) Cara memperoleh
hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak yang sebelumnya tidak ada
pemiliknya
v Malalui penarikan oleh benda lain (natrekking atau accecio) Cara
memperoleh hak milik di mana benda pokok yang telah dimiliki secara alamiah
bertambah besar atau bertambah jumlahnya. Misalnya pohon-pohoan (sebagai benda
pokok) bertambah banyak sehingga jumlah pohon yang menjadi hak milik menjadi
bertambah.
v Melalui daluwarsa (verjaring), Cara
memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas hak
yang sah atau 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak (Ps. 610 BWI). Kadaluarsa
yang dimaksud disini adalah acquisiteve
verjaring, yakni suatu cara untuk memperoleh hak kebendaan setelah lampau
waktu tertentu, disisi lain tedapat extinctieve
verjaring yaitu suatu cara untuk dibebaskan dari suatu hutang setelah
terlampauinya waktu tertentu.
v Melalui perwarisan (erfopvolging) Cara memperoleh hak milik bagi
para ahli waris yang ditinggalkan pewaris. Disini para ahli waris memperoleh
hak milik menurut hukum tanpa harus ada tindakan penerimaan benda secara fisik.
Ahli waris bisa berupa ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) maupun
menurut wasiat (testament)
v Melalui penyerahan (levering atau overdracht). Cara
memperoleh hak milik karena adanya pemindahan hak milik seseoarang yang berhak
memindahkannya kepada orang lain yang memperoleh hak milik itu. Cara ini
merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam kehidupan masyarakat
sekarang. Perkataan levering mempunyai dua arti. Yang pertama berarti perbuatan
berupa penyerahan kekuasaan belaka atas suatu benda (feicelijke levering);
pengertian kedua berarti perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik
kepada orang lain (yuridische levering). Penyerahan hak milik atas benda
bergerak cukup dilakukan dengan penyerahan kekuasaan belaka atas benda itu,
sedangkan penyerahan hak milik atas benda tak bergerak harus dibuatkan suatu
surat penyerahan yang harus dituliskan dalam daftar hak milik. Mengenai
levering dari benda bergerak yang tidak berwujud dapat dibedakan atas :
v Levering
dari surat piutang atas tunjuk (aan tonder), berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI
dilakukan dengan penyerahan surat yang bersangkutan.
v Levering
dari surat piutang atas nama (op naam), berdasarkan Ps. 613 ayat (1) BWI
dilakukan dengan cara membuat akte otentik atau akte di bawah tangan (cessie).
Ini berarti pergantian kedudukan berpiutang dari kredirur lama (cedent) kepada
kreditur baru (cessionaris), sedangkan debiturnya dinamakan cessus. Jadi hak
berpiutang dianggap telah beralih dari cedent kepada cessionaris pada saat akte
cessie dibuat, bukan pada waktu akte cessie diberitahukan kepada cessus.
v Levering
dari piutang atas perintah (aan order) yang berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI
harus dilakukan dengan surat piutang tersebut disertai dengan endosemen, yaitu
menulis dibalik surat piutang yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut
dialihkan
a) Cara memperoleh hak milik yang tidak disebutkan dalam Ps. 584 BWI :
Pembentukan benda (zaaksvorming), yaitu dengan cara membentuk atau menjadikan benda yang sudah ada menjadi benda yang baru. Misalnya, kayu diukir menjadi patung, benang ditenun menjadi kain dlsb. Orang yang menjadikan atau membentuk benda baru tersebut menjadi pemiliknya (Ps. 606 BWI).
