Headlines News :
Home » » Makalah Perbandingan hukum perbankan dalam praktek pelaksanaan Prinsif Konvensional dan Prinsif Syariah

Makalah Perbandingan hukum perbankan dalam praktek pelaksanaan Prinsif Konvensional dan Prinsif Syariah

Written By Unknown on Sabtu, 23 Agustus 2014 | 07.33


Oleh : Baginda Ali Zubeir Hasibuan

BAB I
PANDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Roda perekonomian didalam suatu  Negara, tidak terlepas dari peran dan fungsi bank dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat di sutu Negara. Kemudian pelaksanakan pemhimpunan dan penyaluran dana masyarakat tersebut perlu diawasi dan diatur dengan Suatu Peraturan Hukum yang diharapkan dapat menciptakan ketertiban dan Kepastia hukum, serta menjamin Rasa adil bagi Masyarakat dalam aktifitas Perbankan itu sendiri.
Pada awalnya Bank hanyalah tempat penyimpanan benda-benda berharga milik Saudagar yang khawatir terhadap kejahatan pencurian. Kemudian Perbankkan pertama kali dirikan di Itali, Kota dagang Venesia dan Goa pada awal abad  ke-14. sedangkan  Di Indonesia sendiri Bank  dikenal Tahun 1824, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda yang dikenal dengan nama Handel Maatchappi (NHM), yang sekarang kita kenal dengan Bank Ekspor Impor (BEI). [1]
Seiring berjalannya waktu, Perbankan juga mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Diindonesia sendiri yang mayoritas penduduknya menganut Agama Islam, hal ini, mendorong Perkembangan sistem Perbankan dan hukum perbankan yang mengandung nilai-nilai dan Prinsif-prinsif Ajaran Agama Islam. Sehingga dalam penerapan Hukum perbankan dalam praktek Perbankkan diindonesia menganut dua prinsif antara lain: a.Prinsif Perbankan Konvensional b. Prinsif Perbankan Syariah.
Hal inilah yang mendorong kami kelompok VII dalam menulis makalah yang berjudul “Perbandingan hukum perbankkan dalam praktek pelaksanaan Prinsif Konvensional dan Prinsif Syariah” untuk memenuhi Tugas mata kuliah Perbandingan Hukum, Sebagai persyaran untuk mendapat nilai Smester VI di Fakultas Hukum Universitas Pamulang.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami hanya berfokus pada pembahasan tentang masalah-masalah yang telah kami rumuskan dibawah ini :
1.                  Apakah perbedaan Penerapan Hukum perbankkan dalam Praktek pelaksanaan Prinsif Konvensional dan Prinsif Syariah.?
2.                  Bagaimana Penerapan Hukum perbankkan dalam Praktek pelaksanaan Prinsif Konvensional dan Prinsif Syariah.?
C.    Tujuan
1.                  Tujuan Secara Praktis
Dalam penulisan makalah ini, secara praktis kami bertujuan untuk memenuhi tugas perbandingan hukum sebagai persyaratan mendapatkan Nilai mata kuliah Perbandingan Hukum difakultas hukum, Universitas Pamulang.
2.                  Tujuan Secara Akademis
Dalam penulisan makalah ini, Secara Akademis kami bertujuan Melatih kemampuan kami dalam menulis karya Ilmiah dan memperkaya wawasan Ilmu pengetahuan kami serta memperbanyak referensi yang kami ketahui tentang Hukum Perbankkan dan Perbandingan Hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Beberapa Pengertian
Secara terminologi “bank” berasal dari bahasa Italy “banca” yang berarti bence yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan pihak banker Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk dibangku-bangku di halaman pasar.[2] Istilah inilah yang kemudian pada perkembangannya dimasa sekarang digunakan dengan Kata Bank.
