Beberapa hari belakangan ini, laman dimedia massa banyakmemuat tetang Rencana Pemerintah DKI Menertibkan Pemukiman Warga kalijodo. Pemerintah DKI mempersiapkan mulai dari pengerahan tentara dan polisi, digambarkan Situasi DKI dalam keadaan darurat menghadapi perang. Samapai-sampai gubernur dan Kapodanya mengeluarkan pernyataan dimedia massa yang menurut kami sangat melukai Hati Rakyat. Lantas Apakah Pantas Pemerintah DKI memperlakukan Warga negara dan Bangsa Sebiadab itu…?
Sementara jelas kita tahu pemukiman dikawasan Kalijodo semenjak Tahun1930-an, sudah dikenal sebagai tempat pesiar dan liburan muda- mudi atau tempat muda mudi berkumpul untuk mencari jodoh. Keberlangsungan kehidupan masyarakat Secara terus-menerus dan turun-temurun didalam suatu wilayah tentunya pemerintah DKI harus mengedepan diplomasi yang beradab sebagai bangsa dan Musyawarah dengan Warga kalijodo harus dikedepankan. Bukan malah menunjukkan arogansi melebihi preman berpakaian seragam dengan melibatkan polisi dan tentara. Jika kita melihat dengan Jujur Histori Agraria tentu hal ini, juga dapat menjadi Rujukan dan gambaran bagi kita tentang Status Hukum Tanah Pemukiman Warga Kalijodo Tersebut.
Disamping hal tersebut diatas, dimedia massa dan media sosial beredar kabar yang menggambarkan pemukiman warga Kalijodo merupakan tempat Pronsitusi. Jika kita melihat Secara jujur lagi, Sebanyak Sekitar 195 jumlah PSK yang memilki KTP DKI Jakarta, 250 orang penghuni yang tidak memiliki Ktp dan karena kebutuhan pekerjaan sebagai pramusaji sebanyak 500 orang. Jika ditambah dengan Pekerja lain, maka jumlah total yang terlibat dalam bisnis yang ditudukan pemerintah DKI dan Masyarakat luas Sekitar 1.405 orang.
Sementara Keseluruhan Pemukiman Kalijodo Terdiri dari RT 01, 03, 04, 05 dan RT 06 di RW 05 ditinggalin Sebanyak 1.340 KK dengan jumlah 3.052 jiwa tercatat sebagai penghuni. Di kawasan seluas sekitar 1,6 hektare terdapat sebanyak 250 bangunan permanen, 300 bangunan semi permanen dan 90 persen diantaranya memiliki PBB. Dari jumlah bangunan, 58 diantaranya merupakan kafe, 1 pabrik, 2 musala, 1 gereja, kantor RW dan PAUD.
Sering kita mendengan Pemerintah DKI mengatakan Pemukiman-pemukiman yang menjadi Korban Gusuran Masuk Dalam Jalur Hijau. Kapan Pemerintah DKI dan Masyarakat DKI Jakarta Mengenal Istilah Jalur Hijau?
Kita mengenal Istilah Jalur Hijau atau pemenrintah DKI mulai menuduh korban gusuran dengan sebutan hunian kumuh dalam jalur hijau. semenjak diundangkannya Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan PERDA Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi. Namun Pada kenyataannya jika kita melihat Peta Tata Ruang DKI yang membagi wialayah Jakarta kepada Jalur Hijau, Jalur Kuning Dan Jalur Merah yang dibuat berdasarkan PERDA tersebut masih banyak Hak Guna Usaha dan Hak Milik Masyarakat Jakarta diatas Tanah yang merupakan Jalur Hijau, Jalur Kuning Dan Jalur Merah, yang Telah diterbitkan oleh Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor : 05 Tahun 1960 Sebulum Diundangkannya PERDA itu. Dimana yang Semestinya Sertifikat Hak itu dibatalkan Secara hukum oleh Pemerintah DKI Jakarta. Tidak adanya Pemebatalan Sertifikat Hak Atas tanah yang dimiliki warga DKI Jakarta yang masuk kepada kepeta Rancangan Tata Ruang Pemerintah DKI Jakarta dalam menjalankan pembangunan merupakan Arogansi dan Kebiadaban Pemimpinnya.
Pertanyaanya : Lantas Apakah Hak kepemilikan atas tanah oleh warga Negara yang diterbitkan Pemerintah batal begitu saja tanpa proses hukum dengan diberlakukannya Perda No. 1 Tahun 2012 Tentang Rancangan Tata Ruang dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi.?