Pembentukan benda (zaaksvorming), yaitu dengan cara membentuk atau menjadikan benda yang sudah ada menjadi benda yang baru. Misalnya, kayu diukir menjadi patung, benang ditenun menjadi kain dlsb. Orang yang menjadikan atau membentuk benda baru tersebut menjadi pemiliknya (Ps. 606 BWI).
b) Penarikan hasilnya (vruchttrekking), yaitu benda yang merupakan
hasil/buah dari benda pokok yang dikuasainya, misalnya buah pisang dari pohon
pisang, anak sapi dari sapi yang dikuasainya (Ps. 575 BWI).
c) Percampuran atau persatuan benda vereniging), yaitu
perolehan hak milik karena bercampurnya beberapa macam benda kepunyaan beberapa
orang :
1) Jika
bercampurnya benda itu karena kebetulan, maka benda itu menjadi milik bersama
orang-orang tersebut, seimbang dengan harga benda mereka semula
2) .Jika
bercampurnya benda itu karena perbuatan seseorang pemilik benda, maka dialah
menjadi peimilik dari benda baru tersebut dengan kewajiban membayar
ongkos-ongkos, ganti rugi dan bunganya kepada para pemilik lain dari
benda-benda semula (Ps. 607-609 BWI).
d) Pencabutan hak (onteigening),, yaitu cara memperoleh hak milik
bagi penguasa dengan jalan pencabutan hak milik atas suatu benda kepunyaan satu
atau beberapa orang. Untuk melakukan hal ini penguasa harus mendasarkan
tindakannya pada undang-undang dan harus untuk tujuan kepentiangan umum dengan
disertai pemberian ganti rugi yang layak kepada (para) pemiliknya.
e) Perampasan (verbeurdverklaring), yaitu cara memperoleh hak milik
dari penguasa dengan jalan merampas hak milik atas suatu benda kepunyaan
terpidana yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
f) Pembubaran suatu badan hukum, yaitu dengan pembuabaran badan
hukum maka para anggota badan hukum dapat memperoleh bagian dari harta kekayaan
badan hukum tersebut (Ps. 1665 BWI).
Pasal 573 BW mengatur tentang adanya suatu benda yang
dipunyai oleh lebih satu orang, sehingga terjadi hak milik bersama
(medeeigendom) atas suatu benda, di mana dinyatakan bahwa membagi suatu benda
menjadi milik lebih dari satu orang, harus dilakukan menurut aturan-aturan yang
ditetapkan tentang “pemisahan” dan “pembagian” harta peninggalan. Sedangkan
aturan-aturan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan diatur dalam
Buku II Ps. 1066-1125 BWI.
2.3.
Konsep Harta Bersama dalam Hukum Perdata Indonesia.
Milik bersama dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
hak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom) dan hak milik bersama yang
teriikat (gebonden medeeigendom). Contoh hak milik bersama yang bebas adalah a,
b, dan c bersama-sama membeli sebuah komputer. Contoh hak milik bersama yang
terikat adalah hak milik bersama suami istri terhadap harta perkawinan,
terhadap harta peninggalan, terhadap harta kekayaan suatu badan hukum. Inti
perbedaannya adalah hak milik bersama yang bebas tidak mempunyai hubungan
apa-apa sebelum mereka bersama menjadi pemilik ssesuatu barang; sedangkan dalam
hak milik bersama yang terikat pemilikan bersama atas suatu benda itu justru
sebagai akibat dari hubungan mereka satu sama lain yang telah ada sebelumnya.
Perbedaan yang lain adalah bahwa di dalam hak milik bersama yang bebas terdapat
kehendak bersama dari beberapa orang untuk memiliki suatu benda; sedangkan di
dalam hak milik bersama yang terikat, kehendak untuk bersama sama menjadi
pemilik hampir tidak ada, yang semata-mata ada diantara mereka adalah karena
hubungan hukum yang telah ada sebelumnya.