Bila kita melihat Pengertian Bank yang disebutkan didalam Penjelasa Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankkan. Maka dapat kita artikan Bank adalah adalah Badan Usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalukannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.[3]
Hukum yang mengatur masalah perbankan adalah hukum perbankan. Hukum ini merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut.[4]
Sedangkan menurut Drs. Muhammad Djumhana, S.H pengertian hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.[5]
Pengertian tentang perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II Pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Jika diperhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak  atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari suatu atau lebih badan hukum.[6]
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.[7]
B. Sejarah Perbankkan diindonesia.
Pada periode kedudukan Belanda, bank di Indonesia didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda pada 1824 dengan nama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), dan pemerintah Hindia-Belanda bertindak sebagai salah satu pemegang saham utama. Bank tersebut didirikan untuk untuk mengisi kekosongan akibat likuidasi vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang, kendati telah menguasai hampir seluruh kawasan nusantara sekitar dua abad (1602 – 1799) , mengalami kebangkrutan . sekarang ini NHM telah berubah menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII).[8]
Pemerintah Hindia-Belanda juga mendirikan De Javasche Bank (1827), kini Bank Indonesia (BI),dan NV Escomto Bank, sebuah bank swasta yang dikenal sebagai Bank Dagang Negara (BDN). Beberapa koperasi simpan – pinjam yang didirikan di kalangan petani pada 1895 di Purwekerto, pada 1934 digabungkan oleh pemerintah belanda ke dalam Algemeene Volksscrediet Bank (AVB).[9]
Periode awal kemerdekaan di Indonesia , setahun setelah kemerdekaan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1946 yang menegaskan lahirnya Bank Nasional Indonesia (BNI), yang peresmianya dilakukan pada 17 agustus 1946. Tugas BNI , sebagaimana tercantum dalam peraturanya adalah mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas bank disamping pemegang uang kas Negara. Pada kenyataannya tugas BNI adalah mengatur peredaran uang RI (ORI – Oerang Repoeblik Indonesia) sebagai uang kertas pemerintah, disamping menarik uang masa pendudukan jepang dan menggantinya dengan ORI.
Periode 1988 – Sekarang, pada tanggal 27 Oktober 1988 Menko Ekuin Radius Prawiro mengumumkan serangkaian kebijakan baru yang merupakan paket deregulasi dibidang keuangan moneter dan perbankan (KMP). Paket kebijakan ini lebih dikenal dengan sebutan Pakto 1988. Puncak dari periode ini adalah diberlakukanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada 25 maret 1992 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, yang sudah berumur 25 tahun. Isinya telah mengalami perubahan dan penyempurnaan dari isi aslinya.[10]
Maka dari itu adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Uomor7 Tahun 1992 dikarenakan perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk Perbankan dan dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional dibidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang perekonomian khususnya sektor Perbankan.
C. Landasan Yuridis Hukum Perbankkan diindonesia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum perbankan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan. Tentu untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai pengertian hukum perbankan tidaklah cukup hanya dengan memberikan suatu rumusan yang demikian. Perlu adanya pengertian dari beberapa para ahli, seperti :
Menurut Muhammad Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai kumpulan kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensi, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.[11]
Ketentuan yang secara khusus mengatur atau yang berkaitan dengan perbankkan tersebut dapat ditemukan dalam :
1.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
2.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia;
3.      Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;
4.      Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama ketentuan Buku II dan Buku III mengenai Hukum Jaminan dan Perjanjian;
5.      Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), terutama ketentuan Buku I mengenai surat-surat berharga;
6.      Faillissement Verordening (Peraturan Kepailitan) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 1998 yang disahkan menjadi Undang-Undang dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998;
7.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
8.      Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
9.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing World Trade Organization;
10.  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
11.  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
12.  Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
13.  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah;
14.  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
15.  Undang –Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankkan syariah.
Yang kami sebutkan diatas merupakan Dasar Hukum Perbankkan dalam praktek perbankkan diindonesia.
D. Sistim Ganda Perbankan Dalam Praktek Pelaksanaan Hukum Perbankkan diindonesia.
Dalam melaksanakan usaha perbankan diindonesia, mengenal Sistim Ganda atau dua Jenis Sistem dalam pelaksanaannya, Antara lain :
1. Bank Yang Berdasarkan Prinsif Konvensional.[12]
Mayoritas bank yang berkembang diindonesia dewasa ini adalah bank yang berorentasi pada prinsif konvensional. Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga kepada Nasabahnya, bank yang berdasarkan prinsi Konvensional menggunakan 2 (dua) Metode yaitu :
a)      Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan giro, tabungan maupun deposito, demikian pula harga untuk produk Pinjama (Kredit), juga ditentukan dengan tingkat suku bunga tertentu.
b)      Untuk Jasa-jasa bank lainnya, pihak perbankan diluar negeri menggunakan atau menerapkan biaya-biaya dalam nominal atau prosentase tertentu.
