Sabtu, 9 Maret 2013 Oleh TiKa D Pangastuti
Yang aku rasakan saat
ini adalah aku tak takut menghadapi gejolak apapun. Aku beranggapan suatu saat
akan mengalami kematian. Tapi apa yang sudah kita berikan untuk hidup ini, amal
baik dengan perbuatan baik? Mengerjakan perintah Tuhan? Bersenang-senang? Memenuhi
nafsu? Atau menuntut ilmu dan memberikan sumbangsih bagi kehidupan? Semua itu
ada ditangan diri sendiri.
Yang pasti aku merasa
siap menjalani hidup dengan cara yang berbeda dari orang kebanyakan. Aku
belajar dari nol kecil yang tak menahu apa-apa perihal hakikat hidup dan
kehidupan. Tujuan hidup sudah ku tentukan sedari aku masih sekolah dasar. Pada
waktu tersebut aku berpikir kurang lebih seperti ini: aku harus tahu mengapa
aku hidup. Yang kedua aku mesti belajar banyak tentang ilmu. Karna sudah 20
tahun aku hidup, aku pernah mempelajari semua agama yang dianut orang. Kecuali
paham animisme dan dinamisme, yang mana aku belum tertarik untuk mengetahui.
Selain itu kelebihanku adalah punya motivasi tinggi untuk belajar, mencoba dan
berpikir. Yang ketiga, aku berprinsip bahwa aku harus Hablumminannas berhubungan baik dengan sesame, sebelum aku Hablumminallah berhubungan dengan sang
pencipta. Tentu itu aku jalani secara selaras dengan perbuatanku. Tapi bukan
berarti aku tak mengalami kesulitan. Yang menjadi tantanganku ketika aku
mencoba merasionalisasi dengan keadaan di sekitarku mulai dari tempat tinggal,
di kelas, di kampus bahkan di pertemananku sendiri. Aku sudah pasti dikatakan
orang yang tidak jelas, ya….menurut penilaian mereka itu. Entah mengapa aku
sendiri juga tak terlalu memikirkan anggapan itu. Aku cenderung berprinsip “ini
jalan hidup saya”. Aku berbagi pengalaman, keilmuan, kebersamaan dan belajar
mengenai manusia dari teman-teman terdekatku yang secara penampilan tidak
terlalu ‘kaya’. Tetapi pengalaman dan keilmuan mereka dalam menghadapi manusia
dan gejolaknya sangat memotivasiku untuk terus istiqomah dan terus belajar.
Dalam konteks ini belajar yang aku maksud bukanlah belajar pasif atau mentah
sekedar dengan buku-buku, tetapi lebih kepada dialog antar manusia., yang
kesemuanya itu aku dapat informasi tambahan dari buku-buku pengetahuan ilmiah,
popular, mistika, logika dan dialektika.
Alhamdulilah…aku sampai
dalam titik dalam berpikir itu. Tentu aku punya batas waktu hingga kapan aku
belajar seperti ini. Karena seluruhnya apapun yang kita kerjakan akan dituntut
pertanggung jawabannya didepan yang maha kuasa, sesuai keyakinanku. Aku belajar
seperti ini bukan karena ikut-ikutan teman, gaya atau tidak punya teman. Justru
berkat kemauanku sendiri yang dilandasi rasa ingin tahu dan aku ingin
menerapkan jalan hidup yang sudah aku diskusikan dengan pemikiranku.
Upaya rasionalisasi
yang aku maksudkan, tak semua orang mengerti dan menerima. Bahkan teman-temanku
satu kelasku dan sebagian teman-teman mahasiswa. Ada rekan baikku satu kampus
namun berbeda fakultas yang seirama dengan pemikiranku. Mereka yang tak mampu
memahami rasionalisasi ku itu memang tercatat dalam nama mahasiswa/I di
perguruan tinggi swasta ter’populer’ di tangerang selatan sebagai calon kaum
intelektual, ketika aku bicara mengenai hakikat hidup dan ilmu kita di
persembahkan untuk siapa, mereka menggeleng lugu pertanda tak tahu dan
menganggapku ‘orang gila’. Padahal itu pertanyaan mendasar yang sekiranya sudah
mamapu dijawab bagi penyandang status akademik. Aku heran dan gelisah ‘apa sih
yang mereka cari dalam hidup ini?’ bukankah FILSAFAT mengajarkan kita mesti
berpikir sampai pada hakikatnya?
Aku pribadi merupakan
seorang muslim yang sangat menerapkan
hablumminannas dan hablumminallah yang
pernah Rasul ajarkan. Aku seorang jawa
asli dari darah keturunan ayah dan ibuku dari islam yang tak ortodoks yang
ketiga aku merupakan hamba Allah yang masih belum sempurna. Aku sedari kecil
sudah biasa dengan permasalahan dan cobaan. Aku perlahan menerima ittu semua
dengan lapang dada, yang menjadikanku lebih bersyukur, berpikir dan mandiri.
Ibu….ingin aku menangis
dipelukmu. Anakmu telah sampai pada hakikat yang kau ajarkan dulu dengan cinta, kasih sayang dan kesederhanaan.
Bukan dengan kemewahan yang kan membuatku lupa akan kuasa Tuhan.
Ayah….ingin aku
memelukmu. Anak perempuanmu sedang mencari jati dirinya. Meskipun anak
laki-lakimu mengalami keterbatasan, aku mampu menjadi rekan pembicaraanmu dalam
menikmati secangkir kopi.
Tuhan….bimbing aku terus
agar aku tidak tergelincir dalam kenistaan dan dusta anak adam kebanyakan.
Aku ingin menjadi
manusia yang apa adanya namun berguna bagi sesama.
Posting Komentar