Secara umum para ahli hukum mengatakan perbedaan
antara hak milik bersama yang bebas dengan hak milik bersama yang terikat
sebagai berikut :
a) Para pemilik
dalam hak milik bersama yang bebas dapat meminta pemisahan dan pembagian atas
benda yang merupakan milik bersama, sedangkan para pemilik di dalam hak milik
bersama yang terikat tidak dapat meminta pemisahan dan pembagian terhadap benda
milik bersama itu. Dalam hal ini terdapat keberatan / sanggahan dari para ahli
hukum yang lain oleh karena mengenai “harta peninggalan”, para ahli waris dapat
meminta pemisahan dan pembagian harta peninggalan tersebut.
a) Di dalam hak
milik bersama yang bebas, masing-masing orang mempunyai bagian yang merupakan
harta kekayaan yang berdiri sendiri, sehingga masing-masing berwenang untuk
menguasai atau berbuat apa saja terhadap benda tersebut tanpa memerlukan izin
dari pemilik yang lain; sedangkan di dalam hak milik bersama yang terikat, hal
yang demikian tidak mungkin sebab harus mendapat izin dari pemilik-pemilik yang
lain.
b) Di dalam hak
milik bersama yang bebas, tiap-tiap pemilik mempunyai bagian atas benda milik
bersama itu; sedangkan dalam hak milik bersama yang terikat tiap-tiap pemilik
berhak atas seluruh bendanya.
2.4.
Konsep Harta Bersama Dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan.
Pada
dasarnya konsekuensi dari perkawinan ialah adanya harta bersama yang disebabkan oleh proses percampuran
kekayaan.Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva baik
yang dibawa masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh
di kemudian hari selama perkawinan.[24]
Mengenai konsep harta bersama dalam perkawinan ini dituangkan di dalam
ketentuan KUHPerdata yaitu Pasal 119 yang secara rinci menyatakan, “ Mulai saat
perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta
kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak
diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh
ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri ”
Konsep
harta bersama menurut KUHPerdata yang bersumber pada Hukum Barat ini merupakan
penyatuan harta yang secara mutlak diperoleh maupun dibawa suami istri sebelum
dan selama perkawinan, hal ini terjadi apabila tidak ditentukan lain dalam perjanjian
kawin yang merupakan bukti satu-satunya atas keberadaan harta dalam perkawinan
yang pengurusannya dilakukan oleh pihak suami. Hal ini disebabkan oleh karena
suami memiliki hak marital untuk mengurus serta memelihara seluruh harta dalam
perkawinan yang akan berlangsung hingga putusnya perkawinan kecuali ditentukan
lain dalam perjanjian kawin.
Konsep
harta bersama menurut Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah
tertuang dalam ketentuan Pasal 35 ayat 1 yang menyatakan, “ Harta benda
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Harta bersama dalam Undang
Undang Perkawinan bersumber pada konsep Hukum Adat yang notabene tidak mengenal
perjanjian kawin. Persatuan harta dalam hal ini hanyalah meliputi harta benda
yang diperoleh selama perkawinan saja,sehingga harta bawaan yang dibawa
masingmasing suami istri ke dalam perkawinannya tetap berada pada kekuasaan
masingmasing pihak, kecuali ada persetujuan dari para pihak untuk menyatukan
harta bawaan mereka ke dalam harta bersama.Suami istri memiliki kedudukan yang
sejajar dalam mengurus harta bersama, karena kesepakatan antara kedua belah
pihak menjadi hal yang wajib ada apabila para pihak ingin melakukan perbuatan
hukum atas harta bersama mereka, sehingga hal ini menciptakan keterbukaan para
pihak dalam menggunakan harta bersama.