2. Bank Yang berdasarkan Prinsif Syariah.
Bank berprinsif syariah belum lama dikembangkan diindonesia. Dalam penentuan harga produk sangat berbeda dengan bank berdasarkan prinsif konvensional. Menurut pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor.10 Tahun 1998, Prinsif syariah adalah :
Aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain, untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lain yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan yang berdasrkan prinsif bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsif penyertaan modal (musharakah), prinsif jual-beli barang dengan prinsif keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsif sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak oleh pihak lain”[13]
E. Perbandingan Prinsif Konvensional dengan Prinsif Syariah Dalam Praktek Pelaksanaan Hukum Perbankkan diindonesia.
Dalam praktek pelaksanaan hukum  perbankan diindonesia, tidak terlepas dari ruang lingkup hukum perjanjian dan atau perikatan. Hal ini disebabkan Bank  berfungsinya sebagai Lebaga Negara atau Badan hukum  Penghimpun dan penyalur dana, yang tidak Terlepas dari Masyarakat sebagai nasabah penyimpan dan atau Nasabah debitur.[14]  Hubungan Bank  dengan masyarakat sebagai nasabah Penyimpan dan Nasabah Debitur terikat ketentuan Hak dan kewajiban. Mesti pun didalam UU No. 8 tahun 1998 tentang Perbankkan tidak mengatur secara Spesifik tentang Hak dan Kewajiban Nasabah dan Bank. Namun Suatu hubungan hukum  antara dua orang atau dua pihak, berdasakan mana pihak yang satu berhak menuntut  pihak yang lain dan pihak yang lain berhak memenuhi tuntutan itu disebut dengan perikatan.[15]
Pasal 1233 KUHPerdata menerangkan bahwa perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang. Kata perjanjian berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[16]
Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[17] Sedangkan menurut R. Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.[18]
Syarat dan Ketentuan hukum yang mengikat hubungan  antara bank dengan Masyarakat sebagai Nasbahnya diatur dalam Pasal 1320 KUHperdata antara lain :
a)      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b)      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c)      Suatu hal tertentu
d)     Suatu sebab yang halal.[19]
Dari Syarat dan ketentuan hukum yang mengikat hubungan antara Bank dengan masyarakat sebagai Nasabahnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KHUPerdata diatas. Maka dapat kita kelompokkan menjadi dua, dimana Poin (a) dan poin (b) merupakan syarat Subyektif sedangkan Poin (c) dan poin (d) merupakan Syarat Obyektif yang harus dipenuhi masing-masing Pribadi Bank dan Nasabahnya.[20]
Kemudian dari Syarat Obyektif yang disebutkan diatas jugalah, yang mendorong perkembangan Perbankkan sesuai dengan kebutuhan Masyarakat yang mayoritas Islam. Dimana dalam praktek pelaksanaan  Hukum Perbankkan diindonesia melahirkan dua Prinsip perbankkan yang berbeda antara lain : 1) Prinsif Konvensional dan 2) Prinsif Syariah.
E.1 Ketentuan Perjanjian dalam Praktek Pelaksanaan Hukum Perbankkan dengan Prinsif Konvensional.
Sebulum membuat perjanjian dalam memberikan kredit kepada masyarakat, Pihak Bank yang menganut Prinsif Konvensional sengat memperhatiakan Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:[21]
a)      Character (watak);
b)      Capacity (Kemampuan);
c)      Capital (Modal);
d)     Conditions; and
e)      Collateral (Jaminan).
Dalam praktek pembutan perjanjian dalam Perbankan yang Menganut Prinsif Konvensional, keseluruhan mengacu kepada Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang telah ditentukan didalam KUHperdata. Namun dalam merumuskan klausul perjanjian sebelum memberikan kredit kepada masyarakat pihak bank akan memperhatiakan prinsif-prinsif yang telah disebutkan diaatas. Ketentuan lain yang diatur didalam undang-undang dalam pemberikan kredit kepada masyarakat yang berkaitan dengan Jaminan. Jaminan dari sudut pandang Bank sebaga Pemberi kredit antara lain :
a)      Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
b)      Jaminan umum dan jaminan khusus
c)      Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan
d)     Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
e)      Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
f)       Jaminan regulative dan jaminan non regulative
g)      Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
h)      Saham sebagai agunan tambahan
Dengan adanya ketentuan hukum yang mengatur tetang berbagai jaminan yang disebutkan diatas, maka Jamian inilah yang akan melahir Hak dan Kewajiba diantara Hubungan Pihak Bank dengan Masyarakat.