Dalam Pasal 3 Perda No. 1 Tahun 2012 mengatakan “ Untuk mewujudkan visi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, misi pembangunan Daerah sebagai berikut: a. membangun prasarana dan sarana kota yang manusiawi; b. mengoptimalkan produktivitas kota sebagai kota jasa berskala dunia; c. mengembangkan budaya perkotaan; d. mengarusutamakan pembangunan berbasis mitigasi bencana; e. menciptakan kehidupan kota yang sejahtera dan dinamis; dan f. menyerasikan kehidupan perkotaan dengan lingkungan hidup”
Jika pemerintah DKI melakukan Cara-cara yang Biadab dengan mengumpukan tentara dan Polisi dengan memposisikan masyarakat yang bermukim dikali jodo sebagai Area Perang yang harus diserang dengan kekerasan, dalam merelokasi berdasakan Tata ruang tentu sangat bertentangan dengan Poin-poin yang disebutkan dalam Pasal 3 Perda No.1 Tahun 2012 tersebut.
Merujuk pada Pasal 10 Undang-udaang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan tanah Untuk Pentingan umum menyebutkan “Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan: a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum; k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; r. pasar umum dan lapangan parkir umum
Sedangkan Pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah Menyatakan :
(1) Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disusun dalam bentuk dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang paling sedikit memuat: a. maksud dan tujuan rencana pembangunan; b. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah; c. letak tanah; d. luas tanah yang dibutuhkan; e. gambaran umum status tanah; f. perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah; g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan; h. perkiraan nilai tanah; i. rencana penganggaran.
(2) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
(4) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Kemudian dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 190 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Santunan Kepada Penggarap Tanah Negara menyebutkan pada Pasal 2 Ayat 1 tentang Syarat Pemberian Santunan yang berbunyi “Pemberian santunan kepada penggarap tanah Negara harus memenuhi kriteria sebagai berikut :a. tanah yang digarap bukan aset Pemerintah Pusat / Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; b. tanah digarap secara langsung oleh penggarap dengan itlkad balk; dan c. memiliki bukti garap yaitu :
keterangan garap dari Bupati / Walikota untuk luas tanah lebih dari 2 ha (dua hektar) sampai dengan 10 ha (sepuluh hektar) yang diterbitkan sebelum tahun 1999;
keterangan garap dari Camat untuk luas tanah kurang dari 2 ha (duel hektar) yang diterbitkan sebelum tahun ‘1999; atau .
surat pernyataan tertulis menggarap tanah negara yang dibuat penggarap dan diketahui Camat dengan memperhatikan pertimbangan Lurah.
PadaPasal 2 Ayat 2 Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 190 Tahun 2014 menyatakan tentang yang dimaksud Pertimbangan Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf C angka 3 berisi sebagai berikut : a. penggarap yang memakai, menduduki, mengerjakan dan/atau menguasai tanah negara dengan itikad baik; b. tanah tidak dalam sengketa; c. dinyatakan benar oleh 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunjai hubungan keluarga dengan penggarap sampai derajat kedua, baik kekerabatan vertikal maupun horizontal; dan c. dibuktikan dengan pembayaran pajak atas nama penggarap paling sedikit 5 (lima) tahun secara berturu turut.
Oleh Baginda Ali Zubeir Hasibuan
Lantas mengapa ahok mengatakan ini..?
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/02/17/o2oaqm282-ahok-alexis-surga-dunia-tapi-saya-tak-bisa-menutupnya
Home »
Hukum
» Apakah Pantas Pemerintah Yang Tidak Memiliki Hak Mengerahkan Polisi Dan Tentara Untuk Mengusir Pemegang Bukti Hak Atas Tanah Air..?
Apakah Pantas Pemerintah Yang Tidak Memiliki Hak Mengerahkan Polisi Dan Tentara Untuk Mengusir Pemegang Bukti Hak Atas Tanah Air..?
Written By Unknown on Rabu, 17 Februari 2016 | 15.11
Related Posts :
Label:
Hukum
+ Curhat yuk + 2 Curhat yuk
Oh ... Maksudnya Salpol PP saja yang beralat pentungan supaya bisa dilawan oleh preman yang bersenjatakan parang, golok, clurit, ketepel, panah, tombak ... senjata rakitan ?
Oh ... Maksudnya Salpol PP saja yang beralat pentungan supaya bisa dilawan oleh preman yang bersenjatakan parang, golok, clurit, ketepel, panah, tombak ... senjata rakitan ?
Posting Komentar