2.5. Akibat Hukum Putusan Kepailitan Suami Istri Terhadap Harta Bersama
Suami
istri dapat dinyatakan pailit apabila mereka mengalami keadaan tidak mampu
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai
dengan yang diperjanjikan kepada para kreditornya. Akibat hukum atas putusan
kepailitan yang dijatuhkan kepada suami istri terhadap harta bersamanya melalui
Putusan Pengadilan akan dinilai sebagai kepailitan bersama,sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 64 ayat 1 Undang Undang Kepailitan yang menyatakan, “
Kepailitan suami istri yang kawin dalam persatuan harta, diperlakukan sebagai
kepailitan persatuan harta tersebut “.Dalam ketentuan kepailitan pada harta
bersama baik pada konsep KUHPerdata dan Undang Undang Perkawinan tidak memiliki
perbedaan yang berarti.Dalam hal ini kepailitan suami atau istri mengakibatkan
juga pailitnya sang istri atau sang suami yang kawin dalam persatuan harta
kekayaan atau dalam perkataan lain atas harta kekayaan yang dimilikinya tidak
didasarkan atas perjanjian kawin atau pisah harta dalam perkawinan mereka.[25]Berdasarkan
ketentuan ini maka suami istri akan secara bersama-sama mempertanggungjawabkan
beban pembayarannya terhadap para kreditornya.
BAB III
3.1.
Kesimpulan
Kepailitan berhubungan erat dengan ketidakmampuan untuk
membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus
disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara
sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga.
Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang
piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga hak para
kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai kepailitan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang atau lebih dikenal dengan Undang- Undang Kepailitan
(UUK). Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Milik
bersama dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hak milik bersama yang bebas
(vrije medeeigendom) dan hak milik bersama yang teriikat (gebonden
medeeigendom). Harta bersama dalam Undang Undang
Perkawinan bersumber pada konsep Hukum Adat yang notabene tidak mengenal
perjanjian kawin. Persatuan harta dalam hal ini hanyalah meliputi harta benda
yang diperoleh selama perkawinan saja,sehingga harta bawaan yang dibawa masing-masing
suami istri ke dalam perkawinannya tetap berada pada kekuasaan masingmasing
pihak, kecuali ada persetujuan dari para pihak untuk menyatukan harta bawaan
mereka ke dalam harta bersama
Suami
istri dapat dinyatakan pailit apabila mereka mengalami keadaan tidak mampu
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai
dengan yang diperjanjikan kepada para kreditornya. Akibat hukum atas putusan
kepailitan yang dijatuhkan kepada suami istri terhadap harta bersamanya melalui
Putusan Pengadilan akan dinilai sebagai kepailitan bersama,sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 64 ayat 1 Undang Undang Kepailitan yang menyatakan.
3.2.
Saran
Untuk mendalami
Hukumkepailitan Sebagai bahan bacaankami menyarankan teman-teman membaca buku :
1. Hukum
Kepalitan Edisi II Oleh.Prof. Dr. Sunarmi SH.M.Hum cetakan Pertama 2010
2. Prinsip
Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia Edisi II Oleh.Prof. Dr.
Sunarmi SH.M.Hum. cetakan pertama 2010
3. Hukum
Kepailitan (Memahami UU. No. 37 Tahun 2004) oleh: Prof.Dr. Sutan Remy
Sjahdeini, SH. Cetakan Ke-IV 2010.
4. Aspek
Hukum Pasar Modal Indonesia,Oleh IrsanNasarudin SH, Dkk. Cetakan Ke I tahun
2008
3.3.
Penutup
Demikianlah
isi makalah ini kami buat sebagai pembelajaran bagi kami dan memenuhi
persyaratan untuk mendapatkan nilai Hukum kepailitan difakultas Hukum
Universitas Pamulang. Bilaada kekurangan dan kejanggalandalammakalah kami,
besarharapan kami teman-teman dapat memberikan saran dan kritik bagi sebagai
bahan evaluasi bagi kami dalam meningkat kwalitas penulisan dalam tugas-tugas
makalah selanjut.
Temakasih
yang sebesa-besarnya kami ucapkan kepada teman-teman yang telah membaca dan
member masukan atar makalah kami. Juga tidak lupa kami ucapkan Tarimakasih
kepada bapak Taufik kurrohman sebagai dosen pembimbing hukum kepailitan.
Daftar
Pustaka
1.