E.2. Ketentuan Perjanjian dalam Praktek Pelaksanaan Hukum Perbankkan dengan Prinsif Syariah.
Sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas Fungsi Bank adalah Menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maka adapun hal-hal yang harus disepakati Tentang “Sesuatu Hal tertentu” yang disebutkat dalam pasal 1320 KUHPerdata dalam Menghimpun dan Menyalurkan dana dari atau kepada masyarakat dalam Praktek Perbankkan dengan prinsif Syariah sebagai berikut :
1.      Penghimpunan Dana Masyarakat dalam Praktek Pelaksanaan Hukum Perbankkan dengan Prinsif Syariah
Dalam menghimpun dana dari masyarakat Perbankan yang menganut prinsif syarih akan lebih memperhatikan hal-hal sebagai berikut, dalam merumuskan Kalusul perjanjian :
a)      Prinsif Al-Wadia’ah
Menurut penyusun Eksiklopedi Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru seperti Wadi’ah, Hadiah, hal ini karena tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan baik dalam membantu sesama, oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu transaksi yang tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal birri wattaqwa). Dalam akad ini pihak yang berbuat kabaikan (dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi (cover the cost) kepada nasabah (counter-part) tetapi tidak boleh mengambil laba dari akad ini.
b)     Prinsif Al-Mudharabah
Secara teknis Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah ayat  198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para sahabat.Secara umum  Mudharabah terbagi kepada dua jenis, pertama mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
2.2. Penyaluran Dana Kepada Masyarakat dalam Praktek Pelaksanaan Hukum Perbankkan dengan Prinsif Syariah
Dalam menyalurkan dana kepada masyarakat Bank yang mengnut prinsif syariah,menitik beratkan pada hal-hal dibawah ini dalam pembuatan klausul perjanjian :
a) Al-Mudharabah
Pembiayaan dimana seluruh dari modal usaha/kerja yang dibutuhkan nasabah ditanggung oleh bank. Skim pembiayaan jenis ini, bank bertindak sebagai shahibul maal dan pengelola usaha disebut bertindak sebagai mudharib (pengelola dan)[22] Fasilitas ini dapat diberikan pada jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi bagian bank.
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.[23] Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.”[24] Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.[25]
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.[26] Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[27]
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan  tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad.[28]
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagangan.[29] ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’[30]. 
B). Al-musyarakah
Pembiayaan yang khusus untuk modal usaha/kerja, dimana dana dari bank merupakan bagian dari saham/modal usaha/kerja nasabah. Musyarakah merupakan akad antara dua orang atau lebih dengan menyetorkan modal dan dengan keuntungan dibagi sesama mereka menurut porsi/nisbah yang disepakati.  Musyarakah lebih dikenal dengan sebutan syarikat merupakan gabungan pemegang saham/modal untuk membiayai suatu proyek, keuntungan dari proyek tersebut dibagi menurut persentase yang disetujui dan seandainya proyek tersebut mengalami kerugian maka beban kerugian tersebut ditanggung bersama oleh pemegang saham/modal secara proporsional[31].
Akad Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana  dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.
Akad Musyarakah adalah akad kerja sama yang didasarkan atas bagi hasil, Berbeda dengan Akad Mudharabah di mana pemilik dana menyerahkan modal sebanyak 100% dan pengelola dana berkontribusi dalam kerja. Musyarakah merupakan akad kerja sama diantara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan . Dalam musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha tersebut.
c) Al-Bai’u Bithaman Ajil (Akad jual barang dengan cicilan)
 yakni Kredit bagi mereka yang ingin memiliki barang-barang yang bersifat konsumtif ataupun produktif. Misalnya ingin membeli TV atau alat elektronik lainnya, kendaraan, penunjukan tempat pembelian, dll. BS/BMT yang akan membayar semua transaksi tersebut, kemudian orang tersebutlah yang akan mencicil harga barang tersebut sesuai dengan kesepakatan dengan akad jual beli. Keuntungannya bahwa segala barang yang ditangannya dan telah dinikmatinya tidak terhitung sewa seperti yang biasa ada pada lembaga pembiayaan umumnya sangat merugikan pihak orang yang mencicil barang. Dalam hal ini BMT-U berbeda di maka Barang tersebut telah dianggap menjadi miliknya. Hanya penyitaan terhadap barang tersebut dilakukan adalah dengan akad rohan (jaminan) untuk membayar sisanya. Bila tidak mampu maka akan dilelang sesuai dengan hukum Islam yang disebut dengan Muzayyadah. Tujuannya agar suatu barang tetap berharga tinggi tidak dibawah standard, harga jual tersebut adalah untuk membayar sisa cicilan kemudian sisanya untuk orang tersebut.[32]
d) Al-Ijarah
(ambil untung), yakni pembelian suatu barang dengan pembayaran yang ditanggungkan. Misalnya tuan A ingin mengajukan permohonan murabahah berupa pembelian bahan baku kertas sebesar Rp.100.000.000,- . BI/BS mengevaluasi kebenarannya, ternyata layak untuk dibelikan bahan baku tsb. Kemudian BI/BS membelinya secara langsung kepada pihak penjual bahan baku kerta dan menjualnya kepada tuan A untuk membayarnya dalam jangka waktu 6 bulan dengan harga Rp.115.000.000,-. Cara ini mirip dengan Al Bai`u Bithaman Ajil (Akad jual barang dengan cicilan),hanya bedanya pada pembiayaan untuk permodalan.[33]
Pembiayaan Ijarah ; yakni BI/BS melakukan pembelian pada suatu aset kemudian nasabah menyewa aset tsb untuk jangka waktu yang disepakati di mana apabila dalam jangka waktu tersebut dapat dipenuhi oleh nasabah maka barang tsb akan diberikan kepada nasabah. Akad ditetapkan dengan istilah Ijarah atau penyewaan.
2.3. Sebab yang halal dalam Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Masyarakat Pada Praktek Pelaksanaan Hukum Perbankkan dengan Prinsif Syariah
Bank Konvensional yang notabennya lembaga keuangan yang didalamnya terjadi transaksi keuangan berupa Simpan dan peminjaman. Maka dalam pemenuhan tentang suatu sebab yang halal, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1320 KUHperdata berbeda dengan Sabab yang halal yang anut didalam Bank syariah. Dalam membuat suatu perjanjian pada kegiatan aktifitas transaksi Bank konvesinal melihat sebab yang halal itu, hanya sebatas perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang. Sedangkan Memperjual belikan Uang tidak Dilarang Undang-undang demikian juga dalam hal membungakaan Uang juga tidak dilarang oleh undang-undang. Maka dalam klausul perjanjian dengan berabagi transaksi apapun Bank konvesional selalu menentukan niali Suku bunga yang harus diberikan atau diterima nasbahnya.
Sedangkan Bank syariah yang lebih menganut hukum Islam berbanding terbalik dengan sistim transaksi yang dilakukan bang konvesional. Hal ini disebab dalam membuat perjanjian dan memenuhi sebab yang halal pada Perjanjian tersebut, bank syariah melihat bahwa Bunga Uang merupakan hal yang diharamkan didalam hukum isalam, demikian juga dengan menjual-belikan uang. Sehingga dalam perumusan klausul perjanjian antara pihak bank dengan nasabahnya tunduk terhadap nilai-nilai hukum islam. Dan juga sistem akad jual beli (al Bai`I), tabungan sistem bagi hasil, pembiayaan dengan transaksi jual, di mana tidak ada menggunakan sistem bunga pada uang. Seperti maksud hadis sbb :
حَدِيثُ أُسَامَةَ بِنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَة
Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Sesungguhnya Nabi s.a.w pernah bersabda:Sesungguhnya riba itu terdapat dalam kelebihan bayarannya. Bukhari Muslim
َعنْ عَلِيّ رع قَالَ قَالَ رسول الله صلعم كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا ح ابن اسمه
Dari Ali r.a berkata, berkata Rasulullah saw``setiap utang yang sengaja untuk mencari nafkah maka ia adalah riba. HR Ibnu Usamah
1.                   Yurisdiksi Pengadilan dalam Penyelesaian Wanprestasi Pada Praktek Pelaksanaan  Hukum Perbankkan diIndonesia.
Menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, bentuk badan hukum bank syariah adalah perseroan terbatas. Sebagai badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), maka pendiriannya tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perseroan Terbatas yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Undang-Undang ini, kewenangan untuk menangani sengketa aspek hukum kelembagaan perseroan terbatas antara pemegang saham dengan dewan direksi dan dewan komisaris ini merupakan kewenangan pengadilan negeri, (termasuk perseroan terbatas bank syariah), misalnya yang ditentukan dalam pasal 80, 81, (terkait dengan pemangglan RUPS), pasal 86, (terkait dengan RUPS yang tidak mencapai kuorum), pasal 114 ayat (6) (tentang pemegang saham menggugat Dewan komisaris), pasal 138, 139, 140, 141 (terkait dengan pemeriksaan terhadap perseroan), pasal 142 (terkait dengan pembubaran perseroan), pasal 146 (terkait dengan kewenangan pengadilan negeri membubarkan PT), pasal 150 (terkait dengan gugatan kreditor yang ditolak oleh likuidator).
Namun dalam penyelsaian sengketa dalam Hubungan Perbankkan Syari’ah, hal in sepenuhnya merupakan kewenangan dan atau yurisdiksi Absolut Peradilan Agama. Sesuai dengan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 perubahan atas undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan agama. Tentu hal ini memaberikan gambaran perbedaan kepada kita jika Terjadi sengketata dalam perjanjian dibank konvensional dipengadilan Negeri dan jika terjadi sengketa dalam perjanjian Bank Syariah maka yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan tinggi agama.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahwa perbedaan yang paling mendasar antara Prinsif konvensional dan prinsif Syariah dalam penerapan hukum perbankkan, terletak pada penetuaan “Sesuatu hal yang diperjanjikan” dan “Sebab Yang Halal” dalam merumuskan suatu klausul perjanjian untuk melakukan trnasksi Sipan-Pinjam. sehingga pada prakteknya perbankan Prinsif syariah sering menggunakan cara-cara prinsif konvensional dalam menjalankan Usahanya.
Bahwa menurut Hemat Kami, hitungan  keuntungan Bank lebih besar dengan bagi hasil dalam prinsif Syariah  ketimbang dengan sistim bunga pada prinsif Konvensional. Sehingga hal ini yang mendorong para pelaku usaha terus mempertahankan Bank yang menganut prinsif Syariah ini.
Bahwa kepastian hukum dan Resiko sangat rentan dalam Bank yang menganut prinsif Syariah, ketimbang Bank yang menganut Prinsif Konvensional, hal ini disebabka dalam perumusan-perumusan Akadnya tidak mengandung Jaminan yang kuat bagi pihak Bank dan Nasabahnya.
Bahwa Tidak disebutkkan secara Spesifik Lebaga Negara atau lembaga Bantu Negara yang menentukan Sebab Halal dan Haram dalam ketentuan Prinsif Syariah, membuat Mengundang Interpretasi yang  Rancu Legitimasi Hukum yang digunakan
Bahwa pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankkan syariah masih banyak kekurangan dan kejanggalan, maka perlu ada perubahan untuk menjamin kenyamanan Masyarakat dan Pengelola Bank dalam menjalankan Sistim perbankkan yang menganut prinsif syariah.
B.  PENUTUP
Demikianlah isi makalah kami, atas kekurangan dan kesalahan kami dalam penulisana makalah ini, kami mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas keritik teman-teman dan dosen pembimbing mata kuliah perbandingan hukum kami ucapkan termakasi.




DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.                  Abdurrachman, A. 1991
2.                  Dr. Suhardi K. Lubis, & Farid Wajadi SH, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grapika Ofset, Jakarta timur 2012
3.                  Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Bandung, Citra Aditia Bakti,1999
4.                  Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditia Bakti , 2000.
5.                  Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum Perdata, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), 
6.                  Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2005.