Ahmad Yani &
Gunawan Widjaja.2004. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta : Rajawali
Pers. hal 11
2.
Zulkarnain
Sitompul, dalam artikelnya berjudul Perlukah PT DI dipailitkan. http: //
zulsitompul. wordpress. Com
3.
Prof. Dr. Sutan
Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta : Grafiti Hal 5
4.
Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
5.
Prof.
Dr. Sunarmi ; “Hukum kepailitan” 2010. Hal. 7.
6.
Siti
Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
(Yogyakarta ; seksi hukum dagang fakultas hukum Universitas Gajah Mada, Cet.
Kedua) hal. 5.
7.
H.M.N.
Purwostjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8 (Jakarta, Penerbit
Jambatan, 1992), hal.29.
8.
Erma
rajagukguk, “perkembangan Peraturan hukum
dagang Indonesia”, Bahan Kuliah E Learning “Bankrupcy Law”, 2002, Hal.1
9.
Munir
fuady, Hukum Kepailitan 1998 dalam teori dan praktek (Bandung, Penerbit PT.
citra Adytia Bakti, 1999), hal.6
10. Dr. Freddy
Haris, Makalah Asas dan dasar Hukum kepalitan.
11. R. Subekti, Hukum
Acara Perdata, cet. 3, (Bandung: Binacipta, 1989), hal. 130
12. R. Soepomo, Hukum
Acara Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986),
hal. 119.
13. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. ke-26 (Jakarta:
Intermasa, 1994), hlm. 60.
14. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, hlm. 92
15. Dikutip oleh Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, hlm. 34.
16. Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. ke-4,
(Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 148.
17. Subekti, 1994, Pokok
Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Hal. 32.
18. Adrian Sutedi,
2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, Hal 53.
[1] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja.2004. Seri
Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta : Rajawali Pers. hal 11
[2] Zulkarnain Sitompul, dalam artikelnya
berjudul Perlukah PT DI dipailitkan. http: // zulsitompul. wordpress. com
[3] Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum
Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun
1998. Jakarta : Grafiti Hal 5
[4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004
[5]
Prof. Dr. Sunarmi ; “Hukum kepailitan” 2010. Hal. 7.
[6]
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran (Yogyakarta ; seksi hukum dagang fakultas hukum Universitas Gajah
Mada, Cet. Kedua) hal. 5.
[7]
H.M.N. Purwostjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8 (Jakarta,
Penerbit Jambatan, 1992), hal.29.
[8]
Prof. Dr. Sunarmi ; “Hukum kepailitan” 2010. Op,cit, hal.12 Hal. 9
[9]
Erma rajagukguk, “perkembangan Peraturan
hukum dagang Indonesia”, Bahan Kuliah E Learning “Bankrupcy Law”, 2002, Hal.1
[10]
H.M.N. Purwosutjipto, op,cit. hal.31
[11]
rma rajagukguk, “perkembangan Peraturan
hukum dagang Indonesia”,Op,cit, hal.12
[12]
Munir fuady, Hukum Kepailitan 1998 dalam teori dan praktek (Bandung, Penerbit
PT. citra Adytia Bakti, 1999), hal.6
[13]
Dr. Freddy Haris, Makalah Asas dan dasar Hukum kepalitan.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.
[16]
Ibid
[17]
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, “Hukum Kepailitan Memahami UU. No. 37 Tahun
2004 tentang kepailitan, Cet. IV 2010. Hal. 10
[18]
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, cet. 3,
(Bandung: Binacipta, 1989), hal. 130
[19]
R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, cet.
9, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986), hal. 119.
[20]
Benda
adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, cet. ke-26 (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm. 60.
[21]
Sayuti
Thalib, Hukum Kekeluargaan, hlm. 92
[24] Subekti, 1994, Pokok Pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Hal. 32.
[25] Adrian Sutedi, 2009, Hukum
Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, Hal 53.
Posting Komentar