7.                  Dr. Suhrawardi K. Lubis, SH & Farid Wajdi, SH, MHum, Hukum Ekonomi Islam, Sinar grafika ofset, Jakarta, 2012.
8.                  Wijanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia,penerbit Grafiti Cetakan ke.III ,Jakarta Januari 1997
9.                  Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005),
10.              Prof.Dr. Sutan Remy Syah deini, Kebebasan Berkontrak, PT. pusataka Utama grafiti, 2009,
11.              Prof. surbekti, Hukum perjanjian; Intermassa, Jakarta 2005,
12.              R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1979),
13.               R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. Ketujuh, (Bandung : Sumur, 1987),
14.               Guse Prayudi, SH, Seluk-Beluk Perjanjian; Pustaka Pena, Yogyakarta, 2007,
15.               Dr. Zulkarnain Sitompul, “makalah Jaminan Kredit, Kendala dan masalah,
16.              Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasurasian Syariah di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media Group, 2007). 
17.              Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Ed.I.Cet. 1, Jakarta, Kencana, 2005,
18.               Kala itu Nabi Muhammad SAW  berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi Nabi (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta)
19.              M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan, hal 1-2. Menurut Al Qur’an, lihat misalnya dalam QS (73:20). Menurut Sunnah, diantaranya hadits Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya
20.              Salinan Penjelasan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankkan.


[1] Dr. Suhardi K. Lubis, & Farid Wajadi SH, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grapika Ofset, Jakarta timur 2012. Hlm.41

[2] Abdurrachman, A. 1991: 80
[3] Salinan Penjelasan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankkan.
[4] Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Bandung, Citra Aditia Bakti,1999: hlm. 14
[5] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditia Bakti , 2000.hlm.
[6] Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum Perdata, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 249. 
[7] Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2005.hlm.3
[8] Dr. Suhrawardi K. Lubis, SH & Farid Wajdi, SH, MHum, Hukum Ekonomi Islam, Sinar grafika ofset, Jakarta, 2012. Hlm. 41.
[9] Wijanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia,penerbit Grafiti Cetakan ke.III ,Jakarta Januari 1997 hal.3
[10] Ibid.hlm, 29-43
[11] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005), hal. 39.
[12] Muhammad Djumhana, Op,Cit, hlm. 37
[13] Pasal 21 ayat 1 UU NO. 10 Tahun 1998
[14] Prof.Dr. Sutan Remy Syah deini, Kebebasan Berkontrak, PT. pusataka Utama grafiti, 2009, hlm.2
[15] Prof. surbekti, Hukum perjanjian; Intermassa, Jakarta 2005, Hlm. 1
[16] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1979), hal. 49.
[17]  Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1963), hal. 1
[18] R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. Ketujuh, (Bandung : Sumur, 1987), hal. 7.
[19] Guse Prayudi, SH, Seluk-Beluk Perjanjian; Pustaka Pena, Yogyakarta, 2007, hlm.3
[20] Prof. surbekti, 2005, op cit. hlm.17
[21] Dr. Zulkarnain Sitompul, “makalah Jaminan Kredit, Kendala dan masalah,hlm. 1
[22] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasurasian Syariah di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), hal. 85. 
[23] Al-Mu’jām al-Wasit, Al-juz’ al-awwal, Cet III, (Kairo, Majma’ al-lughah al-Arabiyah), 1972.
[24] Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār, juz IV, (Beirut: Dar Ihya al-Turas,1987) hal 483.
[25] Al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi’ala al-Sarh al-Kabir, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr,1989),hal 63.
[26] Al-Nawawi, Riyad al-Salihin, Vol.IV, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal 289
[27] Al-Bahuti, Kasysyaf  al-Qina,Vol.II, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal.509.
[28] Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Ed.I.Cet. 1, Jakarta, Kencana, 2005,hal.130
[29] Kala itu Nabi Muhammad SAW  berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi Nabi (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta) hal. 180;
[30] M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan, hal 1-2. Menurut Al Qur’an, lihat misalnya dalam QS (73:20). Menurut Sunnah, diantaranya hadits Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya. 

[31] Gemala Dewi. Loc ,.cit. hlm-86
[33] Ibid.
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. Komando Strategi Mahasiswa Merdeka (KOSTUM MERDEKA) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger